Oleh : Muhammad Fauzan
Maraknya pembangunan pusat perbelanjaan, hotel, serta apartemen yang disinyalir menjadi penyebab turunnya airtanah di wilayah Yogyakarta dan Sleman, baik hotel dan apartemen sebenarnya telah melakukan pengeboran airtanah dalam yang berada di bawah 40-110 meter. Pengeboran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sepihak tanpa memikirkan dampak yang terkena pada sekitar.Â
Akibatnya hal tersebut berpengaruh terhadap airtanah dangkal atau sumur-sumur warga di atasnya. Sumur-sumur warga di sekitar bangunan hotel menyusut bahkan tidak sedikit yang mengering. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap penurunan airtanah secara global.
Data Dinas pekerjaan Umum, Energi dan Sumberdaya Mineral DIY tahun 2011 mencatat penurunan muka airtanah di Yogyakarta mencapai 30 cm per tahun. Sementara di wilayah Sleman penurunan terjadi antara 15-30 cm tiap tahunnya. Penurunan airtanah tersebut terjadi 28 titik yang berada di cekungan airtanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Beberapa diantaranya seperti di Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Godean, Kecamatan Moyudan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kotagede, dan Kecamatan Mergangsan.
Apabila masukan air tidak lebih banyak dari penggunaannya maka dikhawatirkan akan terjadi krisis air di masyarakat. Data Direktorat Tata Lingkungan, Geologi, dan Kawasan Pertambangan ESDM tahun 2011 menunjukkan potensi atau ketersediaan airtanah dangkal di wilayah Yogyakarta-Sleman mencapai 604 juta meter kubik per tahun. Sedangkan untuk tanah dalamnya sebesar 9 juta meter kubik per tahun. Di sisi lain, data Sensus Penduduk, BPS DIY tahun 2010 jumlah penduduk Sleman mencapai 1.093.110 jiwa dan Kota Yogyakarta 388.637 jiwa.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi penurunan airtanah bisa ditempuh dengan cara meningkatkan kapasitas PDAM dengan menggunakan sumber air dari sungai, bukan mengambil dari mata air pegunungan. Misalnya, untuk PDAM di Yogyakarta dapat mengambil air dari Kali Progo yang dialirkan ke Selokan Mataram. Namun air yang diambil dari kali  tidak serta merta dapat lansung digunakan sebagaimana mestinya airtanah. Pengolahan air yang diambil dari kali agar dapat digunakan memerlukan biaya yang jauh lebih mahal yaitu sekitar 7 kali lipat dari pengolahan airtanah. Mahalnya biaya tersebut diakibatkan proses pengolahan  air kali yang tercemar dan tidak layak konsumsi agar menjadi layak konsumsi.
Mengetahui mahalnya biaya pengelolaan sebenarnya dapat direduksi dengan melakukan pengelolaan DAS secara terpadu dan berkelanjutan. Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia.Â
Pengelolaan DAS juga merupakan suatu bentuk  pengembangan dan pemanfaatan wilayah yang menempatkan DAS sebagai satu unit  pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang bertujuan meningkatkan produksi yang ada pada DAS tersebut secara optimum dan berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya yaitu menekan angka pencemaran sungai dengan edukasi dan sosialisasi mengenai kebersihan sungai kepada masyarakat.Â
DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan.Â
Di sisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang kebutuhan hidup bermasyarakat, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir. Pengelolaan DAS sendiri merupakan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui yaitu tumbuhan, tanah dan air agar dapat memberikan manfaat maksimal dan  berkesinambungan.. Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan.Â
Dalam hal ini diperlukan  penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan  pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan social. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan  pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin diwujudkan.