Mohon tunggu...
MH Kholis
MH Kholis Mohon Tunggu... Pegiat Sastra -

petualang, pegiat sastra, juga pencinta kopi. twitter: @mhkholis, Fb: MH Kholis. ig: @mhkholis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Lahir pada Bulan Desember

14 Desember 2015   20:29 Diperbarui: 14 Desember 2015   20:29 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Aku masih merasakan hadirnya sebuah nama yang ketika kusebut selalu mengingatkan pada bulan kelahiranku. Di sebuah stasiun kereta ia memberikan secarik kertas yang berisi nama dan bulan lahir yang sama. Dan ia pergi meninggalkan sebait puisi di bawah nama yang diberikan padaku. Desember. Sebuah nama yang sering menjadi diorama rasa bagi sebagian orang. Nama yang sering menjadi nyanyian penyair dan juga nyanyian penyuka hujan. Bahkan, 60 tahun lalu seorang sutradara terkemuka pernah membuat sebuah film yang diberi judul Kabut Desember. Betapa, Desember selalu menjadi sebuah nama yang estetik dan penuh makna juga peristiwa roman di dalamnya. Sampai Desember keenam ia masih setia dengan tulisan dan perasaan yang selalu ia jaga. Padaku. Entahlah. Sampai kapan perasaan itu akan kukuh di dadanya yang selalu terjal.

***

            “Sudah dua tahun, ya kita memandang arah yang sama,” suatu sore dialog itu lahir dari bibirnya yang kelu. Aku memandang langit yang galau. Ditemani gugusan warna yang pudar. Ia menatap sejenak langit itu. Tanpa ia tahu aku memandangnya dengan dada risau. Aku tahu ia tidak merasakan apa yang kurasakan. Namun, ia tahu degup dadaku yang semakin mengerang ketika kelopak matanya nanar menatapku.

            “Aku berharap, setiap Desember kita akan tetap melihat langit di sini,” perlahan aku mulai membuka dialog yang sejak langit melamun kami hanya diam. Sesekali ia membuka novel yang baru saja kuberikan untuknya. Ia hanya membalas dengan senyum yang selalu meruntuhkan deru napasku. Di bawah langit itu kami hanya sesekali bercerita tentang waktu yang telah kami lewati. Sebuah perjalanan yang tidak pernah menyentuh rasa. Sebuah masa yang hanya diisi dengan dialog mesra tanpa memahatnya menjadi sebuah relief cinta.

            “Aku juga berharap begitu,” jawabnya sembari menghirup silir angin yang sendu. Ia bercerita tentang hari lahirnya yang hanya berbeda beberapa hari dengan hari lahirku. Sesekali aku menoleh pada wajahnya yang semakin sayu dalam ceritanya dan memberanikan diri menggenggam jemarinya. Ia menoleh lalu tersenyum.

Sore sudah semakin renta. Ia pamit untuk pulang dan aku hanya mengangguk mengiyakan kepergiannya. Aku pun beranjak meninggalkan sore yang setia merawat senja. Berjalan gontai ke rumahku yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat pertemuanku tadi.

***

            Ekalaya. Sebuah nama yang selalu mengingatkanku pada seorang kesatria yang pandai memanah. Hanya saja ia tidak pernah mendapat tempat di mata kesatria lainnya. Namanya hilang begitu saja walau kelihaiannya dalam memanah hampir lebih sempurna dibandingkan dengan Arjuna. Seorang kesatria dari kelurga Pandawa yang mengaku dirinya satu-satunya pemanah terhebat di jagat ini.

            Aku sangat menyukai namanya. Karakternya pun hampir sama dengan Ekalaya yang terdapat dalam tokoh wayang yang aku baca. Ia tidak pernah meminta untuk diakui setiap ia membuat sebuah karya. Ia pun gigih berlatih tanpa harus ada yang mengajari atau membimbingnya. Aku seakan melihat jiwa Ekalaya terdapat di dalam jiwanya. Sikapnya yang ramah juga lemah lembut membuatku yakin bahwa ada jiwanya di dalam jiwannya.

            Ekalaya. Aku menulisnya di dalam sebuah bingkai yang penuh dengan bunga. Meletakkan namanya pada setiap puisi yang kutulis. Diam-diam aku mulai merasakan debar di dalam rongga dadaku. Tidak. Aku seorang perempuan. Tidak boleh menanam perasaan terlebih dahulu. Tetapi, sebuah kisah di dalam sebuah novel mengingatkanku pada seorang perempuan yang secara terang-terangan menyatakan perasaan pada seorang pangeran yang ditemuinya. Begitu pun dengan Zulaikha, yang jelas terang-terangan menyatakan dirinya suka dan menggoda dengan bahasa Ibraninya pada Yusuf, yaitu: “Haita Lak”. Lalu, apakah aku akan menjadi seorang perempuan seperti dalam novel tersebut atau menjadi Zulaikha dalam histori cintanya pada Yusuf. Barangkali iya atau barangkali tidak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun