Desain perkeretaapian nasional bersandar pada prinsip pembangunan yang berwawasan sosial dan lingkungan, guna menopang ketahanan nasional (persatuan dan kesatuan) dan roda perekonomian (mobilitas orang dan barang).
Hari ini, perkeretaapian umum RI menghadapi dilema: Perubahan iklim dan kondisi jaringan eksisting.
Di dalam kota, kita memiliki MRT (Moda Raya Terpadu), LRT (Lintas Raya Terpadu), KRL (Kereta Rel Listrik), dan untuk antarkota terdapat Kereta Konvensional dan Kereta Api Cepat.
Saat ini, kereta jarak jauh antar kota menggunakan mesin diesel, dan dalam beberapa waktu ke depan pembangunan kereta api cepat yang bertenaga listrik akan segera rampung.
Dari sudut pandang lingkungan, emisi yang dihasilkan kereta api cepat jauh lebih minimal dibandingkan dengan kereta diesel, pesawat udara, mobil dan motor.
Hal ini tentu menjadi sebuah terobosan di indonesia, sebab kita baru mengadopsi sistem baru ini di mana eksistensi sistem tersebut telah lama digunakan di beberapa negara lain.
Dunia tengah berbenah dan memperbaiki dirinya. Hal ini disebabkan salah satunya oleh perubahan iklim yang memicu rentetan peristiwa yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia, agenda dan upaya untuk menangani perubahan iklim tengah dilakukan secara masif di seluruh penjuru bumi.
Pertama, dalam dilema perubahan iklim
Terdapat setidaknya dua variabel dalam transportasi kereta api, yaitu emisi moda kereta api jarak jauh konvensional dan kereta cepat bertenaga listrik  serta efisiensi waktu tempuh. Emisi karbondioksida per penumpang pada kereta konvensional lebih tinggi terhadap kereta api cepat yang berbasis listrik.
Hal tersebut disebabkan dua hal, yang pertama, jenis mesin diesel yang menghasilkan lebih banyak emisi serta durasi tempuh, semakin lama sebuah mesin beroperasi, ia berbanding lurus terhadap gas buang.