Mohon tunggu...
Muhammad FarelGumilar
Muhammad FarelGumilar Mohon Tunggu... Lainnya - Unair

Mahasiswa Fakultas Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Hukuman Mati pada KUHP Baru

15 Juni 2023   20:44 Diperbarui: 15 Juni 2023   20:56 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) resmi disahkan menjadi Undang-undang pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diselenggarakan pada Selasa (06/12/2022) dan diundangkan pada Senin (02/01/2023). Hal ini merupakan suatu momen krusial dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia karena sudah 104 tahun sejak tahun 1918 akhirnya Indonesia memiliki KUHP yang dibuat oleh rakyat Indonesia. Dalam KUHP Baru maupun KUHP Belanda, pasal mengenai hukuman mati masih tetap ada. Namun, terdapat perbedaan dan problematika mengenai hukuman mati pada KUHP Baru.

Menurut KUHP lama yang diwariskan oleh Belanda, hukuman mati merupakan pidana pokok yang paling berat. Sedangkan, menurut Pasal 67 KUHP Baru, hukuman mati bukan lagi sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus dan menurut Pasal 98 KUHP Baru, hukuman mati selalu diancamkan secara alternatif, tidak boleh diancamkan tunggal sebagai upaya pencegahan dan perlindungan masyarakat. Hukuman mati pada KUHP Baru juga dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu percobaan diharapkan terpidana dapat memperbaiki diri sehingga hukuman mati dapat diganti dengan penjara seumur hidup. KUHP Baru menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Namun, banyak catatan pengesahan KUHP Baru yang terkesan dipaksakan oleh DPR dan Pemerintah meskipun banyak penolakan dari masyarakat.

Ada beberapa pasal bermasalah mengenai hukuman mati pada KUHP Baru, yakni :

  • Pasal 100 KUHP Baru :
  • Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan : a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana
  • Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan
  • Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
  • Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung
  • Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan
  • Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuhi serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah atas Jaksa Agung

Pasal 101 KUHP Baru :

  • "Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden."

Penerapan percobaan dalam hukuman mati seharusnya otomatis tetapi dalam Pasal 100 ayat (2) KUHP Baru harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan ketergantungan pada keputusan hakim dan timbul pertanyaan bagaimana jika tidak dicantumkan dalam putusan masa percobaan, apakah bisa dieksekusi langsung atau tidak dapat dieksekusi langsung. Selanjutnya, menimbulkan pertanyaan juga bagaimana teknis pelaksanaan assessment untuk menilai sikap dan perbuatan terpuji yang menjadi dasar keputusan diubah menjadi pidana seumur hidup dan belum diatur juga bagaimana peraturan pelaksanaannya. Tidak ada tolak ukur yang jelas dan terukur yang dapat menimbulkan penyelewengan. Pasal 101 KUHP Baru juga masih bersifat belum jelas dan sifatnya ambigu karena adanya penundaan pelaksanaan hukuman mati selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri juga tidak jelas pengaturnnya sehingga terdapat kesamaan dengan Pasal 100 KUHP.

Oleh karena itu, harus ada moratorium penerapan hukuman mati di Indonesia sebelum ada aturan yang jelas dalam KUHP dan seharusnya diterapkan otomatis percobaan bukanlah diharuskan dicantumkan dalam Putusan Hakim. Dalam hal ini juga dibutuhkan advokasi dalam proses penyusunan regulasi pengaturan teknis penerapan hukuman mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun