Dulu namanya "Kereta.."  begitu kami menyebutnya... sebelum sebutan itu diganti menjadi 'Commuter Line' (CL)  Ah, apapun namanya ular besar terbuat dari besi itu, menjadi tunggangan favorite kami saat ini. Hampir setiap pagi saya dan beberapa rekan kerja rela berjejalan dalam kotak sempit di perut moda transportasi itu demi menempuh perjalanan lebih singkat menuju tempat kami bekerja.
[caption id="attachment_310497" align="aligncenter" width="415" caption="Kereta Commuter Line Jabodetabek"][/caption]
Lebih singkat...? hmmmm ....entahlah, mungkin tidak sama apa yang saya pikirkan tentang motivasi saya naik CL dengan apa yang dipikirkan oleh penumpang lain. Setidaknya dorongan itulah yang 'memaksa' saya memutuskan untuk merelakan diri diangkut oleh Commuter Line dari kota tempat tinggal saya Bekasi menuju tujuan saya, Salemba.  Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa para pencari nafkah di Ibukota Jakarta lebih dari 50% tinggal di pinggiran kota atau di kota kota pendukung sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Padatnya lalulintas di jalan raya, membuat sebagian orang memutuskan untuk naik Commuter Line. Baik itu karena pilihan atau pun karena tidak ada pilihan.
Nyamankah....?  sambil tersenyum saya merenungkan pertanyaan singkat ini. Ingatan saya melayang ke beberapa waktu silam, ketika aturan Kereta Rel Listrik (KRL) belum berubah seperti sekarang. Dulu... ada penggolongan kelas pada KRL. Seingat saya, KRL tujuan Bekasi - Jakarta Kota dibagi menjadi tiga kelas. KRL Ekonomi, KRL ekonomi AC, dan KRL Ekspress kelas Eksekutif.
KRL Ekonomi berbiaya murah, tanpa pendingin ruangan bahkan bisa jaditanpa pintu. Penggunanya pun berasal dari kalangan menengah ke bawah atau mereka yang mempertimbangkan biaya ekonomis senilai Rp. 1500. Tidak heran bila penumpangnya penuh dan berjejalan.
KRL Ekonomi AC sedikit lebih nyaman daripada KRL Ekonomi. Berpintu otomatis, dan berpendingin ruangan meskipun terkadang fasilitas ini digantikan dengan kipas angin listrik. Penumpangnya kebanyakan dari golongan menengah, pegawai kantoran yang sedikit menghendaki perjalanan lebih nyaman. Karena tarif yang diterapkanpun tidak terlampau mahal, hanya Rp.4500 saja.
Ada juga KRL Ekspress Eksekutif. Kereta Listrik ini sangat nyaman. Selain tidak pernah penuh, hampir semua penumpang mendapatkan tempat duduk. Ruangan di dalam kereta berpendingin tanpa henti, dan perjalanan kereta menjadi prioritas. Akan di dahulukan oleh stasiun stasiun penghubung untuk mencapai tujuan terlebih dahulu dibanding Kereta Listrik yang lain. Berhentinya pun tidak di setiap stasiun. Para penumpang nya adalah mereka yang berani membayar cukup mahal untuk membeli segala kenyamanan itu yaitu senilai Rp. 8000 sekali perjalanan.
Tidak hanya kelas KRL saja yang berbeda, bahkan para penumpang nya pun berbeda perilaku. Di sisi penampilan dalam KRL ekonomi yang lebih banyak di penuhi dengan penumpang yang apa adanya, tampak dalam penampilan yang tidak terlalu rapi. Bahkan cara bicara dan mengobrol yang lebih bebas dibanding penumpang KRL dengan kelas yang lain. Gerbong kereta yang penuh dengan asap rokok, padahal kalau dihitung harga sebatang rokok jika dijumlah dengan harga tiket kereta KRL Ekonomi bisa digunakan untuk membeli tiket dengan kelas di atasnya. Dan dalam beberapa kasus ditemukan beberapa penumpang yang sengaja tidak membeli tiket.
[caption id="attachment_310498" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pri atty"]
Berbeda dengan penumpang KRL Ekonomi, penumpang KRL Ekonomi AC sedikit tampak lebih rapi. Selain karena rata-rata mereka adalah pegawai kantoran, nampaknya mereka juga saling menyesuaikan diri. Atau mungkin terdorong gengsi. Cara berinteraksi antar penumpang pun berbeda.
Lain lagi dengan penumpang di KRL Ekspress Eksekutif, yang mungkin tingkat sosial nya pun lebih tinggi. Dengan suasana Gerbong yang lebih hening tanpa suara, bahkan terkesan antar penumpang tanpa interaksi.
Dan semua itu berubah, saat kebijakan PT KAI mulai meniadakan KRL Ekonomi dan KRL kelas eksekutif. Semua berubah menjadi Commuter Line, atau dalam istilah kami menyebutnya sebagai Kereta penghubung antar jalur. Berbagai reaksi muncul dari para penumpang yang memang menjadi pengguna rutin KRL.
Yang terbiasa menggunakan KRL Ekonomi merasa kawatir dengan nilai biaya yang akan dikenakan, karena semua kereta akan berpintu dan berpendingin ruangan. Kawatir bahwa biaya perjalanan menjadi lebih mahal. Sementara pengguna KRL kelas eksekutif pun kawatir dengan berkurangnya fasilitas di dalam Gerbong, serta berkurangnya prioritas dalam mencapai tujuan. Polemik dan perdebatan mewarnai perubahan itu. Namun dengan cara bertahap perubahan kebijakan itu tetap berjalan. Perjalanan Kereta Listrik yang terintegrasi antar tujuan mulai diberlakukan. Demikian pula sistem ticketing dengan kartu berisi chip. Dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang diterapkan.
Lambat laun, perubahan-perubahan itu dinilai oleh para penumpang lebih banyak menguntungkan dibanding merugikan. Itu bisa dilihat dari lebih banyak nya orang yang beralih menggunakan transportasi massal ini. Penerapan sistem tarif yang mengacu pada penyesuaian jarak, dinilai lebih manusiawi oleh beberapa pengguna jasa Kereta Api. Dari survey yang dilakukan oleh salah satu LSM, pengguna jasa Kereta Rel Listrik antar kota di Jabodetabek meningkat lebih dari 100 %, mengisyaratkan bahwa masyarakat memang benar-benar membutuhkan jasa transportasi yang tidak mahal ( kalau tidak boleh murah ), praktis dan tentu saja nyaman.
[caption id="attachment_310499" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pri atty"]
Nyaman...? hmmm... mungkin ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola jasa kereta api yang menyelenggarakan Commuter Line untuk dipikirkan. Karena bagi sebagian penumpang, terutama yang menggunakan jasa Commuter Line di pagi dan sore hari akan sangat merasakan betapa moda transportasi ini benar-benar hanya berfungsi sebagai 'pengangkut' massal saja. Sebagai gambaran, dipagi dan sore hari pada saat jam masyarakat berangkat atau pulang bekerja. Satu Gerbong Commuter Line yang menyediakan 50 tempat duduk, bisa berisikan lebih dari 200 orang. Bahkan disaat sangat padat, satu meter persegi area kosong didalam gerbong Commuter Line Bekasi - Jakarta Kota bisa diisi 16 orang berdiri saling berhimpitan, masih ditambah mereka yang berdiri terhimpit di sambungan gerbong. Tentu saja bisa dibayangkan, bahwa bagi para pengguna jasa yang rela berdesakan ini pertimbangannya hanya satu memutuskan untuk ikut diangkut secepatnya menuju tempat tujuan.
Tapi nilai positip lain yang didapat dari keadaan itupun muncul. Yaitu perilaku diantara penumpang yang saling menyesuaikan diri. Mereka yang terbiasa berperilaku bebas saat masih menjadi penumpang KRL ekonomi, lambat laun mulai menyesuaikan diri untuk menjadi sungkan berperilaku demikian. Begitu juga penumpang yang berasal dari kelas Eksekutif, mau tidak mau harus rela untuk lebih lelah berdesakan bersama penumpang lain, tanpa memikirkan kenyamanan.
Jadi.... inilah Alat Transportasi publik paling favorite saat ini di Jakarta, dan bagi pengguna jasanya bebas menentukan motivasi saat menggunakannya. Menjadi pilihan, atau karena tidak ada pilihan kembali kepada diri kita masing-masing. Kita berharap dimasa mendatang seiring dengan semakin diperbaikinya berbagai fasilitas, pelayanan Commuter Line setahap demi setahap menjadi lebih baik. Semoga....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H