Mohon tunggu...
M Haykal Husaeri
M Haykal Husaeri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Hobi menonton film dan mendengarkan musik, berjiwa kreatif di bidang audio visual, dan tertarik dalam konten editing dan dunia entertainment

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sensasi atau Strategi? Media dan Pengalihan Isu Politik 2024

27 Desember 2024   08:48 Diperbarui: 27 Desember 2024   08:48 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era yang serba digital ini, media adalah panggung utama bagi segala sandiwara politik. Di saat-saat yang krusial ini, ketika masyarakat menebak-nebak bagaimana ending dari suatu persoalan besar, tiba-tiba saja perhatian mereka teralihkan oleh "plot alternatif" yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Memang tidak dibutuhkan, namun biasanya mayoritas orang sulit untuk menolak informasi skandal atau cerita sensasional. Itulah yang sering kita lihat di Indonesia. Komunikasi politik menjadi semacam seni pertunjukan, di mana isu-isu besar bisa tenggelam hanya karena satu atau dua berita viral. Tahun 2024 adalah bukti nyata, dengan berbagai kasus pengalihan isu yang membuat banyak pihak, terlebih lagi kita sebagai masyarakat bertanya-tanya: siapa sebenarnya sutradara di balik layar? Seberapa besar pengaruh media dalam membentuk opini publik, dan apa dampaknya terhadap demokrasi kita?

Tahun 2024 di Indonesia bisa dibilang sebagai tahun di mana politik dan media bersatu dalam sebuah drama yang huru-hara, dan plot twist yang tak berkesudahan. Di tengah perdebatan tentang kebijakan-kebijakan besar seperti kenaikan PPN 12%, munculnya isu-isu sensasional yang entah itu datang dari publik bahkan kasus hukum yang tak kalah heboh, seolah-olah mengalihkan perhatian kita dari persoalan utama yang seharusnya mata kita tidak berpaling ke arah lain. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, media, baik itu tradisional maupun digital, memegang peran kunci dalam membentuk cara kita melihat realitas politik. Isu yang kita anggap paling penting bisa dengan mudah digeser, tergantikan oleh cerita yang lebih "clickable" dan mengundang perhatian, meski seringkali mengaburkan esensi dari masalah yang sebenarnya.

Media massa; baik televisi, koran, hingga media sosial, berfungsi layaknya panggung besar tempat segala isu untuk menampilkan segalanya. Meskipun, tidak semua isu mendapat sorotan yang sama. Ada saat di mana media seolah-olah memilih satu isu tertentu yang rasanya terlalu receh untuk dibesar-besarkan sebagai cerita utama dalam sebuah pertunjukan, sementara isu yang memiliki tingkat fokus yang lebih besar disimpan rapi di balik layar. Fenomena ini disebut pengalihan isu, dan Indonesia sudah tidak asing lagi dengan strategi ini.

Respon dan opini publik terhadap pengalihan isu oleh media di tahun 2024 ini mencerminkan masyarakat yang semakin kritis, namun tetap terjebak dalam berita harian yang menutupi sebuah artefak dibalik kaca transparan. Di satu sisi, banyak warganet yang melontarkan sindiran tajam terhadap media dan pihak-pihak berkepentingan, menyebut pengalihan isu sebagai "trik lama yang dikemas ulang." Media sosial menjadi arena utama, di mana meme, thread, dan video komentar bermunculan untuk menyoroti ironi serta paradoks dari isu-isu yang dianggap direkayasa. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat terlihat apatis, memilih untuk menerima apa yang disajikan tanpa banyak pertanyaan, mungkin karena sudah terlalu lelah dengan arus informasi yang tak kunjung berhenti. Respons ini menunjukkan bagaimana masyarakat berada di persimpangan antara upaya untuk memahami realitas yang lebih kompleks dan kebutuhan untuk bertahan di tengah derasnya informasi yang kadang menyesatkan.

Di tengah persiapan pemilu pilpres 2024, tak ada angin, tak ada hujan, media kembali menggali cerita lama: kasus Vina Cirebon, seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan hingga merenggut nyawa pada tahun 2016 silam. Entah kenapa, dari sekian banyak kasus baru yang bermunculan, isu ini kembali mencuat ketika laporan korupsi besar-besaran senilai Rp271 triliun mulai menjadi bahan pembicaraan. Secara tiba-tiba, perhatian masyarakat dialihkan dari dugaan penyalahgunaan dana publik ke cerita tragis yang cukup menyentuh hati ini.

Karena kasus ini kembali diangkat, persidangan pun dilanjutkan, sehingga media berbondong-bondong mencari potongan puzzle yang belum lengkap dari kasus ini. Netizen pun malah ikut terhanyut dalam kasus yang terasa berlarut-larut ini, memecah fokus pada sebuah isu penting tentang koruptor yang membeli keadilan di meja pengadilan. Tak disangka-sangka pula, salah satu production house film Indonesia malah ingin mengangkat kasus ini ke layar lebar, yang makin membuat warganet terdistraksi, dengan respon yang mengecam atas moralitas produser film tersebut, atau malah semakin bersimpati terhadap korban yang katanya masih sukar dalam mencari keadilan. Mereka lupa, realitas yang mereka jalani tepat di depan mata. Hingga saat saya mendengar kabar terakhir kali dalam kasus tidak masuk akal ini, kabarnya pelaku-pelaku dari tindakan keji ini tidak pernah ada, beristirahatlah dengan tenang Vina, media dan segala sandiwara ini telah mengganggu istirahatmu dan mengganggu berjalannya proses keadilan dalam kasus koruptor yang hukumannya tidak pernah setimpal.

Dalam teori Spiral of Silence, ada kecenderungan masyarakat untuk mengikuti opini yang dominan di media. Ketika media fokus pada kasus Vina, diskusi tentang korupsi yang nilainya fantastis itu menjadi terpinggirkan. Di satu sisi, perhatian terhadap kasus kekerasan adalah hal positif, tetapi di sisi lain, ini menciptakan ruang bagi pelaku korupsi untuk berlalu tanpa pengawasan ketat.

Belum selesai dengan kasus Vina Cirebon, selanjutnya media menggemparkan jagat Nusantara, tepatnya pada Agustus 2024, publik Indonesia dikejutkan oleh berita dugaan perselingkuhan Azizah Salsha, istri pesepak bola Pratama Arhan. Seluruh negeri, terutama jagat media sosial, heboh membahas drama ini. Namun, ada yang menarik: berita ini muncul bersamaan dengan social media campaign "peringatan darurat". Yang bermula dari adanya rencana revisi UU Pilkada yang melanggar konstitusi dan tidak sesuai dengan demokrasi Indonesia.

Karena masyarakat kini sudah lebih sadar dan lebih vokal untuk menyuarakan aspirasinya dalam dunia digital, penyebaran informasi untuk tidak terkecoh oleh pengalihan isu perselingkuhan yang cukup mengguncangkan negeri ini pada akhirnya lebih unggul dalam membangun narasi publik yang lebih penting untuk keberlanjutan bangsa ini. Di sisi lain, fokus masyarakat yang tidak terpecah ini menimbulkan akumulasi kekecewaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi, namun juga membawa persatuan yang indah untuk menegakkan demokrasi.

Demonstrasi yang digelar mahasiswa bersama berbagai elemen masyarakat disebut sebagai gerakan organik, lahir dari kejenuhan dan kemuakan terhadap praktik politik yang tidak demokratis, termasuk politik dinasti yang semakin mencolok. Meski revisi UU Pilkada akhirnya batal, Yance menyebut keberhasilan ini sebagai secercah harapan---kemenangan kecil di tengah tantangan besar menjaga keberlangsungan demokrasi. Ia mengingatkan, kepedulian masyarakat terhadap proses politik harus terus dijaga agar cita-cita demokrasi tidak hanya menjadi narasi kosong belaka.

Melalui teori Agenda-Setting, kita tahu bahwa media bisa menentukan isu mana yang dianggap penting oleh masyarakat. Dalam kasus ini, meskipun narasi soal pelanggaran konstitusi gagal tersisih oleh gosip selebriti, dan memang tingkat permasalahan yang tidak bisa disandingkan "Apple to Apple" antara integrasi bangsa dan integrasi rumah tangga pesepak bola Indonesia. Tetap saja bisa menjadi taktik picik untuk menyembunyikan bangkai di dalam dapur, sehingga menghancurkan selera makan. Alias bisa mengaburkan fokus kita pada hal yang memang lebih krusial untuk dikawal.

Kemudian Pada akhir 2024, Gibran Rakabuming, yang kini menjabat Wakil Presiden Indonesia, jadi sorotan publik setelah dugaan keterlibatannya dengan akun Kaskus bernama "Fufufafa". Akun ini penuh dengan hate speech, komentar vulgar, bahkan serangan terhadap Prabowo Subianto dan timsesnya pada pemilu 2019. Ironisnya, setelah Gibran kini berkoalisi dengan Prabowo, banyak yang mempertanyakan integritasnya sebagai pejabat publik. Ditambah lagi, latar belakang politik dinasti yang kental membuat banyak pihak meragukan keseriusannya dalam menjalankan tugas sebagai wakil presiden.

Namun, seiring kontroversi tersebut, muncul kasus lain yang melibatkan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang kini menjadi tersangka dalam kasus korupsi impor gula pada 2015-2016. Dugaan penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara hingga Rp400 miliar ini langsung mengalihkan perhatian publik dari isu Fufufafa. Banyak yang menduga pengungkapan kasus Lembong adalah strategi pengalihan untuk meredam kegaduhan terkait Gibran.

Meski begitu, kasus Lembong yang menghebohkan ini perlu dilihat dengan hati-hati. Sampai saat ini, bukti-bukti konkret terkait keterlibatannya masih belum jelas. Namun, satu yang pasti, pengalihan isu semacam ini memperlihatkan betapa media dan politik bisa saling mempengaruhi dalam membentuk opini publik. Bagi publik, ini adalah pengingat untuk tidak terjebak dalam permainan media, dan tetap kritis terhadap transparansi serta kredibilitas pejabat publik yang memimpin negara.

Teori Framing menjelaskan bagaimana media membentuk sudut pandang publik terhadap sebuah isu. Dalam kasus ini, media membingkai penangkapan Tom sebagai langkah besar pemberantasan korupsi. Namun, informasi yang diberikan terasa dangkal, seolah-olah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.

Dan satu lagi kegagalan penguasa dalam mengalihkan isu penting, Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada Januari 2025 telah menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat Indonesia. Keputusan ini memicu reaksi beragam, terutama dari kalangan kelas menengah ke bawah yang merasa semakin terjepit dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Media massa, baik tradisional maupun digital, menjadi arena perdebatan sengit mengenai dampak kebijakan ini. Beberapa media menyoroti argumen pemerintah yang menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara demi pembangunan. Namun, banyak pula laporan yang menekankan kekhawatiran masyarakat terkait penurunan daya beli dan potensi inflasi yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi pada November 2024 mengalami kenaikan sebesar 1,12% dibandingkan dengan awal tahun, yang sebagian besar disebabkan oleh lonjakan harga barang konsumsi akibat kenaikan PPN.

Di media sosial, perbincangan mengenai kenaikan PPN ini sangat ramai. Netizen menyuarakan kekhawatiran mereka tentang bagaimana harga barang pokok akan semakin mahal, yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Beberapa pengguna bahkan memperkirakan dampak negatifnya terhadap pendapatan perusahaan dan gaji karyawan. Meskipun demikian, ada juga yang mencoba memahami kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk pembangunan jangka panjang.

Peran media massa dalam mengkomunikasikan kebijakan ini sangat besar. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk opini publik. Dalam hal ini, media berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat, meskipun seringkali terdapat perbedaan interpretasi terhadap kebijakan yang diambil.

Secara keseluruhan, komunikasi politik terkait kenaikan PPN ini menunjukkan bagaimana media massa dapat mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi dan berpikir tentang kebijakan publik. Meskipun ada upaya untuk mengendalikan narasi, masyarakat tetap menemukan ruang untuk menyuarakan ketidaksetujuan dan kekhawatiran mereka. Ke depannya, komunikasi politik yang lebih transparan dan inklusif tentu diperlukan, agar kebijakan yang diambil tidak hanya dilihat dari sudut pandang pemerintah, tetapi juga dari sudut pandang masyarakat yang langsung merasakannya.

Namun, di tengah hiruk-pikuk perdebatan mengenai kenaikan PPN, muncul isu lain yang tak kalah menarik: penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR periode 2019. Penetapan tersangka ini sempat menjadi sorotan media, namun seiring berjalannya waktu, pemberitaan mengenai kasus ini mulai meredup.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa penurunan intensitas pemberitaan mengenai kasus Hasto Kristiyanto bertepatan dengan meningkatnya pemberitaan mengenai kenaikan PPN. Hal ini menimbulkan dugaan adanya upaya pengalihan isu dari kasus Hasto Kristiyanto ke isu kenaikan PPN. Media massa, sebagai pilar demokrasi, memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi kepada publik. Namun, dalam beberapa kasus, media juga dapat menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tertentu.

Dalam konteks ini, peran media menjadi sangat krusial. Media harus mampu menjaga independensinya dan menyajikan informasi secara objektif, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Masyarakat pun diharapkan lebih kritis dalam menyikapi informasi yang disajikan oleh media, serta mampu membedakan antara fakta dan opini.

Secara keseluruhan, dinamika pemberitaan mengenai kenaikan PPN dan kasus Hasto Kristiyanto menunjukkan betapa pentingnya peran media dalam membentuk opini publik. Meskipun media memiliki potensi untuk memengaruhi persepsi masyarakat, masyarakat juga memiliki peran aktif dalam menyaring informasi dan membentuk opini mereka sendiri. Oleh karena itu, kolaborasi antara media yang independen dan masyarakat yang kritis menjadi kunci dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

Ketika isu besar tertutupi oleh cerita-cerita sensasional, masyarakat kehilangan kesempatan untuk benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Transparansi tergeser oleh sensasi, dan ini berbahaya untuk demokrasi. Pertama, pemerintah dan elite politik cenderung tidak diawasi dengan ketat. Kedua, masyarakat terjebak dalam polarisasi, lebih sibuk berdebat soal skandal ketimbang menuntut solusi nyata.

Menurut teori Uses and Gratifications, masyarakat menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan informasi. Namun, ketika media lebih memilih menyajikan cerita sensasional, kebutuhan ini berubah menjadi hiburan semata. Hasilnya? Kita kehilangan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.

Lalu, bagaimana kita keluar dari situasi ini? Jawabannya adalah literasi media. Masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi. Jangan langsung percaya dengan apa yang disajikan; tanyakan, "Mengapa isu ini muncul sekarang?" Selain itu, media perlu kembali ke fungsi aslinya: menyampaikan fakta, bukan sekadar mengejar rating.

Komunikasi politik di Indonesia sering kali terasa seperti permainan catur. Ada strategi di balik setiap langkah, termasuk pengalihan isu. Dari drama perselingkuhan hingga kasus lama yang diangkat kembali, kita telah melihat bagaimana perhatian publik dapat dengan mudah diarahkan. Namun, sebagai masyarakat, kita memiliki kekuatan untuk memilih fokus. Dengan menjadi lebih kritis dan sadar akan permainan ini, kita dapat memastikan bahwa komunikasi politik benar-benar menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, bukan sekadar hiburan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun