Mohon tunggu...
Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Bukan Bencana Demokrasi

14 Februari 2017   09:40 Diperbarui: 14 Februari 2017   11:09 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa saat lagi, masyarakatIndonesia akan melaksanakan sebuah hajat demokrasi yaitu Pilkada serentak,termasuk di DKI Jakarta. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akanmencoba menganalisa dinamika Pilkada dengan menggunakan teori ‘perspektif’.

 Kata ‘perspektif’ dalam filsafatmodern berarti sudut pandang yang bersumber dari pengalaman visual, empirik dannonempirik yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku. Arti sederhananya,‘perspektif’ adalah ‘sudut pandang’. Dengan demikian, perilaku danpilihan-pilihan hidup yang ditempuh oleh manusia sangat dipengaruhi oleh‘perspektif’nya. Semua orang pasti mempunyai pengalaman yang berbeda-bedasehingga pilihan-pilihan hidupnya pun akan beranega ragam.

 Katherine Miller dalam bukunya CommunicationTheories: Perspectives, Process and Contexts melihat betapa besar pengaruh‘perspektif’ dalam perilaku dan pola interaksi seseorang. Oleh karena itu,dengan memahami sudut pandang yang digunakan orang lain, maka semakin mudahkita memahami dan menerima sikap dan perilakunya. Mari kita coba menjelaskankontestasi politik di DKI Jakarta saat ini dengan menggunakan teori ‘perspektif’. 

 Di sini, penulis tidak akanmenganalisa bagaimana ‘perspektif’ para politisi dan partai-partai politiknyadalam kontestasi demokrasi. Sudah pasti, mereka memihak dan justeru bisamengambil keuntungan dari kegaduhan yang terjadi. Yang perlu dijelaskan di siniadalah bagaimana seharusnya civil society menyikapi sebuah kontestasipolitik sehingga mereka tidak menjadi korban kegaduhan.

 

Primordialisme dan Leadership

 Sebagaimana kita saksikan, telahterjadi gesekan yang sangat tajam dalam proses Pilkada DKI Jakarta kali ini.Caci-maki, olok-olok, ujaran kebencian setiap hari menghiasi halaman-halamanmedia sosial yang kita akses. Intimidasi, intervensi dan gerakan salingmelaporkan ke pihak yang berwajib menjadi pemberitaan yang setiap hari kitakonsumsi. Tentu suasana ini sangat mengganggu dan mongoyak-oyak kondisikebatinan kita. Fenomena di atas terjadi karena manusia di Jakarta bahkan diIndonesia saat ini secara keseluruhan sangat keras dalam menggunakan danmempertahankan persepektifnya, khususnya dalam menyikapi proses demokrasi yangsedang berjalan di ibu kota.

 Pertama-tama, yang palingproblematik dalam kontestasi politik yang kita rasakan di ibu kota saat ini adalahmasalah religio-centrism (sudut pandang agama). Ini sebenarnya jugatermasuk dalam isu primordialisme. Bagi sebagian besar penganut agama, preferensidalam memilih figur pemimpin adalah berdasarkan doktrin agamanya. Bukan hanyabagi pemeluk agama tertentu saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Ketikaseseorang atau kelompok mempunyai pilihan figur seiman, mereka cenderungmemilih berdasarkan asas kesamaan iman tersebut. Apakah ini salah danbertentangan dengan demokrasi? Tentunya tidak. Dalam konsep demokrasi, setiaporang bebas memilih jalan atau sebuah keputusan selama tidak bertentangandengan konstitusi. Apalagi, kalau pilihannya itu dikaitkan dengan doktrinketaatan terhadap agamanya. Ini sama sekali tidak melanggar konstitusi. Sudutpandang agama dalam hal ini tentunya sah-sah saja. 

 Yang menjadi dilematis dalam isuyang kita bahas ini bahwa seorang yang tampil dalam kontestasi politik tersebutberasal dari kelompok agama minoritas. Pada titik inilah isu agama sangat kuatmewarnai konstestasi itu. Muncullah kemudian sentimen agama antara mayoritasdan minoritas. Belum lagi isu-isu yang berkaitan dengan etika, sopan santun dantatakrama bagi figur calon pemimpin. Intinya, agama merupakan salah satuperspektif bagi seseorang dalam menentukan pilihan dan dukungan dalam sebuahkontenstasi politik. 

 Selanjutnya, isu personalbranding juga mempunyai peran penting dalam sebuah kontestasi demokrasi.Seperi dijelaskan sebelumnya, ada kelompok yang selalu menonjolkan isu agamatapi banyak juga yang tidak. Mereka itulah yang hanya membatasi sudutpandangnya pada aspek-aspek yang berkaitan kualitas leadership. Yang menjadipenilaian baginya adalah sejauh mana figur yang berkompetisi, mumpuni dalam halkepemimpinan. Bagaimana track record yang dimiliki, apakah ia jujur,bersih, berpihak ke rakyat kecil, anti korupsi dan kriteria-kriteria lainnya,itulah yang menjadi referensinya dalam memilih. 

 Apakah mereka bukan orang-orangberagama? Jelas, mereka adalah orang beragama karena Indonesia tidak mengakuieksistensi orang yang tidak bertuhan (ateis). Hanya saja, mereka lebih sukamelihat dari sudut pandang kualitas kepemimpinan sang figur daripada  latar belakang agamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun