"Menurut Bapak, apa?" ketusku.
"Eh, jangan ketus gitu, Dwi! Perempuan yang menabrakmu kan tidak sengaja."
"Iya Pak, hanya aku begitu kesal kepadanya."
"Gimana, bagian mana yang sakit, Dwi?"
"Alhamdulillah gak ada Pak. Terima kasih atas keperduliannya."
Entah saat itu aku merasa begitu kesal. Mengapa harus terjadi hal yang memalukan, kala kita begitu dekat. Bahkan saking dekatnya, aku bisa mencium aroma tubuhmu, melihat kebeningan bola matamu yang tersimpan di balik bingkai hitam kaca matamu. Hal itu sungguh di luar anganku. Juga bagaimana kepedulianmu hingga julur tanganmu mengisyaratkan untuk membangunkan aku dari telimpuhku. Setelah kuterbangun, tak ingin membuang waktu, aku membalikkan punggung dan menjauh pergi.
Sejujurnya, ingin lebih dari itu. Lebih dari sebuah jabat temu atau akrab sapamu. Dikenal dan diketahui apa pekerjaanku hari ini olehmu saja sudah kupanjatkan syukur terbaikku pada Tuhan. Mungkinkah hari ini seperempat doaku telah dihijabah. Tentu, saat menuliskan ini, aku begitu masih kental ingat betapa dalam matamu. Menatapku dengan mata kecoklatan. Dan jajaran alis yang rapat-rapat.
Rasanya, aku ingin segera menyudahi tulisan ini dan berangkat tidur yang kuniatkan untuk bermimpi lagi. Siapa tahu, Tuhan sedang memberikan humor lagi berbentuk mimpi jumpa denganmu. Jika iya, maka dalam mimpi aku ingin mengajakmu ke kota yang paling lenggang. Di sana tidak ada seorang dewasa pun selain kita dan anak-anak kecil yang riang bertelanjang kaki-lari girang ke sana-ke mari. Dan kau, mengajakku duduk di atas hijau rumput tebal, sambil menonton pemandangan indah dan menjabat erat tubuhku.
Ketika aku bermimpi demikian, aku beri permintaan kepada Tuhan untuk tidak bangunkan aku dalam jaga yang melelahkan.
September tahun ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H