Mohon tunggu...
MG Kurniawan
MG Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Keturunan Adam a.s.\r\n\r\nGerbang Ilmu: http://www.mutiarapublic.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sedikit tentang Gegap Gempita Pilpres 2014

7 Juli 2014   08:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:11 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saran: Siapkan kopi atau teh (sambil ngudut juga boleh). Sebaiknya wudhu dulu (7 kali) sebelum membaca, karena mungkin emosi Anda akan terguncang ketika tahu ini tulisan panjang banget. Tapi, ingat! Karena ini bulan puasa, jadi kopi, teh, rokok, dan emosinya ditahan dulu ya! Salam Dua Puluh Jari! Indonesia Bermartabak!

MELETAKKAN ANGAN PADA KERENDAHAN HATI

Refleksi Pesta Demokrasi Lima Tahunan

*MG Kurniawan


“Kita berdiri di depan foto kontestan dan bebas sepenuhnya memilih mana yang kita pilih. Tidak ditekan, tidak tertekan, tidak dipilihkan, tapi memilih sendiri” –Wiji Thukul

Prolog

Sebenarnya saya menahan diri untuk menulis selama momentum Pilpres 2014. Karena saya sama sekali tidak paham politik. Saya juga nggak ngeh sama agama (yang akhir-akhir ini jadi salah satu bahan jualan kampanye). Komunikasi? Opo maneh! Nol putul! Satu-satunya yang saya paham benar adalah: wanita. aweeennnaaakkkk.

Tiba-tiba, kemarin ada saudara yang SMS saya dan meminta untuk menulis mengenai Pilpres 2014 ini. Saya sempat bertanya, “nyapo gak sampean dewe ae seng nulis?” Dengan entengnya ia menjawab, “Pertanyaan cerdas. Gak potongan penulis”. Singkat cerita, saya menyanggupi dan menulislah saya sekarang.

Hmmm… Bicara Pilpres 2014 itu seperti… Sebentar, tiba-tiba saya jadi ingat kata Gus saya (Sujiwo Tedjo) bahwa, “yang boleh ngomongin Pilpres cuma dua golongan. Pertama, orang-orang yang memang hidupnya dari Pilpres. Kedua, orang-orang yang yakin hidupnya bergantung dari hasil Pilpres”. Lha terus? Apakah kita yang tidak termasuk dalam dua golongan tersebut tidak boleh bicara soal Pilpres? Tidak boleh urun obrolan tentang orang-orang yang akan memimpin bangsa ini lima tahun mendatang? Rasanya, kali ini saya tidak seiya sekata denganmu, Gus!

***

Baik, to the point saja. Hampir selama satu bulan (7 Juni—5 Juli) otak dan hati kita dicuci, diobrak-abrik, dan dibombardir oleh informasi mengenai Pilpres 2014. Baik itu kampanye capres-cawapres, pelanggaran-pelanggaran, kekerasan akibat beda pilihan, dan fitnah yang berhamburan. Sumbernya pun macam-macam. TV, koran, internet, sampai teman sepermainan. Yang membuat saya benar-benar sakit hati adalah bagaimana tim pemenangan beserta media penyokong menggambarkan figur capres-cawapresnya.

(Sebut nama saja langsung, kesuwen) Prabowo Subianto digambarkan sebagai sosok yang tegas dan berwibawa. Tegas? Yakin? Iyo e? Dari mana ya kira-kira mereka menggambarkan kakek ganteng ini sebagai seorang yang tegas? Entahlah, tetapi saya belum merasakan ketegasan yang dimaksud tersebut. Kalau di TNI, okelah. Karena memang tegas adalah salah satu syarat mutlak prajurit. Tapi, sebentar Bung! “Ini Indonesia, bukan (cuma) batalion! Beda dia pimpin pasukan, dan beda dia pimpin rakyat sipil”, itu katanya Adian Napitupulu (eksponen aktivis Forkot ’98). Bukan kata saya loh ya!

Lalu Prabowo juga dicitrakan (ingat selalu kata ini, DICITRAKAN) sebagai pemimpin yang punya wibawa. Hellllooooo??? Kemana saja kalian selama ini? Berapa kali kita DITIPU oleh pemimpin yang berwibawa? Berapa kali kita disuguhkan pemandangan bagaimana orang-orang yang berjas dan berdasi digelandang KPK masuk bui? Berapa kali? Oke, kalau Anda balik berkata, “Jangan samakan Prabowo dengan orang-orang itu dong!”. Sekarang begini, sekalipun beliau berlatar belakang militer, apapun itu Prabowo tetap seorang politisi. Saya kira SEMUA politisi di Indonesia ini hipokrit (munafik/bermuka dua). Anda yakin tidak pernah ditipu? Penculikan aktivis 1997—1998? Gembar-gembor anti asing? Ndaki-ndaki bicara pemberantasan korupsi?

Lantas bagaimana dengan calon presiden nomor urut dua, Joko Widodo? Anies Baswedan pernah mengatakan, “Jokowi tidak pernah punya beban masa lalu”. Hahaha (tak ngguyu dikek). Masa jabatan kedua di Solo? Belum genap dua tahun di Jakarta? Bus Transjakarta? Yang paling menggelitik dari Jokowi sebenarnya adalah bagaimana PENCITRAAN yang dibangun atas beliau. Dalam hal ini harus diakui, tim pemenangan dan media penyokong benar-benar berhasil memoles Jokowi sebagai sosok yang “Bersih, Jujur, Sederhana, Merakyat”. Bersih? Karena saya muslim, saya percaya bahwa selain Nabi Muhammad SAW (Allhumma shalli wasallim ‘alaih) tidak ada manusia yang dijaga dari perbuatan dosa. Artinya? Tidak ada manusia yang bersih (dari dosa). So, Jokowi TIDAK bersih! (begitu pun dengan saya, ya iya lah! hahahaha)

Jujur? Coba deh ingat-ingat beberapa waktu lalu Jokowi pernah bilang apa. Beliau bilang kalau akan menjalankan jabatan Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun (janji kampanye Pilgub, silahkan dicari di yusup, ada kok videonya). Beliau juga meyakinkan kalau yang terjadi di Solo tidak akan terjadi di Jakarta. Sekarang setelah Ibu Besar menjatuhkan instruksi, piye? Ah, sudahlah. Sederhana? Oh ya? Apakah dengan sekadar naik bajaj waktu ke KPU, Anda langsung percaya bahwa beliau sederhana? Bagaimana dengan jet sewaan $7.500/jam yang digunakan untuk kampanye keliling Indonesia? Ayo, dong, kacamata kudanya itu loh, mbok yo dilepas!

Merakyat? Tenan e? Pemimpin rakyat, lahir dari rakyat? Artinya, seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan rakyat, bukan begitu Mas Joko? Lalu mengapa ketika sebagian besar warga Jakarta yang berharap Anda menuntaskan masa jabatan sebagai gubernur, Anda justru langsung tunduk patuh tanpa membantah perintah Ibu Besar? Saya mencoba untuk berbaik sangka. Mungkin Jokowi cs menganggap dengan menjadi Presiden bisa berbuat lebih banyak untuk warga Jakarta. Namun, tiba-tiba pikiran buruk saya muncul kembali. Kalau hanya fokus memenuhi maunya warga ibu kota, terus suara-suara di Aceh, Kalimantan, Papua, Maluku, Nusa Tenggara, bagaimana?

***

Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Indonesia 2014—2019. Pikiran saya kosong. Boleh lah kita mengunggulkan jago masing-masing. Tapi, please, jangan nggilani! Jujur, dengan mengetahui fakta-fakta (semoga apa yang saya bicarakan memang fakta) di atas ditambah dengan riuhnya perbincangan adu jagoan, saya muak. Yang membuat saya semakin muak, perbincangan tersebut tidak pernah terlepas dari mendewakan Prabowo/Jokowi, melemparkan fitnah (semoga apa yang saya bicarakan panjang lebar ini bukan fitnah), dan debat yang membabi buta.

Bagaimana bisa Anda begitu menyanjung pemimpin yang doyan melanggar aturan? Kalau ada waktu, ayo jalan-jalan keliling kota Malang. Akan saya tunjukkan betapa pemimpin-pemimpin tersebut masih dengan bangganya memajang foto narsisnya pada masa tenang kampanye. Alat peraga kampanye dua pasangan yang katanya mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik ini masih terpampang jelas di Jalan Suhat, Jalan Terusan Mergan, Jalan Galunggung, Perempatan Bunga Coklat, depan Dieng Plaza, Kelurahan Samaan, Pasar Tawangmangu, dan sepanjang Jalan Jaksa Agung Suprapto. Itu sejauh yang berhasil saya lacak (aweennnnaaakkkk, koyok detektif ae).Jelas-jelas hal tersebut melanggar PKPU No. 16 tahun 2014 tentang Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Bab V (Jadwal, Waktu, dan Lokasi Kampanye) Pasal 27 (search sendiri saja di website resminya KPU).

Bagaimana bisa Anda begitu sombongnya mengatakan bahwa calon yang ini lebih baik daripada calon yang itu? Membanggakan boleh, tapi jangan menyombongkan. Ada jurang besar antara kebanggaan dan kesombongan! Boleh menaruh harapan besar terhadap dua calon pemimpin ini (saya pun juga begitu), tetapi tetap dengan menjunjung tinggi kerendahan hati. Kalau anda mengklaim Jokowi didukung oleh orang-orang baik, apakah memang seperti itu faktanya? Lalu bagaimana dengan Wiranto, Hendropriyono, Fachrur Rozi, Luhut Binsar Pandjaitan?

Kalau Anda menganggap Prabowo disokong orang-orang baik, apakah… Ah, kalau ini sudah tidak usah dijelaskan panjang lebar lagi ya? ARB, SDA, PKS, MS Kaban, danPrabowo sendiri. Korupsi dan pelanggaran HAM sama-sama bergelayutan di leher calon pemimpin kita. Maka jangan harap mereka mau memutus itu, salah-salah lehernya ikutan putus!

Dalam hal ini, kebiasaan kita yang seringkali justru menjerumuskan adalah pertama, kita selalu ngotot soal mana yang baik dan mana yang buruk. Padahal dalam filsafat, untuk mengukur kebaikan saja ada enam takaran loh: hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme, religiusisme, dan humanisme. Setidaknya harus pakai enam takaran itu dulu kalau mau tahu mana yang haq dan mana yang bathil. Ditambah lagi, karena ukuran kebaikan relatif, dalam hidup ini ya jangan pernah ngotot soal kebaikan (ini katanya Dr. Hipo, dosen kuliah, bukan kata saya).

Kalau kata Romo Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk cari yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Disarikan dari Quran dan Hadis dengan pengutipan yang seenak jidat, “Jangan mencintai sesuatu secara berlebihan, salah-salah nanti kamu membencinya (gengsi dong). Sebaliknya, baik menurut Anda belum tentu baik menurut Gusti Pangeran (makhluk vs Khalik). Sebaliknya, kadang Gusti Pangeran justru menyelipkan banyak kebaikan pada sesuatu yang Anda benci (masalahnya, mencari yang terselip itu susahnya minta ampun, Gusti).

Kedua adalah kita sulit sekali melepas kacamata kuda yang terlanjur melekat dan jadi bagian dari diri kita sendiri. Kalau sudah terima satu informasi, benar-benar dijadikan patokan tanpa ada kemauan untuk cross check kanan, kiri, depan, belakang, atas, dan bawah. Baru dapat berita dari Tipi Wan kalau Jokowi klemar-klemer langsung percaya bahwa memang beliau tidak tegas. Baru dapat berita dari Motre Tipi kalau Prabowo penjahat HAM langsung percaya kalau beliau bengis (eh, kalau ini sih bener ding! hahahaha, guyon rek!). Gus Tedjo bilang, “pemimpin yang satu mematikan nyali, yang dua mematikan nalar”.

***

Epilog

Oh iya, alasan saya menggunakan quote dari Mas Wiji di awal tulisan ini adalah tidak lebih dari bentuk kerinduan seorang anak bangsa terhadap saudaranya. Mas Wiji hilang ketika saya belum genap berusia empat tahun. Masih tertawa riang menikmati masa-masa TK. Belum tahu apa itu kudatuli. Belum ngeh apa itu reformasi. Dan belum dong tentang 13 ksatria yang sampai sekarang masih tak tahu dimana rimbanya. Mas Wiji dan 12 ksatria lainnya adalah salah satu kelompok paling berjasa dan harus rela menelan pil pahit atas terwujudnya reformasi, sekaligus kelompok pertama yang tidak merasakan manisnya buah demokrasi. Atau mungkin, mereka beruntung tidak ikut menyaksikan bagaimana reformasi semakin jauh panggang dari api.

Salah satu yang saya suka dari Mas Wiji adalah bagaimana ia begitu lantang menyuarakan kebebasan. Namun, apakah kebebasan bisa diaplikasikan benar-benar dalam kehidupan? Dalam filsafat determinisme (baik materialis maupun religious) saja dikatakan bahwa manusia itu tidak akan pernah bebas. Dia tidak punya kehendak bebas. Kita tidak mungkin bisa benar-benar bebas memilih calon mana yang kita pilih. Selalu ada intervensi dari negarawan, politisi, orang tua, sahabat, dan yang pasti Gusti Pangeran. Bahkan saya menulis ini pun tidak bebas sepenuhnya. Saya nulis karena diminta, bukan karena mau saya. (Jadi kalau ada salah-salah kata, bukan tanggung jawab saya ya, hahaha)

Sebenarnya saya sudah menentukan pilihan. Namun tulisan ini (semoga) tidak mengarahkan Anda untuk ikut memilih apa yang saya pilih. Kalau tanya caranya bagaimana (buat yang masih bimbang), karena saya muslim, ya saya berpatokan pada empat sifat utama Nabi Muhammad SAW (Allhumma shalli wasallim ‘alaih), yaitu shiddiq (benar ucapan dan perbuatannya), amanah (bisa dipercaya), tabligh (menggaungkan suara Gusti Pangeran), dan fathanah (cerdas, bukan cerdas dagang sapi dan main harem ya, hehehe). Jadi saya berkontemplasi mengenai siapa di antara kedua calon yang paling mendekati sifat-sifat tersebut.

Saya pun merasa tidak perlu memberitahu siapa yang saya pilih. Saya berusaha untuk tidak mempengaruhi pilihan Anda. Dan saya sudah cukup mantap dengan apa yang saya yakini. Jadi, tidak perlu lagi cari teman, hehehehe. Bung Karno pernah bilang, “Bebek itu selalu beramai-ramai, tetapi Elang terbang sendirian”. Nah, tinggal pilih toh? Anda mau jadi Bebek atau Elang?

Kalau Anda tanya, “Jane kon iki ape ngomong opo toh, Tur? Kok gak juelas juntrungane, ngalor-ngidul, duowo pisan?”, ya saya cuma bisa jawab, “kon takok aku, lha aku takok sopo?”

SALAM DUA PULUH JARI! INDONESIA BERMARTABAK!


Aku berbicara bukan untuk Kau bilang pintar. Bukan! Sama sekali bukan! Sebaliknya. Aku ingin Kau luruskan, bila memang ada yang bengkok! Aku ingin Kau benarkan, bila memang ada yang salah! Dan, aku ingin Kau benci, bila memang ada yang harus disayangi!” –MG Kurniawan

NB: Saya bertanggungjawab penuh atas setiap huruf, ejaan, dan tanda baca dalam tulisan ini. Jika (secara tidak disengaja maupun disengaja) terselip fitnah, semoga Gusti Pangeran mengampuni. Kalau ada yang merasa tersinggung, tersakiti, dan tidak nyaman, saya mohon maaf sebesar-sebesarnya. Percayalah, saya tidak punya maksud untuk itu! Yah, namanya juga komedi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun