Mohon tunggu...
Mohamad Hamzah Nurfalah
Mohamad Hamzah Nurfalah Mohon Tunggu... -

Technopreneur, sociopreneur, urban and city planner

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Taksi Online dan Keadilan Persaingan Bisnis

24 Maret 2016   00:58 Diperbarui: 24 Maret 2016   09:15 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Kompas - Hendra A. Setiawan"][/caption]Kemarin kita baru saja dihebohkan dengan peristiwa demonstrasi supir taksi reguler atas menjamurnya bisnis taksi online. Sweeping yang berujung pada tindakan anarkis menjadi tontonan menarik di tengah acara TV yang semakin tidak berkualitas. Kejadian ini dipicu terutama oleh berkurangnya isi kantong supir taksi reguler setelah munculnya taksi online, ada yang bilang 60%, ada yang bilang 40%, padahal ada juga yang bilang tidak berkurang.

Kejadian ini sebenarnya bukan kejadian yang tidak bisa diprediksikan. Konflik taksi online dan reguler sudah terjadi di banyak negara yang lebih dulu disambangi taksi online. Di Indonesia sendiri sebenarnya percikan-percikan api sudah muncul dari awal beroperasinya taksi online di Jakarta. Masalah persaingan bisnis, regulasi, dll sudah menjadi topik yang selalu disinggung saat taksi online ini mulai beroperasi. Konflik ini bahkan terjadi internal eksekutif pemerintah sendiri, tentu kita masih ingat dengan drama pelarangan ojek online yang langsung dianulir kurang dari 24 jam.

Setelah kejadian ini, respon dari masyarakat pun bermunculan. Tapi yang saya lihat sebagian besar masyarakat cenderung mendukung taksi online. Menurut saya hal ini sangat wajar, karena di tengah semakin tingginya biaya hidup di kota Jakarta, harga murah yang di tawarkan oleh taksi online menjadi penyelamat bagi sebagian besar masyarakat (termasuk saya). 

Respon juga muncul tidak hanya dari masyarakat awam. Ahli sekelas Rhenald Kasali pun ikut berkomentar, dan isinya sama, cenderung mendukung taksi online dan melihat ini sebagai fenomena perubahan teknologi yang tidak bisa dibendung. Banyak juga tulisan yang membandingkan kejadian tergesernya dokar dengan bemo, bego dengan taksi, taksi tidak berargo dengan taksi berargo, toko offline dengan toko online.

Walaupun saya adalah penikmat taksi online, izinkan saya berpendapat senetral mungkin.

Absennya Peran Pemerintah

Saya berpendapat kejadian ini terjadi terutama karena absennya peran pemerintah. Ya memang benar bahwa taksi online adalah bentuk perubahan model bisnis atas penerapan teknologi dan ide yang sangat baik, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Tapi, saya melihat peran pemerintah untuk memberikan keadilan di usaha ini belum berjalan. Seperti saya tulis di atas, bahwa kejadian ini bukannya tidak dapat diprediksi. Kejadian di negara lain tentu bisa dijadikan pembelajaran yang baik. Lambatnya peran pemerintah dan malah justru cenderung mendukung salah satu pihak menyebabkan kejadian yang berdampak buruk kemarin.

Mungkin ada yang berpendapat, "Taksi reguler aja yang ga mau berubah, ini kan perkembangan teknologi, bla bla bla." Oke, kalau anda bilang ini adalah perubahan teknologi, sebenarnya ada perusahaan taksi reguler pun sudah memiliki aplikasi booking, bahkan aplikasi Grab Taxi pun sudah menjadi aplikasi yang digunakan oleh perusahaan taksi reguler. jadi anggapan bahwa perusahaan taksi tidak melek teknologi menurut saya tidak tepat.

Dari hipotesis di atas, pendorong utama masyarakat menggunakan taksi online adalah harganya yang murah, bukan karena teknologi yang andal. Kalau begitu mari kita lihat kenapa mereka bisa murah.

Saya pernah membaca ada yang menganalogikan dengan low cost carrier (LCC) di industri airline. Tapi menurut saya LCC itu adalah model bisnis yang luar biasa yang merupakan buah dari kejelian efisiensi biaya. Ada yang berpendapat bahwa harganya bisa murah karena tidak ada biaya sewa kantor, sewa pool, listrik kantor dst, dst. Tapi tunggu dulu, apa betul taksi online tidak perlu kantor dan listrik, tentu masih perlu. Mungkin kita bisa benchmark di salah satu penyedia transportasi online motor bermarkas di kantor besar di daerah Kemang, Jakarta.

Oke, memang ada efisiensi biaya, terutama dari penyediaan armada, penyediaan lahan untuk pool armada, tapi saya melihat efisiensi biaya terbesar terutama dari perizinan. Kita tahu bahwa untuk mengantongi izin angkutan bukan perkara mudah, bahkan jumlah armada taksi di satu kota saja sebenarnya dibatasi. Bahkan SIM untuk kendaraan umum saja seharusnya berbeda, dan biaa pembuatannya pun berbeda. Yang kedua tentu masalah pajak yang menjadi beban perusahaan taksi reguler.

Saya pernah berbincang dengan salah satu supir taksi online, dan yang membuat saya cukup tercengang adalah pembayaran dari penumpang menurut dia sepenuhnya untuk supir, tanpa dibagi ke perusahaan. Dan lebih gilanya lagi, pada saat promo biaya yang harusnya dibayarkan oleh penumpang menjadi beban perusahaan. Saya melihat disini ada arus kapitalisme yang luar biasa. Perusahaan rela untuk "merugi" dalam jumlah yang menurut saya tidak sedikit untuk mendapat pasar, dan menurut saya, ini harus diatur.

Transportasi Kota

Dari pemikiran itulah saya merasa bahwa peran pemerintah telah hilang dalam kasus ini. Bila dikaitkan lebih lanjut ke masalah transportasi, saya beranggapan bahwa kondisi ini justru akan memperparah kemacetan di Jakarta. Tentu ada alasan mengapa armada taksi di suatu kota dibatasi. Hal ini terkait dengan daya dukung kota tersebut akan jumlah kendaraan yang ada di dalamnya. Model bisnis taksi online ini memicu munculnya entrepreneur baru di bidang transportasi (bagus sebetulnya), untuk membeli mobil dengan cara kredit dan pembayarannya dari hasil usaha menjadi taksi online. Bayangkan bila kejadian ini tidak dikontrol oleh pemerintah. Berapa banyak penambahan mobil baru di Jakarta akan muncul? Kemacetan yang ditimbulkan akan sebesar apa? Lagi-lagi pemerintah absen dalam kasus ini.

Jika ditarik lagi lebih jauh ke belakang, jasa angkutan online semakin diminati terutama karena pemerintah gagal menyediakan transportasi publik yang nyaman dan murah ke penduduknya. Saya bukan orang yang anti perubahan, atau anti teknologi (saya menulis ini di smartphone) . Saya juga tidak akan munafik bahwa saya juga penikmat angkutan online, dan secara logis itu sangat wajar. Tapi yang saya sayangkan adalah negara gagal melihat akar masalahnya, dan justru cenderung mendukung satu pihak tanpa melihat dampak yang ditimbulkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun