Saya pernah berbincang dengan salah satu supir taksi online, dan yang membuat saya cukup tercengang adalah pembayaran dari penumpang menurut dia sepenuhnya untuk supir, tanpa dibagi ke perusahaan. Dan lebih gilanya lagi, pada saat promo biaya yang harusnya dibayarkan oleh penumpang menjadi beban perusahaan. Saya melihat disini ada arus kapitalisme yang luar biasa. Perusahaan rela untuk "merugi" dalam jumlah yang menurut saya tidak sedikit untuk mendapat pasar, dan menurut saya, ini harus diatur.
Transportasi Kota
Dari pemikiran itulah saya merasa bahwa peran pemerintah telah hilang dalam kasus ini. Bila dikaitkan lebih lanjut ke masalah transportasi, saya beranggapan bahwa kondisi ini justru akan memperparah kemacetan di Jakarta. Tentu ada alasan mengapa armada taksi di suatu kota dibatasi. Hal ini terkait dengan daya dukung kota tersebut akan jumlah kendaraan yang ada di dalamnya. Model bisnis taksi online ini memicu munculnya entrepreneur baru di bidang transportasi (bagus sebetulnya), untuk membeli mobil dengan cara kredit dan pembayarannya dari hasil usaha menjadi taksi online. Bayangkan bila kejadian ini tidak dikontrol oleh pemerintah. Berapa banyak penambahan mobil baru di Jakarta akan muncul? Kemacetan yang ditimbulkan akan sebesar apa? Lagi-lagi pemerintah absen dalam kasus ini.
Jika ditarik lagi lebih jauh ke belakang, jasa angkutan online semakin diminati terutama karena pemerintah gagal menyediakan transportasi publik yang nyaman dan murah ke penduduknya. Saya bukan orang yang anti perubahan, atau anti teknologi (saya menulis ini di smartphone) . Saya juga tidak akan munafik bahwa saya juga penikmat angkutan online, dan secara logis itu sangat wajar. Tapi yang saya sayangkan adalah negara gagal melihat akar masalahnya, dan justru cenderung mendukung satu pihak tanpa melihat dampak yang ditimbulkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H