Mohon tunggu...
Hanif Chusnul
Hanif Chusnul Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Belajar dari AS, Trump Terpilih karena Kurangnya Empati Antargolongan

17 Januari 2017   09:20 Diperbarui: 18 Januari 2017   11:30 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Michael Vadon

Pagi hari saat pertama kali hasil pilpres Amerika Serikat (AS) naik ke berita cetak, saya tertawa kecil membaca headline di koran: “Kok Bisa Trump?” Agak hiperbolik, saya pikir, untuk memakai itu sebagai headline koran lokal.

Tapi, saya agak menyesal kemudian: memang reaksi sebagian warga AS adalah terkejut dan takut. Guru-guru berusaha meyakinkan murid imigran mereka bahwa mereka tidak akan dideportasi. Anak-anak imigran berusaha menenangkan orang tua mereka yang datang ke AS secara ilegal.

Banyak media massa yang menunjukkan rasa terkejut. Tapi, mungkin justru itu masalahnya. Ray Hanania, jurnalis Arab-Amerika pendukung Donald Trump, mengatakan bahwa media AS telah menyesatkan masyarakat AS dengan menjadikan mereka punya pola pikir bahwa pasti Hillary Clinton, rival Trump, akan menang.

Rasa percaya diri itu terbukti salah. Meski sebagian besar rakyat AS memilih Clinton, sistem pilpres AS yang unik menjadikan Trump sebagai presiden. Mereka yang kalah suara dengan suara media ini adalah target dari kampanye Trump. Kalimat pembuka di situs resmi kampanye Trump berbunyi, “We showed America the silent majority is no longer silent.” Kita menunjukkan AS bahwa silent majority tidak lagi diam.

Maksud kalimat tersebut adalah, banyak yang sebenarnya mendukung Trump. Namun, suara mereka ditutupi oleh suara media atau mereka tutupi sendiri karena cibiran luar yang akan menganggap mereka punya pola pikir yang salah dengan mendukung Trump.

Meski tidak sepenuhnya benar, pendukung Trump identik dengan seseorang yang rasis dan intoleran. Stigma ini berbahaya sebab di AS seseorang bisa kehilangan pekerjaannya bila dianggap punya pola pikir rasis. Tapi, kini sang silent majority tak lagi diam. Mereka telah bersuara lewat balot pemilihan mereka.

Rumah yang Terpecah
Opini media massa AS serta opini dominan di masyarakat AS bergerak ke arah golongan liberal dan mereka yang sedikit saja tidak setuju dengan pendapat liberal akan dicap rasis dan xenofobik bukannya ditanggapi dengan pendapat yang semestinya.

Soal pernikahan sesama jenis, misalnya. Beberapa saat terakhir, opini masyarakat AS mulai bergerak ke arah mendukung diperbolehkannya pernikahan sesama jenis. Tren baru muncul: jika Anda adalah penyedia kue pernikahan dan Anda tidak mau membuatkan kue tar untuk pernikahan sesama jenis, bisnis Anda akan dijelek-jelekkan.

Sensor golongan liberal terhadap golongan konservatif memperlebar jarak yang telah ada di antara mereka. Pasca pilpres majalah AS the Atlantic membuka kolom surat pembaca. Ben, warga AS, menulis menyatakan bahwa justru sikap orang-orang liberal lah yang menjadikan orang-orang konservatif menjauh dari mereka.

“Mereka (orang-orang liberal, Red.) berkata bahwa ‘Jika kalian tidak seratus persen bersama kami, kalian seratus persen jahat.’ Mereka lupa bahwa sikap tersebut menjadikan orang-orang konservatif tidak punya keinginan sedikitpun untuk mengadopsi nilai-nilai liberal,” ungkap Ben.

Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa orang-orang liberal yang kebanyakan minoritas tidak punya alasan kuat. Adam menulis surat pembaca pula bahwa apapun yang dirasakan oleh golongan konservatif, hal tersebut tidak seberapa dengan apa yang dirasakan oleh golongan minoritas yang liberal. “Di tempat yang saya kunjungi,” kata Adam, “golongan minoritas lah yang setiap hari menghadapi intimidasi--kadang secara fisik.”

Dua golongan yang berbeda ini saling bertentangan dan saling mengasingkan satu sama lain. Manusia mungkin adalah mahluk rasional. Tapi lebih dari itu, kita adalah mahluk emosional. Pengasingan dari sekitar kita akan menimbulkan rasa marah dalam diri kita. Sebagaimana kata seorang pembaca, “Orang-orang marah. Sayangnya, satu-satunya kandidat dari Partai Republik yang menunjukkan rasa marah itu adalah Trump.”

Kamar Kedap Suara
Sejak 2009, Google telah melakukan personalisasi untuk pencarian. Hal itu berarti, pencarian dengan kata kunci yang sama oleh orang yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda. Eli Pariser berkata bahwa akibat hal tersebut, kita kurang mendapatkan berita yang dapat menguji pemahaman dan mengadu pandangan kita. Pendapat kita hanya bergaung di dalam kamar kedap suara dengan orang-orang yang sepaham dengan paham kita.

Hal tersebut membuat khawatir penulis AS John Green. Pasca pilpres AS, Green mengatakan bahwa diskursus politik di AS telah menjadi begitu penuh kebencian. “... [Diskursus politik] telah begitu terkurung dalam kamar kedap suara sedemikian hingga sangat sulit bagi pendukung Trump untuk memahami mengapa ada orang yang mau mendukung Clinton dan [begitu sebaliknya]” ujar Green.

Perihal kamar kedap suara ini juga diserukan oleh John Oliver, presenter kebangsaan Inggris Raya. Menurutnya, kepercayaan terhadap media massa mainstream telah menurun. “Orang-orang memilih untuk mendapatkan berita dari media massa tertentu yang sepaham dengan mereka,” kata Oliver.

Oliver lantas mengatakan bahwa seharusnya, konsumsi media massa kita harus lebih luas dari sekadar berita yang sepaham dengan diri kita. Sayangnya, menurut Oliver, berita yang kita lihat telah didesain secara spesifik untuk diri kita.

Menurut Mollie Hemingway, editor senior The Federalist, di AS, kamar kedap suara orang-orang liberal turut menyumbang ke kemenangan Donald Trump. “Kesombongan yang menggaung di kamar kedap suara [milik orang-orang liberal] sama sekali tidak membantu keseluruhan orang-orang Amerika untuk mempunyai tujuan yang sama apalagi kemampuan untuk menggapai tujuan tersebut,” tulis Hemingway.

Tidak adanya diskursus politik yang sehat antara golongan liberal dan golongan konservatif di AS, menurut Hemingway, berujung pada “lunturnya sopan santun dalam berargumen, berkurangnya kemampuan warga AS untuk memahami satu sama lain, dan, terutama, terpilihnya Donald Trump.”

Pentingnya Empati
Memang sangat menggiurkan untuk berpikir bahwa diri kita adalah pengawal moralitas dan definisi kebenaran kita lebih benar dari definisi saudara senegara kita. Tetapi hal ini yang menimbulkan malapetaka: golongan liberal AS gagal untuk memahami saudara-saudara konservatif mereka dan akibatnya golongan liberal malah mendapati Trump menang.

Jika ada satu pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini, hal itu adalah apapun ideologi yang kita pegang, penting untuk mendengar suara dari golongan yang berseberangan dengan kita.

Sebagai penutup, saya akan mengutip Seth Meyers, komedian AS yang mengisi acara TV malam hari yang tergolong liberal. “Saya merasakan banyak hal malam kemarin (malam penghitungan suara, Red.) dan hari ini--kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Namun, saya sadar bahwa perasaan tersebut juga dirasakan oleh banyak pendukung Trump, perasaan yang membuat mereka memilih Trump, dan adalah salah bila saya berpikir bahwa perasaan saya lebih nyata dari perasaan mereka. Kita akan lebih baik sebagai suatu masyarakat jika kita memiliki empati terhadap satu sama lain.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun