Mohon tunggu...
Muhammad Fauzan
Muhammad Fauzan Mohon Tunggu... Tutor - pelajar, diajar, mengajar :)

Geografi LIngkungan 2017 seorang pembelajar dan berusaha berbagi apa yang telah dipelajari, semoga bermanfaat :) pertanyaan? sila menghubungi: 0823 1852 4590

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Karakter sebagai Solusi Krisis Moralitas Bangsa

2 Desember 2018   10:43 Diperbarui: 2 Desember 2018   11:30 3135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan Karakter bagi Bangsa Indonesia

Oleh : Muhammad Fauzan

Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin melesat, hari ini kita harus menyadari bahwa ada hal penting yang semakin dibelakangkan atau bahkan dilupakan. Apa itu?  Moral bangsa.

Kemajuan IPTEK saat ini justru berbanding terbalik dengan moral generasi yang semakin terdegradasi seiring perkembangan zaman. Tak hanya pada generasi milenial, kerusakan moral saat ini  sudah sampai pada tahap yang sangat memprihatinkan, ada pada semua tingkatan masyarakat baik anak-anak, remaja bahkan orang dewasa yang seharusnya menjadi figur teladan moral bangsa yang baik. 

Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita dapati maraknya kenakalan remaja, perundungan, pergaulan bebas, tawuran hingga penggunaan narkoba yang terus tumbuh dan mulai menyerang generasi milenial. Dalam dunia pendidikan, kita dapati budaya titip absen, praktek plagiasi oleh mahasiswa juga dosen pun kerap terjadi. 

Dalam kehidupan bernegara, kita dapati praktek korupsi yang kian menjamur dimana - mana, mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Semua permasalahan itu hanya sebagian dari contoh  rusaknya moral dan karakter generasi bangsa saat ini.

Hal yang menjadi penyebab utama rusaknya moral dan karakter tersebut adalah dampak globalisasi yang masuk tanpa batas. Globalisasi yang memberikan pandangan, tren, gaya hidup, hingga segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan mempengaruhi masyarakat. Negara-negara maju yang pada dasarnya sebagai panutan dari globalisasi yang terjadi. 

Banyak kebaikan seperti perkembangan teknologi dan kemajuan lainnya yang seharusnya dapat dipelajari. Namun tak ada gading yang tak retak, negara maju tersebut pun miliki keburukan, seperti pergaulan bebas, kerusakan pemikiran, dan kebudayaan yang jelas bertabrakan dengan yang lahir dan tumbuh di bangsa ini.

Memasuki era disrupsi dengan segala kemajuan teknologi hadir di segala kehidupan kita sehari-hari. Kemajuan yang memberi banyak kemudahan serta peningkatan. Namun tanpa sadar, kemudahan tersebut memperdaya banyak dari kita. Alhasil, saat ini bangsa kita seakan kehilangan rohnya, yaitu kearifan lokal yang menjadi karakter budaya bangsa sejak sedia kala. 

Laksana kapal tanpa nahkoda di tengah luasnya samudera. Terlihat dari marak terjadinya tawuran antar pelajar, antar golongan hingga antar kampung. Tindak tanduk korupsi hampir di semua lini kehidupan dan institusi. Kebohongan yang secara jelas terbuka telah menjadi maklum di  keseharian kita. 

Hukum yang tidak jelas kekuatannya, karena faktanya hukum saat ini dapat diperjual beli. Yang lebih memprihatinkan, bangsa kita minim memiliki tokoh yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Maka jadilah masyarakat kita kesulitan dalam menumbuhkan dan menghadirkan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur serta menjunjung tinggi semangat nasionalisme.  

Sejenak melihat sekitar, menyadari akan fakta-fakta krisis moralitas yang terjadi, terlebih lagi ketika mengetahui bahwa bangsa ini mengalami bonus demografi, maka bangsa ini sedang berada di tepi jurang kehancuran dan hanya menunggu waktu untuk jatuh ke dalamnya. Hal itu sebagaimana pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University. 

Menurut dia, sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda, seperti; 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) membudayanya ketidakjujuran, 3) sikap fanatik terhadap kelompok, 4) rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, 5) semakin kaburnya moral baik dan buruk, 6) penggunaan bahasa yang memburuk, 7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, konsumsi alkohol dan seks bebas, 8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, 9) menurunnya etos kerja, dan 10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian diantara sesama.

 

Tentunya, kita tidak ingin bangsa ini hancur. Alangkah kecewanya para Bapak Bangsa dan para pejuang yang sudah hidup mati memperjuangkan kemerdekaan dengan tetesan keringat, darah dan airmata bila melihat perjuangannya hancur begitu saja. 

Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apa yang salah dengan bangsa ini. Sehingga lahir generasi muda dan hadirnya generasi tua yang telah tergadaikan karakternya. Moralitas, budi pekerti, dan norma kebaikan telah luput dari kehidupan mereka, hingga tak bersisa. Lalu, bagaimana cara mengatasi krisis moralitas dan tergadainya karakter sebagian besar generasi muda ini?

Maka, solusi terbaik untuk memperbaiki karakter bangsa ini adalah dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter bukanlah hal baru di jagat pendidikan Indonesia, Bila kita menilik kembali sejarah bangsa, beberapa pendidik yang kita kenal diantaranya Ki Hadjar Dewantara, R.A Kartini, Soekarno, Hatta, Moh. Natsir, Tan Malaka dan lainnya yang mana telah menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan permasalahan yang terjadi saat itu. 

Namun, dibalik tenarnya pendidikan karakter, tak banyak yang tahu siapa yang mula-mula memperkenalkan atau mencetuskan pendidikan karakter ini. Sebagian sejarawan mengatakan bahwa pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966) sebagai orang yang mula-mula mengenalkan pendidikan karakter ini. 

Foerster mengemukakan konsep pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter menurutnya adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Sebagian sejarawan yang lain berpendapat bahwa Islam sudah memiliki konsep pendidikan karakter jauh sebelum Foerster. 

Dalam agama Islam, pendidikan karakter bersumber dari Alquran dan As-Sunnah. Karakter atau akhlak Islam ini, terbentuk atas dasar prinsip "ketundukan, kepasrahan dan kedamaian" sesuai dengan makna dasar dari kata Islam. Ajaran Islam tentang pendidikan karakter bukan hanya sekedar teori, tetapi figur Nabi Muhammad tampil sebagai seorang suri tauladan. Kemendikbud dalam penguatan pengolahan karakter menjelaskan bahwa Pendidikan Karakter itu sendiri mencakup dimensi Olah Hati (Etik), Olah Pikir (Literasi), Olah Rasa (Estetik) dan Olahraga (Kinestetik).

Negeri ini sendiri memiliki dasar dalam mengimplementasikan pendidikan karakter yang termuat dalam UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, pada tahap awal implementasi pendidikan karakter itu masih terseok-seok, dan belum optimal. Hal tersebut dikarenakan pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal layaknya materi soal ujian dan cara menjawabnya. 

Pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, jujur, berani, dan sifat baik lainnya serta malu bila berbuat kesalahan seperti curang dan malas juga sifat buruk lainnya. Karakter tidak terbentuk secara instan, namun harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai hasil yang ideal.

Memahami kompleksnya permasalahan yang sudah dan masih berlangsung terjadi dan solusi yang tidak dapat secara langsung berhasil namun membutuhkan waktu. Maka, kita, tentu tidak boleh putus asa. Jika bangsa ini konsisten dan memiliki tekad yang kuat untuk mengarusutamakan pendidikan karakter, tentu bisa direalisasikan. Syaratnya, pendidikan karakter harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal saja, tetapi juga melalui pendidikan informal dan non formal. 

Yang terpenting, pendidikan karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab parsial dunia pendidikan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan pastinya yang utama ialah keluarga.

sumber bacaan: Wibowo, Agus. (2012). Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun