Mohon tunggu...
Muhammad Hamzah
Muhammad Hamzah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar

Kajian IHSAAN | Madrasah Al-Imtiyaaz | Makassar English Plus (MEP) | Al-Markaz for Khudi Enlightening Studies (MAKES) | Pesantren Modern IMMIM | Aktivasi IKHLAS | Pelatihan Shalat | Kota Makassar, Sulawesi Selatan |

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Antara Kompas, Kompasiana, dan Kompasianer plus Anas Urbaningrum

15 April 2012   06:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Ahad/Minggu ini, 15 April 2012,  seorang kompasianer kembali memberi pelajaran berharga kepada penulis.

Inti pelajarannya adalah sebagai seorang penulis, kita perlu untuk cermat dan berhati-hati dalam membaca, mencerna (baca:memahami) kemudian mengutip berita untuk dijadikan sumber (inspirasi) tulisan kita.

Kompasianer tempat saya belajar ini menayangkan dua tulisan di Kompasiana tercinta ini. Kedua tulisan tersebut tayang pada hari ini dengan selisih waktu yang tidak terlalu jauh (dini hari WIB, kalau tidak keliru).

Penulis tidak akan fokus pada tulisan sang kompasianer kita melainkan pada dua berita yang berkaitan dengan  kedua tulisannya. Kebetulan, sumber berita berasal dari Kompas.com, 'bapak' (?) Kompasiana.com.

Berita yang kompasiner kita rujuk berjudul (1) "Ada 4 Jet Pribadi di Resepsi Anak Gubernur". Pada tulisannya yang kedua, ia kembali merujuk pada berita yang sama. Padahal, Kompas sudah menayangkan satu berita yang berkaitan yang intinya adalah bantahan Anas Urbaningrum yang bisa dibaca melalui tautan ini: (2) "Anas Urbaningrum: Saya Tidak ke Jambi".

Membaca dengan hati-hati kedua berita tersebut, penulis kemudian sampai pada kesimpulan bahwa Kompas, di tengah minimnya pengetahuan penulis soal jurnalistik,  telah menyajikan berita yang berimbang, cover both sides. Media ini pun juga sudah mencantumkan sumber berita, yaitu Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Jambi, Al Haris pada berita pertama serta Anas Urbaningrum pada berita kedua.

Menilik isi berita, perhatian penulis tertuju pada waktu wawancara serta waktu peristiwa/kejadian yang menjadi obyek wawancara. Sang Kepala Biro yang diwawancarai Kompas pada hari Jumat (13 April) menyampaiakn perihal suatu peristiwa yang AKAN terjadi pada hari Sabtu (14 April). Ketika wawancara tersebut dimuat pada hari Sabtu, boleh jadi, peristiwa yang diberitakan BELUM TERJADI atau paling tidak ada ruang di mana peristiwa yang AKAN atau direncakan terjadi batal. Padahal, rencana tersebut sudah dimuat dan dibaca oleh jutaan (?) orang. Efeknya, peluang timbulnya persepsi bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi (padahal belum tentu) sangatlah besar.

Nah, persepsi inilah, yang boleh disebut sebagai opini, yang seolah-olah dianggap sebagai fakta.

Anas Urbaningrum, yang oleh berita (1) "juga disebut-sebut akan hadir", pada hari ini, Ahad (15 April) , telah dimuat bantahan kehadirannya atau keberangkatannya di/ke Jambi oleh Kompas (baca berita [2]).

Sampai pada titik ini, Kompas tidak memiliki masalah dalam pandangan penulis. Kompas tidak membuat berita bohong dan atau berat sebelah. Bila kedua berita yang dimuat Kompas di atas memang sesuai fakta, maka kita bisa mengurai bahwa bisa jadi memang ada rencana Anas ke Jambi, meski keakuratannya rendah mengingat redaksi berita menggunakan kata "disebut-sebut". Namun ini tidaklah penting. Karena pada kesempatan berikutnya, Anas membantah berita tersebut.

Nah, bantahan Anas ini penting bagi Kompas untuk dimuat dan kenyataannya memang dimuat. Namun apakah bantahan tersebut penting bagi kita, dalam arti percaya atau tidak, terpulang pada apa yang masing-masing kita yakini, atau tepatnya, apa persepsi kita terhadap seorang Anas Urbaningrum.

Bila persepsi kita "Anas (maaf) bohong (dan/karena) ia adalah seorang koruptor", maka sekeras apapun bantahan Anas tidak penting bagi kita. Karena toh pada dasarnya, ia bukan pribadi yang jujur (sekali lagi menurut persepsi kita, lho).

Inilah titik krusial, titik penting bagi seorang penulis untuk mampu menyingkirkan persepsinya, baik yang positif apalagi yang negatif, terhadap seseorang dan fokus pada fakta atau pada jawaban apa yang sedang/telah terjadi ketika menulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada sang kompasianer, Kompas, dan Kompasiana karena telah menyajikan sebuah pelajaran dasar nan berharga hari ini. Untuk mas Anas Urbaningrum, penulis berpegang pada keputusan pengadilan, meski mesti menunggu lama dengan tingkat skeptis yang tinggi, sebelum menempelkan atau tidak menempelkan  'cap' koruptor.

Pelajarannya: hindari prasangka, bedakan opini dengan fakta.

(Dan maaf ya bila ada salah kata... :) ya...)

Selamat menikmati akhir pekan.

Makassar, 15 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun