Berada di penghujung tantangan Samber THR Kompasiana 2023, maka postingan terakhir ini berisi surat untuk kampung halaman. Semoga banyak yang membaca, mendoakan dan memberikan semangat agar Samber THR 2024 mendatang lebih semangat, jika memang masih ada umur.Â
Saya minta maaf jika selama mengikuti tantangan ini ada kalimat yang menyinggung atau mungkin membuat hati patah kesekian kalinya. Maaf lahir batin...Â
***Â
Dear, Kampung Halaman
Sungguh aku ingin jujur dan aku butuh kamu memahami setiap ungkapan hatiku karena tulus dari dalam hati
Semoga sampai akhir surat ini tak ada air mata yang menyisakan perih di kepala
Â
Dear, Kampung Halaman
Empat tahun aku baru mengunjungimu lagi
Namun, entah sesak itu ternyata masih ada di hati
Ketika hadirku sekadar untuk menggenapkan jumlah anggota keluarga agar dipandang mampu berkumpul lagi
Status sosial masih selalu jadi bahasan utama bahkan jumlah anak pun menjadi sasaran nyaman di-bullyÂ
Apalagi jika tumbuh kembang mereka tak sesuai harapan orang-orang tua di saat mereka masih menjaga putra-putrinya di usia bayi
Dibandingkan dengan anak saudara lain bahkan sesekali tertawa, entah rasanya begitu perih tapi harus ikut berwajah biasa dan tertawa juga sesekali
Dear, Kampung Halaman
Ketika pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga menjadi sorotan dan dipandang sebelah mata, ingin rasanya teriak bahwa aku pun sebenarnya bekerja
Ya, bekerja dari rumah agar anak-anak tetap dalam pengawasan dan tidak bebas berkeliaran di luar sana
Bukankah pergaulan di luar sana begitu menakutkannya bagi kita sebagai orang tua?Â
Bagiku sih iya, entah orang tua lain di luar sana
Namun, memang hanya satu pekerjaan yang diterima dengan tangan terbuka dan pelukan hangat semesta
Kamu tahu sendiri pekerjaan apa itu, bukan?
Dear, Kampung Halaman
Aku tidak tahu tahun depan akan bertemu lagi atau tidak. Pastinya aku sebenarnya selalu rindu bahkan hingga sesak
Aku ingin terus menikmati suasana yang sejak kecil sudah terlewati meski tak semuanya indah ibarat sajak
Aku masih ingin bersenda-gurau dengan teman-teman, sahabat bahkan beberapa keluarga masih menganggapku seperti dulu tetap menjadi Rahmah, anak perempuan tidak pernah diam dan aktif berkegiatan serta punya cita-cita tinggi, bermanfaat bagi sesama hingga buahnya dipetik kelak
Dear, Kampung Halaman
Aku sadar bahwa semua ini hanya ujian hidup meski tak berkesudahan. Di saat aku masih terlihat biasa-biasa saja dari pandangan mata. Dari ujung rambut hingga ujung kaki yang terlihat bukan barang-barang mewah. Meski angka di rekening lebih dari yang aku butuhkan setiap hari, tetap saja akan selamanya rendah dan dikucilkan
Dear, Kampung Halaman
Saat seperti ini rindu bapak allahuyarham tapi aku tidak pernah tahu bapak akan mendukungku atau ikut di barisan mereka yang mengucilkan.Â
Namun, sejauh yang aku rasakan dan pengalaman masa kecil yang teringat, bapak akan selalu berada di belakangku, melindungiku meski sesekali memberikan nasihatnya agar aku tetap tak salah langkah.
Dear, Kampung Halaman
Jika tahun depan aku harus mengunjungimu lagi, mungkin tak akan lama. Sejenak hanya ingin menjabat erat tangan mama agar sudi memaafkan anak sulungnya yang dianggap sudah mengecewakan harapannya sebagai anak pertama.
Anak yang harusnya jadi contoh adik-adiknya dalam hal pekerjaan karena sudah bersekolah tinggi tetapi harus berubah haluan dan bekerja dari rumah saja.
Pengakuan pun hilang tapi apa daya harus dijalani karena memang hidup di kota besar tanpa ART itu bukan sesuatu yang mudah. Anak-anak besar dari tangan sendiri tanpa menyusahkan orang tua apalagi orang lain yang tak dikenal.
Dear, Kampung Halaman
Aku ingin eksplor lebih lama karena ternyata sudah ada beberapa tempat yang tidak saya ingat. Mengandalkan teman yang sudah lama dan masih di kota ini adalah jalan ninja agar segera mendapat jawaban akurat. Sayangnya mereka pun sudah sibuk dengan dunia masing-masing. Aku hanya bisa menikmati apa yang bisa meski sesekali menghela napas panjang berharap semua segera berlalu dan menjadi bahagia kembali. Entah bisa atau tidak.Â
Dear, Kampung Halaman
Maafkan jika surat ini membuatmu terluka atau mungkin merasa aku terlalu banyak menuntutmu sesuai keinginanku. Namun, setiap kali aku menemuimu memang itulah yang selalu terasa. Sejak aku memilih jalanku dan berubah haluan menjadi perempuan biasa saja, punya anak banyak hingga bekerja dari rumah.
Kata teman yang memiliki jalan hidup sepertiku, harusnya aku bangga katanya. Harusnya aku lebih bisa membusungkan dada karena menjadi ibu anak tiga dan dirawat sendiri tanpa harus ditinggal bekerja dan lainnya, menjadi nilai lebih sebagai ibu. Namun, orang-orang di kampung halamanku justru menganggap itu sesuatu yang sangat ketinggalan alias kuno.Â
Ah, sudahlah. Semoga suratku membuatmu selalu bertahan jika aku datang kembali dengan berbagai keadaan. Jaga diri sebagaimana aku berusaha menjaga diriku juga di rantau.
***Â
Well, surat ini untukmu wahai Kampung Halaman. Meski aku tak yakin kamu mampu memahaminya dengan benar dan sesuai yang aku harapkan. Semoga jumpa lagi tahun depan jika benar umurku mampu demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H