Kalau sedang ada urusan pekerjaan di sekitar Jalan Sudirman, biasanya pulang ke Bekasi selalu menggunakan Bis Feeder Kemang Pratama. Bis feeder ini selalu berhenti di sebrang Kantor Pajak. Ketika berhenti itu lah, saya selalu melihat iklan pajak yang besar sekali dan didesain sangat mewah, bunyinya: "APA KATA DUNIA ! Bayar lah Pajak...bla...bla...bla....".
Iklan serupa sering saya lihat di televisi, koran bahkan di billboard yang terpampang dengan gagahnya di berbagai ruas jalan. Tentu saja, pemasangan iklan ini tidak gratis alias harus bayar. Namun yang jelas, biaya iklan itu pasti berasal dari uang rakyat yang dihasilkan dari tetesan keringat, mungkin juga dari tetesan darah.
Setiap tahun, saya dan teman-teman sekantor, begitu pula rakyat di tempat lain, rajin mengisi formulir SPT dan menyerahkannya ke Kantor Pajak. Kantor pajak pun rajin memberitahu bahwa SPT harus segera diisi, dengan pesan tambahan pajak sebagai pilar pembiayaan pembangunan. Kalau negara kaya, maka rakyatnya pun pasti sejahtera. Kurang lebih seperti itu pesan yang kita terima setiap hari.
Apalagi pemerintah selalu membawa-bawa warga dunia untuk ikut memberi tekanan agar rakyat patuh untuk membayar pajak. Rakyat takut sekali, negeri ini akan dicap jelek terus oleh dunia karena ketidakjujuran dan ketidaktaatan warganya membayar pajak. Persis seperti pesan iklan "APA KATA DUNIA !".
Rakyat, antara kesadaran dan keterpaksaan, menyerahkan sebagian penghasilannya kepada negara melalui Kantor Perpajakan. Rakyat tahu benar tanpa uang yang banyak, negara ini akan bangkrut. Dan, rakyat berharap, uang yang terkumpul dapat dikembalikan lagi dalam bentuk pembangunan fasilitas publik, seperti jalan, taman terbuka, jembatan dll.
Makna Pajak
Apa sebetulnya pajak itu ? Dengan bantuan om google, saya menemukan definisi pajak dari wikipediadotorg, yang menyatakan bahwa "pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum".
[caption id="attachment_101812" align="alignright" width="244" caption="(foto: pajak.go.id)"][/caption]
Bahkan dalam website resmi Direktorat Pajak, definisinya lebih gagah lagi, "Pendanaan yang paling sehat bagi suatu negara hanya dapat diperoleh dengan kesadaran bergotong royong seluruh masyarakat melalui pembayaran pajak. Pembayaran pajak merupakan wujud dari pelaksanaan demokrasi dan bersifat patriotik".
Wah, keren nih para pejabat kita membuat kata-kata, apalagi menghubungkan pajak dengan sikap patriotik. Artinya, yang tidak membayar pajak berarti tidak patriotik atau dengan kata lain bisa dikatakan tidak mencintai negerinya sendiri.
Tapi bagaimana kalau ada pegawai pajak atau pejabat negara yang mengeruk dana pajak untuk kepentingan sendiri ? Undang-undang tidak menyebutnya sebagai "pengkhianat" bangsanya sendiri. Yang sering saya dengar bahwa itu adalah perbuatan oknum. Kalau oknum, mengapa kasus serupa terus berulang terjadi di negeri ini ?
Adalah seorang polisi yang bernama Susno yang membuka tabir gelap yang selama ini terpendam dalam bathin rakyat. Apa yang dibeberkan oleh Susno bukan hal yang baru. Sudah lama rakyat tahu bahwa pajak yang disetorkan setiap tahun tidak selalu menetes seluruhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Bedus, (menghindarkan dari jeratan UU ITE) adalah seorang karyawan di bagian Perpajakan yang dituding berada di belakang kasus yang dibeberkan Susno. Dengan bermodal deposito Rp. 25 Milyar yang menghasilkan dana segar Rp. 350 juta per bulan, Bedus mampu berkelit dari kejaran hukum negeri ini yang memang terkenal sangat baik hati terhadap para pengemplang uang negara.
Billboard besar yang berbunyi "APA KATA DUNIA !" memang ditujukan kepada rakyat Indonesia agar taat membayar pajak. Namun dengan merebaknya kasus ini, sebaiknya billboard itu diturunkan dan ditambah dengan kata-kata "KALAU DANA RAKYAT DIKORUPSI NERAKA LAH TEMPATNYA". Kali aja takut !
Apa iya ? Rasa-rasanya kasus korupsi di negeri ini bukannya berkurang tapi makin bertambah, baik modus maupun jumlahnya. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencegah dan mengurangi kasus korupsi terus berulang, tapi hasilnya belum optimal dan semakin jauh dari rasa keadilan rakyat.
Hanya satu yang belum dilakukan. Apa itu ? Ketegasan dari pemimpin tertinggi negeri ini. Segera lah bertindak tegas, tidak hanya sekedar membuat satgas-satgasan, biar persoalan ini cepat selesai. kalau suasana politik tidak hingar bingar seperti sekarang ini, rakyat akan tenang bekerja, dana dari pajak pun akan bertambah banyak. Kalau terus berlarut-larut, Apa kata Dunia ? Wallahuallam
Salam Beblog dari Kemang Pratama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H