Dua golongan yang berbeda ini saling bertentangan dan saling mengasingkan satu sama lain. Manusia mungkin adalah mahluk rasional. Tapi lebih dari itu, kita adalah mahluk emosional. Pengasingan dari sekitar kita akan menimbulkan rasa marah dalam diri kita. Sebagaimana kata seorang pembaca, “Orang-orang marah. Sayangnya, satu-satunya kandidat dari Partai Republik yang menunjukkan rasa marah itu adalah Trump.”
Kamar Kedap Suara
Sejak 2009, Google telah melakukan personalisasi untuk pencarian. Hal itu berarti, pencarian dengan kata kunci yang sama oleh orang yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda. Eli Pariser berkata bahwa akibat hal tersebut, kita kurang mendapatkan berita yang dapat menguji pemahaman dan mengadu pandangan kita. Pendapat kita hanya bergaung di dalam kamar kedap suara dengan orang-orang yang sepaham dengan paham kita.
Hal tersebut membuat khawatir penulis AS John Green. Pasca pilpres AS, Green mengatakan bahwa diskursus politik di AS telah menjadi begitu penuh kebencian. “... [Diskursus politik] telah begitu terkurung dalam kamar kedap suara sedemikian hingga sangat sulit bagi pendukung Trump untuk memahami mengapa ada orang yang mau mendukung Clinton dan [begitu sebaliknya]” ujar Green.
Perihal kamar kedap suara ini juga diserukan oleh John Oliver, presenter kebangsaan Inggris Raya. Menurutnya, kepercayaan terhadap media massa mainstream telah menurun. “Orang-orang memilih untuk mendapatkan berita dari media massa tertentu yang sepaham dengan mereka,” kata Oliver.
Oliver lantas mengatakan bahwa seharusnya, konsumsi media massa kita harus lebih luas dari sekadar berita yang sepaham dengan diri kita. Sayangnya, menurut Oliver, berita yang kita lihat telah didesain secara spesifik untuk diri kita.
Menurut Mollie Hemingway, editor senior The Federalist, di AS, kamar kedap suara orang-orang liberal turut menyumbang ke kemenangan Donald Trump. “Kesombongan yang menggaung di kamar kedap suara [milik orang-orang liberal] sama sekali tidak membantu keseluruhan orang-orang Amerika untuk mempunyai tujuan yang sama apalagi kemampuan untuk menggapai tujuan tersebut,” tulis Hemingway.
Tidak adanya diskursus politik yang sehat antara golongan liberal dan golongan konservatif di AS, menurut Hemingway, berujung pada “lunturnya sopan santun dalam berargumen, berkurangnya kemampuan warga AS untuk memahami satu sama lain, dan, terutama, terpilihnya Donald Trump.”
Pentingnya Empati
Memang sangat menggiurkan untuk berpikir bahwa diri kita adalah pengawal moralitas dan definisi kebenaran kita lebih benar dari definisi saudara senegara kita. Tetapi hal ini yang menimbulkan malapetaka: golongan liberal AS gagal untuk memahami saudara-saudara konservatif mereka dan akibatnya golongan liberal malah mendapati Trump menang.
Jika ada satu pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini, hal itu adalah apapun ideologi yang kita pegang, penting untuk mendengar suara dari golongan yang berseberangan dengan kita.
Sebagai penutup, saya akan mengutip Seth Meyers, komedian AS yang mengisi acara TV malam hari yang tergolong liberal. “Saya merasakan banyak hal malam kemarin (malam penghitungan suara, Red.) dan hari ini--kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Namun, saya sadar bahwa perasaan tersebut juga dirasakan oleh banyak pendukung Trump, perasaan yang membuat mereka memilih Trump, dan adalah salah bila saya berpikir bahwa perasaan saya lebih nyata dari perasaan mereka. Kita akan lebih baik sebagai suatu masyarakat jika kita memiliki empati terhadap satu sama lain.”