Mohon tunggu...
Maria Florentina
Maria Florentina Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Duc in altum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitigasi Bencana Lewat Sandiwara Radio

18 September 2016   00:31 Diperbarui: 19 September 2016   13:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar istilah ‘sandiwara radio’ rasanya seperti nostalgia. Cerita-cerita kolosal yang menghiasi keseharian masa lalu masih lekat dalam ingatan. Serentet judul dengan episode panjang berdurasi sekitar setengah jam pernah menjadi hiburan wajib yang menjanjikan dan sangat layak dinantikan oleh para penikmat radio. Tatkala itu, tentunya, semasa sandiwara radio masih berjaya.

Ada kisah cinta, pertarungan sengit, pergulatan batin, komedi, sejarah, dengan bumbu-bumbu yang tentunya sangat kekinian pada masa itu - meski latar cerita tak jarang adalah masa lampau. Panggungnya diciptakan sendiri dalam khayalan. Perawakan setiap tokoh, kondisi lingkungan yang melatari, juga seluruh ilusi yang diperagakan oleh setiap pemain hanya akan muncul dan benar-benar hidup dalam benak masing-masing pendengar. Efek suara, musik, dan kelihaian para pengisi suara yang memainkan tiap-tiap tokoh menjadi penguat panggung imajinatif itu hidup. Di sinilah uniknya sandiwara radio. 

Disadari atau tidak, ada banyak hal yang dapat dipahami dan diserap dengan menyenangkan lewat kebiasaan ‘nongkrong’ mengerumuni radio saat sandiwara favorit diperdengarkan. Tak sekadar bisa dinikmati, kisah-kisah yang diperdengarkan mampu mengajarkan banyak hal kepada pendengar, baik yang sifatnya pribadi maupun umum. 

Pelajaran soal membedakan baik dan buruk, mengenali karakter seseorang, bahkan belajar soal berkelakar dan membangun suasana romantis secara tidak langsung didapatkan lewat kisah-kisah lama di radio. Itu pembelajaran yang bersifat pribadi. Lalu yang bersifat umum lebih banyak lagi. Ada ragam budaya, pengenalan lingkungan hidup, kondisi sosial ekonomi, pendidikan religiositas, toleransi, pembangunan masyarakat, himbauan kesehatan, melek politik, dan banyak lagi. Semua itu terangkum dengan begitu cantik dalam serangkaian kisah yang membuai, dan tak jarang menggugah, pendengar. 

Walau nyaris terlupakan dan ditinggalkan, sandiwara radio punya tempat sendiri bagi pendengar. Ini karena kenikmatan dan kepuasan yang ditimbulkan dari menyimak kisahnya sungguh-sungguh dirasakan oleh setiap pendengar. Beda pendengar, beda imajinasi dan kepuasan. Inilah yang menjadikan sandiwara radio bernilai untuk dikenang, dan sesungguhnya sangat patut dilestarikan, dikembangkan, serta dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan jeli memanfaatkan keunikan ini. Melihat permasalahan besar yang dihadapi oleh negara dengan kemajemukan bencana seperti Indonesia, melakukan mitigasi bencana kepada seluruh lapisan masyarakat lewat berbagai media dan peluang yang ada sungguh merupakan langkah yang tepat. Terlebih memilih sandiwara radio untuk dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil yang masih mengandalkan radio sebagai sarana hiburan, pusat informasi, dan komunikasi dengan dan dari daerah lain yang dianggap sudah lebih berkembang. 

Isu Siaga Bencana menjadi satu topik sosialisasi penting yang diusung untuk disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal ini BNPB tampak berupaya menjangkau lingkup-lingkup pelosok di Pulau Jawa. Tema kolosal yang dianggap masih diminati mayoritas pendengar di pelosok Jawa pun mendorong BNPB mengangkat karya S. Tidjab bertajuk Asmara di Tengah Bencana untuk diperdengarkan lewat 50 stasiun radio lokal yang tersebar di Pulau Jawa. 

Sekilas tentang sandiwara radio yang dipilih BNPB dapat digambarkan seperti berikut ini. Karya tersebut terdiri dari 50 episode dengan durasi dengar 30 menit per episodenya. Isu bencana yang diangkat di dalamnya adalah tentang kegunungapian, tepatnya siaga bencana gunung meletus. Latar cerita adalah pada masa kerajaan Mataram yaitu sekitar abad ke-16. Pertarungan, percintaan, persahabatan, kebijakan serta kearifan lokal menjadi warna yang menarik untuk disimak. Tentunya dipilihnya kisah ini untuk mewujudkan misi sekaligus cita-cita sosialisasi siaga bencana gunung berapi kepada masyarakat pelosok Jawa dapat tercapai. 

Namun, tema kolosal bukanlah satu-satunya tema yang akan dapat dinikmati oleh masyarakat pelosok. Dan mengapa hanya masyarakat pelosok yang ‘disentuh’ lewat sandiwara radio? Di kota-kota besar dan banyak daerah berkembang radio belum ditinggalkan, bahkan masih jadi andalan, baik sebagai sarana hiburan, komunikasi, maupun informasi. Artinya, ada banyak tema kisah yang dapat diangkat, dengan mengusung misi dan isu yang sama, yaitu siaga bencana. 

Tidakkah terpikirkan bahwa lewat sandiwara radio dibutuhkan tema baru yang mungkin lebih ‘kekinian’ dengan penyesuaian kondisi saat ini untuk dapat membuat masyarakat pelosok - dan masyarakat di mana pun - mengerti apa yang dapat terjadi sewaktu-waktu? Ada bahaya bencana yang mengancam, ada teori, ada pula pengetahuan mengenai bagaimana mengantisipasi selaku upaya pencegahan sebelum bencana terjadi, dan upaya mengatasi ketika bencana terjadi serta sudah terjadi. 

BNPB juga tahu betul bagaimana kondisi yang terjadi saat ini. Yaitu bahwa masyarakat Indonesia pada saat ini sudah sangat tahu dan sadar bahwa Indonesia adalah negara yang rawan (multi-) bencana. Tidak hanya bencana alam, tetapi juga bencana sosial, dan pelbagai bidang lainnya. Sudah banyak yang sadar dan tahu soal itu, bahkan mungkin sudah pernah mengalami bencana - dan mungkin lebih dari satu bencana, tetapi masih belum paham bagaimana merespon bencana yang mungkin datang sewaktu-waktu. 

Akan jauh lebih baik apabila BNPB dapat meluaskan pandangan dengan berbagai kemungkinan dan kebutuhan masyarakat Indonesia soal mitigasi bencana lewat sandiwara radio yang lebih sesuai dengan berbagai kondisi terkini masyarakat setempat dan kemungkinan bencana yang dihadapi. Atau jika ingin pukul rata, maka BNPB dapat mengangkat tema kebencanaan secara umum dengan penyesuaian kondisi dalam cerita yang diangkat dalam sandiwara radio yang diperdengarkan. Sebab dengan demikian BNPB juga akan dimudahkan dalam menerangkan alat-alat kebencanaan saat ini (buoy/alat deteksi bencana, sarana pencegahan, fasilitas penanganan korban bencana, dsb) yang lebih sesuai dan dekat dengan masyarakat pada masa ini. 

Terlepas dari semua yang diungkapkan di atas, langkah BNPB dalam memanfaatkan radio dan sandiwaranya patut diapresiasi. Semoga misi sosialisasi bencana ini dapat menjangkau lapisan masyarakat pelosok Jawa dan efektif. Terselip pula harapan semoga sandiwara radio juga tetap lestari dan berkembang, serta kembali berjaya di tanah air. 

Bravo BNPB. Jayalah Indonesia!

Pls kindly meet me on FB https://www.facebook.com/maria.florentina.58

or by twitter: @MariaFlo11 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun