Apa itu Open AI
Kemajuan teknologi memberikan kemudahan bagi umat manusia untuk merangkai kata. Inovasi yang paling dianggap berdampak bagi kemaslahatan manusia saat ini adalah artificial intelligence (AI). Salah satu yang mencuri perhatian adalah Open AI. Open AI merupakan perusahaan yang bergerak dibidang riset dan pengembangan kecerdasan buat. Pelopor Open AI adalah Elon Musk, Sam Altman, Greg Brockman, Ilya Sutskever, dan beberapa ahli AI lainnya.
Perusahaan yang didirikan pada tahun 2015 ini dimaksudkan untuk meneliti sejauh mana AI mampu bekerja. Open AI mengembangkan AI dengan aman, terkendali, dan bermanfaat bagi manusia. Salah satu program unggulannya adalah Chat GPT yang mampu menyuguhkan teks komprehensif yang sesuai dengan pertanyaan yang kita berikan. Namun selain Chat GPT, ada juga beberapa program lain yang dibuat oleh Open AI, salah satunya adalah Dall E, sebuah learning engine yang dapat mengolah data teks untuk diubah menjadi gambar. Lalu ada juga Codex. Secara konseptual, Codex hampir mirip dengan GPT atau Dall-E. Bedanya, Codex dapat mengolah teks atau bahasa alami menjadi kode pemrograman.
Pengenalan Chat GPT
Chat GPT adalah program yang dibuat oleh Open AI pada November 2022 yang dapat digunakan sebagai chatbot dalam bentuk model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformator untuk memprediksi kemungkinan frasa atau kata berikutnya dalam percakapan atau perintah teks. Jelas platform ini sangat membantu para pelajar di Amerika Serikat mengingat San Francisco merupakan asal Open AI. Pelajar disana sangat dibantu dengan adanya kemudahan dalam membuat tugas dan menyelesaikan soal, atau bahkan hanya untuk menerjemahkan teks.
Alasan Chat GPT dilarangÂ
Dengan maraknya kecurangan yang terjadi, Kementrian Pendidikan New York melarang penggunaan Chat GPT di lingkup pendidikan. Hal ini diakibatkan kan karena telah banyak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pelajar disana. Chat GPT dianggap dapat menginspirasi lebih banyak kecurangan oleh siswa yang memanfaatkan perangkat dan jaringan sekolahnya. Menurut juru bicara Kementerian Pendidikan New York, penggunakan Chat GPT mampu mematikan insting pelajar untuk berpikir kritis, padahal itulah hal terpenting dalam memecahkan masalah, dan itu penting untuk urusan akademik seterusnya.
Beberapa sekolah lembaga pendidikan di Amerika dan Australia menggunakan cara melarang para siswanya untuk membawa ponsel ke sekolah untuk menghindari penggunaan AI. Dan juga ada yang sampai mengembalikan metode pengambilan nilai menjadi ujian tulis konvensional. Namun banyak juga orang yang menganggap bahwa seharusnya sekolah-sekolah mampu berlomba-lomba untuk mengembangkan AI dan memaksimalkan penggunaannya agar dapat bermanfaat baik.
Sudut pandang filsafat ilmu
Fenomena ini sebenarnya mampu ditinjau melalui kacamata filsafat ilmu. Salah satu cabang utama yang mampu menjelaskan kondisi yang terjadi di Amerika Serikat adalah Aksiologi. Aksiologi adalah salah satu cabang studi ilmu filsafat yang mempertimbangkan hakikat nilai dan benda-benda apa saja yang memiliki nilai.Â
Aksiologi mempelajari tentang nilai-nilai dan prinsip kehidupan dari sisi ilmu filsafat, dan mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi juga membahas masalah-masalah moral, perilaku, norma, dan adat istiadat yang berlaku pada komunitas tertentu. Aksiologi merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu yang saling terkait dengan ontologi, epistemologi, dan logika. Aksiologi dapat digunakan dalam berbagai bidang, seperti dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, agama, dan kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul karena meragukan korelasi antara aksiologi dengan penggunaan Chat GPT. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai kehidupan (Adib, 2010). Jelas, fenomena kecurangan pelajar di Amerika Serikat yang menggunakan Chat GPT dalam ujian atau lainnya tidak dapat dinilai sebagai orientasi yang baik dalam mendapatkan nilai. Aksiologi membahas sesuatu hal yang sangat fundamental dan mendasar dalam kehidupan manusia, dimana ini membahas tentang cara manusia seharusnya bertindak (Adib, 2010). Dari teori ini lah muncul yang namanya etika dan estetika dari suatu pemikiran dan tindakan.
Aksiologi memperhati suatu fenomena yang akan berdampak ke masyarakat. Teori ini dapat menilai berkualitas atau tidaknya fenomena ini terjadi. Penggunaan Chat GPT oleh siswa Amerika Serikat dapat masuk kedalam kriteria pemahaman aksiologi karena para siswa dianggap telah puas dalam penggunaan platform chatbot tersebut. Dengan bantuan AI, mereka tidak perlu bersusah payah berpikir secara kritis dan koheren.
Pandangan yang berbeda
Dalam kondisi seperti ini, akan terpecah menjadi dua sisi, dimana ada yang menganggap penggunaan Chat GPT memiliki nilai aksiologi yang positif atau negative. Sisi positif pastinya menjadi opini para pelajar, dimana mereka dapat dipermudah dalam membuat tugas bahkan dalam merangkai esai. Para pelajar pastinya menganggap bahwa pemanfaatan AI ini merupakan bagian dari bentuk pemuasan diri melalui konteks kemajuan teknologi. Mereka berorientasi pada mendapatkan nilai yang tinggi dan mampu membuat suatu tugas yang memiliki kualitas tinggi.
Kontra dari sisi tadi ialah sisi dimana menganggap bahwa penggunaan AI merupakan kecacatan dalam bertindak. Sisi ini menjadi opini utama yang dilayangkan oleh pihak terdampak, dalam hal ini adalah sekolah dan Departemen Pendidikan New York.Â
Mereka sangat meragukan kecakapan teknologi ini. Bukan hanya itu, kekhawatiran mereka terhadap kualitas berpikir generasi muda akan tumpul. Substansi itu bebas nilai, tergantung pada pemakaiannya (Adib, 2010). Otoritas pendidikan setempat takut dengan maraknya penggunaan Chat GPT akan membawa dampak negatif dalam keberlangsungan pendidikan pelajar tersebut. Semakin dipermudahnya untuk mendapat jawaban, maka akan semakin malasnya remaja untuk melakukan literasi, konvensional maupun digital.
KesimpulanÂ
Tujuan utama dan awal aksiologi adalah menentukan mana yang benar dan tepat dari fakta yang ada (Adib, 2010). Maka dari itu, kita harus melihat secara luas persoalan ini. Kita tidak dapat melihat fenomena ini dari satu perspektif saja, karena itu akan menimbulkan kecacatan dalam berpikir, dan juga tidak memenuhi prinsip aksiologi. Kita juga dapat melihat fenomena ini melalui kacamata aksiologi yang dibarengi dengan teori kebenaran korespondensi yang dimana suatu hal akan dianggap benar bila sesuai dengan objek dan fakta yang ada.
Filsafat mampu melihat fenomena ini dengan kacamata aksiologi secara general. Namun bila kita ingin lebih mendalami keadaan ini yang melibatkan kemajuan teknologi, akal berpikir, etika, dan juga cara berpikir, maka kita membutuhkan media dan teori lain yang dapat membantu kita. Salah satunya adalah dengan mengikutsertakan teori-teori kebenaran dalam filsafat ilmu. Sehingga keabsahan cara berpikir dapat tervalidasi oleh ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya.
 Referensi
Adib, Mohammad, 2010. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H