Dan semua itu berubah, saat kebijakan PT KAI mulai meniadakan KRL Ekonomi dan KRL kelas eksekutif. Semua berubah menjadi Commuter Line, atau dalam istilah kami menyebutnya sebagai Kereta penghubung antar jalur. Berbagai reaksi muncul dari para penumpang yang memang menjadi pengguna rutin KRL.
Yang terbiasa menggunakan KRL Ekonomi merasa kawatir dengan nilai biaya yang akan dikenakan, karena semua kereta akan berpintu dan berpendingin ruangan. Kawatir bahwa biaya perjalanan menjadi lebih mahal. Sementara pengguna KRL kelas eksekutif pun kawatir dengan berkurangnya fasilitas di dalam Gerbong, serta berkurangnya prioritas dalam mencapai tujuan. Polemik dan perdebatan mewarnai perubahan itu. Namun dengan cara bertahap perubahan kebijakan itu tetap berjalan. Perjalanan Kereta Listrik yang terintegrasi antar tujuan mulai diberlakukan. Demikian pula sistem ticketing dengan kartu berisi chip. Dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang diterapkan.
Lambat laun, perubahan-perubahan itu dinilai oleh para penumpang lebih banyak menguntungkan dibanding merugikan. Itu bisa dilihat dari lebih banyak nya orang yang beralih menggunakan transportasi massal ini. Penerapan sistem tarif yang mengacu pada penyesuaian jarak, dinilai lebih manusiawi oleh beberapa pengguna jasa Kereta Api. Dari survey yang dilakukan oleh salah satu LSM, pengguna jasa Kereta Rel Listrik antar kota di Jabodetabek meningkat lebih dari 100 %, mengisyaratkan bahwa masyarakat memang benar-benar membutuhkan jasa transportasi yang tidak mahal ( kalau tidak boleh murah ), praktis dan tentu saja nyaman.
[caption id="attachment_310499" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pri atty"]
Nyaman...? hmmm... mungkin ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola jasa kereta api yang menyelenggarakan Commuter Line untuk dipikirkan. Karena bagi sebagian penumpang, terutama yang menggunakan jasa Commuter Line di pagi dan sore hari akan sangat merasakan betapa moda transportasi ini benar-benar hanya berfungsi sebagai 'pengangkut' massal saja. Sebagai gambaran, dipagi dan sore hari pada saat jam masyarakat berangkat atau pulang bekerja. Satu Gerbong Commuter Line yang menyediakan 50 tempat duduk, bisa berisikan lebih dari 200 orang. Bahkan disaat sangat padat, satu meter persegi area kosong didalam gerbong Commuter Line Bekasi - Jakarta Kota bisa diisi 16 orang berdiri saling berhimpitan, masih ditambah mereka yang berdiri terhimpit di sambungan gerbong. Tentu saja bisa dibayangkan, bahwa bagi para pengguna jasa yang rela berdesakan ini pertimbangannya hanya satu memutuskan untuk ikut diangkut secepatnya menuju tempat tujuan.
Tapi nilai positip lain yang didapat dari keadaan itupun muncul. Yaitu perilaku diantara penumpang yang saling menyesuaikan diri. Mereka yang terbiasa berperilaku bebas saat masih menjadi penumpang KRL ekonomi, lambat laun mulai menyesuaikan diri untuk menjadi sungkan berperilaku demikian. Begitu juga penumpang yang berasal dari kelas Eksekutif, mau tidak mau harus rela untuk lebih lelah berdesakan bersama penumpang lain, tanpa memikirkan kenyamanan.
Jadi.... inilah Alat Transportasi publik paling favorite saat ini di Jakarta, dan bagi pengguna jasanya bebas menentukan motivasi saat menggunakannya. Menjadi pilihan, atau karena tidak ada pilihan kembali kepada diri kita masing-masing. Kita berharap dimasa mendatang seiring dengan semakin diperbaikinya berbagai fasilitas, pelayanan Commuter Line setahap demi setahap menjadi lebih baik. Semoga....