Kemudian Pada akhir 2024, Gibran Rakabuming, yang kini menjabat Wakil Presiden Indonesia, jadi sorotan publik setelah dugaan keterlibatannya dengan akun Kaskus bernama "Fufufafa". Akun ini penuh dengan hate speech, komentar vulgar, bahkan serangan terhadap Prabowo Subianto dan timsesnya pada pemilu 2019. Ironisnya, setelah Gibran kini berkoalisi dengan Prabowo, banyak yang mempertanyakan integritasnya sebagai pejabat publik. Ditambah lagi, latar belakang politik dinasti yang kental membuat banyak pihak meragukan keseriusannya dalam menjalankan tugas sebagai wakil presiden.
Namun, seiring kontroversi tersebut, muncul kasus lain yang melibatkan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang kini menjadi tersangka dalam kasus korupsi impor gula pada 2015-2016. Dugaan penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara hingga Rp400 miliar ini langsung mengalihkan perhatian publik dari isu Fufufafa. Banyak yang menduga pengungkapan kasus Lembong adalah strategi pengalihan untuk meredam kegaduhan terkait Gibran.
Meski begitu, kasus Lembong yang menghebohkan ini perlu dilihat dengan hati-hati. Sampai saat ini, bukti-bukti konkret terkait keterlibatannya masih belum jelas. Namun, satu yang pasti, pengalihan isu semacam ini memperlihatkan betapa media dan politik bisa saling mempengaruhi dalam membentuk opini publik. Bagi publik, ini adalah pengingat untuk tidak terjebak dalam permainan media, dan tetap kritis terhadap transparansi serta kredibilitas pejabat publik yang memimpin negara.
Teori Framing menjelaskan bagaimana media membentuk sudut pandang publik terhadap sebuah isu. Dalam kasus ini, media membingkai penangkapan Tom sebagai langkah besar pemberantasan korupsi. Namun, informasi yang diberikan terasa dangkal, seolah-olah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.
Dan satu lagi kegagalan penguasa dalam mengalihkan isu penting, Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada Januari 2025 telah menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat Indonesia. Keputusan ini memicu reaksi beragam, terutama dari kalangan kelas menengah ke bawah yang merasa semakin terjepit dengan biaya hidup yang terus meningkat.
Media massa, baik tradisional maupun digital, menjadi arena perdebatan sengit mengenai dampak kebijakan ini. Beberapa media menyoroti argumen pemerintah yang menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara demi pembangunan. Namun, banyak pula laporan yang menekankan kekhawatiran masyarakat terkait penurunan daya beli dan potensi inflasi yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi pada November 2024 mengalami kenaikan sebesar 1,12% dibandingkan dengan awal tahun, yang sebagian besar disebabkan oleh lonjakan harga barang konsumsi akibat kenaikan PPN.
Di media sosial, perbincangan mengenai kenaikan PPN ini sangat ramai. Netizen menyuarakan kekhawatiran mereka tentang bagaimana harga barang pokok akan semakin mahal, yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Beberapa pengguna bahkan memperkirakan dampak negatifnya terhadap pendapatan perusahaan dan gaji karyawan. Meskipun demikian, ada juga yang mencoba memahami kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk pembangunan jangka panjang.
Peran media massa dalam mengkomunikasikan kebijakan ini sangat besar. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk opini publik. Dalam hal ini, media berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat, meskipun seringkali terdapat perbedaan interpretasi terhadap kebijakan yang diambil.
Secara keseluruhan, komunikasi politik terkait kenaikan PPN ini menunjukkan bagaimana media massa dapat mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi dan berpikir tentang kebijakan publik. Meskipun ada upaya untuk mengendalikan narasi, masyarakat tetap menemukan ruang untuk menyuarakan ketidaksetujuan dan kekhawatiran mereka. Ke depannya, komunikasi politik yang lebih transparan dan inklusif tentu diperlukan, agar kebijakan yang diambil tidak hanya dilihat dari sudut pandang pemerintah, tetapi juga dari sudut pandang masyarakat yang langsung merasakannya.
Namun, di tengah hiruk-pikuk perdebatan mengenai kenaikan PPN, muncul isu lain yang tak kalah menarik: penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR periode 2019. Penetapan tersangka ini sempat menjadi sorotan media, namun seiring berjalannya waktu, pemberitaan mengenai kasus ini mulai meredup.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa penurunan intensitas pemberitaan mengenai kasus Hasto Kristiyanto bertepatan dengan meningkatnya pemberitaan mengenai kenaikan PPN. Hal ini menimbulkan dugaan adanya upaya pengalihan isu dari kasus Hasto Kristiyanto ke isu kenaikan PPN. Media massa, sebagai pilar demokrasi, memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi kepada publik. Namun, dalam beberapa kasus, media juga dapat menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tertentu.