Saat ini OMNIBUS LAW sedang menjadi bahan perbincangan yang cukup luas. Hal ini dikarenakan dibahas saat pandemi Covid-19. Isinya menimbulkan pro kontra. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Pada bagian ini penulis bersama seorang kawan bernama Galih D Prastio mendiskusikan OMNIBUS LAW khusus bagian koperasi.
Indonesia secara kuantitas merupakan negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia. Data terakhir, mengutip dari Kementerian Koperasi dan UKM setidaknya terdapat 126.000 koperasi di Indonesia, dengan beragam kondisi.Â
Banyaknya jumlah koperasi tersebut nyatanya tidak berbanding lurus jika ditilik dari segi kualitasnya. Tolak ukur yang dapat dijadikan pembanding adalah fakta hanya terdapat 1 koperasi, yakni Kisel yang merupakan koperasi karyawan Telkomsel, yang berhasil menembus daftar 300 koperasi besar dunia, tentu berbanding terbalik dengan Amerika Serikat yang terkenal kapitalis, memiliki setidaknya 100-an koperasi dalam daftar tersebut, dan sisanya sebagian besar berasal dari negara-negara di Eropa.Â
Di Amerika Serikat dan Eropa koperasi telah menyasar berbagai sektor, misal di Amerika terdapat Sunkist yang merupakan koperasi pemasaran yang dimiliki petani jeruk di California dan Arizona, ada pula di bidang energi  seperti America Electric Co-operative yang melayani 42 juta pelanggan listrik di Amerika Serikat.Â
Di Eropa, tepatnya Belandaterdapat FrieslandCampina yang menjadi salah satu perusahan susu terbesar di dunia dan telah tersebar di 100 negara termasuk Indonesia. Di Spanyol terdapat klub sepakbola Barcelona yang dimiliki oleh 200.000 anggota fans mereka.
Secara makro, prosentase PDB koperasi terhadap PDB nasional sebesar 5,1 % pada 2018, angka tersebut lebih rendah dari Thailand sebesar 7% dan Singapura 10%. Angka tersebut dapat diartikan bahwa secara faktual koperasi masih jauh dari tujuan sebagai soko guru perekonomian nasional seperti seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1.
Pasca dibatalkannya UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian oleh Mahkamah Konstitusi pada 2014. Maka secara otomatis landasan hukum koperasi kembali pada UU Nomor 25 Tahun 1992, undang-undang yang telah berusia 28 tahun hari ini.Â
Perubahan zaman, situasi dan kondisi membuat beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut perlu dievaluasi dan diselaraskan dengan perkembangan kondisi saat ini dan kedepan. Untuk itu pemerintah dari sisi regulasi merumuskan beberapa perubahan ketentuan UU Nomor 25 Tahun 1992 dalam paket Omnimbus Law Cipta Lapangan Kerja.
Pada Undang-undang 25 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1 koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Definisi tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan definisi koperasi versi ICA (International Cooperative Alliance) dan ILO (International Labour Organization). ICA lebih menekankan koperasi merupakan perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya secara bersama melalui perusahaan yang mereka miliki dan dikendalikan bersama secara demokratis. Artinya penekanan utama koperasi bukanlah pada sisi ekonomi sebagai badan usaha, melainkan kepada kumpulan orang-orang yang bersatu secara sukarela, dimana modal sosial lebih didahulukan daripada akumulasi modal kapital.
Pada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Undang-undang 25 tahun 1992 tentang koperasi merupakan salah satu regulasi yang dijadikan objek revisi beberapa ketentuan didalamnya. Yang pertama adalah ketentuan padaPasal 6 yang berisi syarat pembentukan koperasi. Pada draft Omnibus Law koperasi primer dapat dibentuk dengan paling sedikit 3 orang. Berubah signifikan dari regulasi sebelumnya yang mensyaratkan pembentukan koperasi minimal dengan 20 orang. Diakui atau tidak, syarat minimal 20 orang menyulitkan pertumbuhan gerakan koperasi di Indonesia,bandingkan dengan syarat pembentukan perseroan terbatas yang dapat dilakukan hanya dengan 2 orang saja. Kondisi ini tentu membuatimagekoperasi adalah bangun yang sulit didirikan, implikasinya adalah bentuk koperasi inikurang dilirik oleh masyarakat yang ingin berusaha. Bayangkan jika seorang pekerja sebuah perusahaan yang memiliki kurang dari 20 pekerja berencana membentuk sebuah koperasi pekerja, tentu keinginannya tidak akan terwujud karena terganjal regulasi. Pun regulasi lama ini kurang mendukungperkembangan iklim digital dimana generasi milenial tengah gencar-gencarnya membangun beragam platform digital macam TaniHub, IGrow dan seterusnya.Faktanya tidak sedikit dari platform tersebut dibangun berbasis social businessdenganorientasi benefit, tentu sedikit banyak sejalan dengan tujuan koperasi. Seringkali platform ini dikembangkan hanya oleh 2 atau 3 orang didalmnya ketika pertama berdiri, tentu implikasinya sekali lagi hambatan regulasi menjadikan start-up akan lebih memilih bentuk persero.
Opsi pemangkasan syarat minimal pendirian adalah opsi yang berpotensi menghadirkan iklim positif bagi koperasi. Selain itu, opsi-opsi seperti penghapusan kewajiban penggunaan notaris saat pendirian koperasi, penghapusan syarat koperasi harus terlebih dahulu mencantumkan kegiatan usaha serta penghapusan pajak untuk koperasi seperti yang dipraktikkan oleh Singapura dapat dijadikan opsi-opsi yang dapat dikaji lebih dalam.