Dalam atau istana sultan berjarak dua jam dari laut dan terletak di sebelah kiri sungai. Ada jalan yang cukup lebar (sesuatu yang istimewa karena jalan lainnya hanyalah jalan setapak) dan kurang dari setengah jam untuk menuju ke arah pedalaman. Istana sultan merupakan bangunan berada di atas lahan besar yang berbentuk hampir persegi dan ada sebuah pintu atau gerbang kayu yang tinggi. Lapangan dalam bahasa Jawa disebut alun-alun dan di sini disebut dengan medan yang berasal dari bahasa Persia. Dari medan istana sultan dapat dilihat di sisi kiri, dikelilingi oleh pagar kayu yang agak tinggi dan dilengkapi dengan gerbang tertutup tanpa hiasan.
     Beberapa langkah sebelum gerbang ini terdapat balai berbentuk persegi yang luas, dilengkapi dengan tiang kayu yang berfungsi untuk menopang atap. Balai terbuka dari semua sisi, dibagi menjadi tiga bagian yang bertingkat-tingkat, dan tingkat ketiga yang terakhir paling atas berukuran paling terkecil. Tingkat yang paling atas berfungsi sebagai tempat duduk sultan dan para bangsawan. Tingkat yang kedua atau ditengah untuk orang-orang terhormat dan para pengiringnya. Tingkat paling bawah yang ke tiga untuk kalangan umum. Di balai ini semua urusan negara ditangani di depan umum. Sultan menerima utusan dan orang asing yang ingin diperkenalkan kepadanya. Di sini rakyat diizinkan untuk menyampaikan keberatan dan keluhan mereka. Sultan muncul di sana sesekali untuk menunjukkan dirinya kepada orang-orang. Di tempat ini semua pesta besar dirayakan.
     Ketika seseorang memasuki gerbang untuk memasuki wilayah istana, pertama-tama melihat sebuah bangunan kecil, mirip dengan balai di dekat medan, yang berfungsi sebagai rumah bermain sultan. Sedikit lebih jauh di belakang adalah rumah sultan, dan di sebelah terletak rumah ibunya. Rumah-rumah ini dibangun di atas panggung tiga atau empat kaki di atas tanah. Bangunan berukuran besar berbahan dari kayu, dan di dalamnya secara khusus terdiri dari ruangan-ruangan yang dilewati koridor. Tidak jauh dari pintu masuk medan, di sisi kanan, terdapat masjid yang dibangun dari batu bata, dan di sebelahnya terdapat kolam batu untuk keperluan bersuci. Tidak jauh dari masjid terdapat tempat pemakaman para anggota keluarga kerajaan.
     Menurut catatan 14 Agustus 1935 tulisan Tengku Muhammad Saleh Damnah keturunan Sultan Lingga-Riau, dikisahkan Sultan Muhammad Syah (1832-1841)  yang menggantikan ayahnya Sultan Abdurrahman Syah pernah mendirikan istana untuk dirinya, yang disebut dengan Istana Keraton. Karena mempunyai Istana Keraton, setelah mangkat, Sultan Muhammad Syah diberi gelar Marhum Keraton. Selepas Sultan Muhammad Syah mangkat, anaknya Sultan Mahmud Muzzafar Syah naik tahta. Keadaan istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang berdekatan dengan alun-alun, dan tidak jauh dari masjid dapat ditemukan dalam catatan perwira angkatan laut Belanda, G. F. de Bruijn Kops dalam tulisannya berjudul Schets van den Riouw-Lingga Archipel, yang dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indi, Deel IV, Nieuwe Serie Deel I tahun 1853. Kops menggambarkan keadaan istana sultan, dan dia juga mencatat tentang pembangunan istana baru yang berjarak satu pal dari istana sultan. Dalam catatannya Kops menerangkan, Kampung Daik ibu kota kerajaan terletak di pulau Lingga. Di dekat muara sungak Daik terdapat belasan rumah nelayan yang kelihatan kumuh. Dalam menyusuri sungai Daik untuk menuju istana sultan, terlebih dahulu melewati Kampung Cina.
     Setelah Kampung  Cina, sedikit lebih ke atas akan ditemukan pemukiman rumah-rumah Bugis dan selanjutnya terdapat rumah-rumah Melayu. Selanjutnya sedikit lebih ke atas lagi akan sampai istana sultan terletak di sebelah kanan sungai. Dalam atau Istana Sultan berada pada lokasi besar yang sebagian tertutup dinding, dan terdapat banyak tempat tinggal. Terdapat bangunan berbahan tembok, dan kebanyakan berbahan kayu. Terdapat gerbang untuk menuju ke bagian dalam, tempat ibu sultan, istri, gundik, dan lain-lain.
     Di depan tempat kediaman sultan terdapat satu balai yang luas terbuat dari kayu yang bertingkat-tingkat. Di depan balai terdapat beberapa meriam tua di atas kereta, yang sering digunakan untuk memberikan penghormatan. Jalanan yang melewati dan mengitari kampung-kampung di luar istana pada tahun yang lalu ditimbun dengan pasir. Terdapat parit sebagai saluran air, dan dulu jika hujan turun jalan akan dipenuhi genangan lumpur. Tidak jauh dari istana sultan terdapat masjid. Sekitar satu pal dari istana sebuah tempat tinggal dibangun untuk sultan. Dijadikan juga untuk benteng, dan dibagian luar bangunan dikelilingi pagar. Rancangan bangunan dibuat di Singapura. Karena kekurangan anggaran untuk sementara waktu pembangunan  dihentikan.
     Seorang penulis Belanda yang berkunjung ke Daik pada tahun 1849 juga mencatat tentang istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah. Tulisan penulis Belanda ini berjudul Bijdragen tot de Kennis der Residentie Rio yang dimuat oleh Dr. W.R Van Hoevell dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi, 15 de Jargaang, Eerste deel terbit tahun 1853. Dalam tulisannya tentang istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah diterangkan, kediaman sultan sedikit lebih jauh dari tepi sungai, tidak tampak sama sekali, dan terdiri dari tiga bangunan yang terbuat dari papan. Bangunan terdiri dari tempat kediaman perempuan, resepsi, dan tempat tinggal sultan. Sultan rupanya berencana mendirikan negeri baru di kaki pegunungan Lingga. Sekarang ia sedang dalam proses mendirikan bangunan kolosal yang menurut gambar dari Singapura. Tempat ini akan menjadi istana baru sultan.
     Istana itu akan terdiri dari dua lantai, yang di atasnya akan dijadikan tempat untuk perempuan yang megah. Lantai bawah akan menjadi tempat tinggal sultan, yang kamar-kamarnya akan dipisahkan oleh koridor di kiri dan kanan, sedangkan di tengah bangunan dijadikan aula resepsi. Proses pembangunan sangat lambat, telah dikerjakan selama lebih dari 3 tahun. Hanya 4 orang Cina yang mengerjakannya dan karena kekurangan bahan terkadang tidak melakukan apa pun selama berminggu-minggu. Di sekitar istana, menurut rencana akan dibangun benteng penting dengan parit dan bastion yang jika perlu bisa menampung 3000 atau 4000 orang. Istana baru tidak boleh terdiri dari bangunan selain batu, ditutup oleh tiga tembok dan gerbang yang kokoh.
     Pembangunan kediaman baru yang berjarak 1 pal dari istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Bruijn Kops dan seorang penulis Belanda lainnya, adalah Istana Kota Batu yang kisahkan di dalam Syair Sultan Mahmud. Dalam Syair dikisahkan Sultan Mahmud Muzzafar Syah membangun istana baru yang bergaya Belanda di lokasi hulu negeri berdekatan dengan hulu sungai. Lokasi yang dipilih pada masa itu lahan yang masih berupa hutan belukar. Gambar rancangan bangunan dibeli di Singapura dari seorang saudagar Cina. Istana dibangun menggunakan batu bata, beratap genting, berlantai ubin dan jendela menggunakan kaca. Istana yang dibangun dijadikan kediaman baru untuk sultan. Kisah istana baru Sultan Mahmud Muzzafar Syah juga dicatat oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis yang dikisahkan,
Kemudian daripada itu ianya balik ke Lingga berbuat istana seperti rumah orang putih. Indah-indah juga perbuatannya serta dengan besarnya. Maka belumlah pernah raja-raja yang di dalam negeri Lingga dan Riau  memperbuat istana yang demikian itu. Serta cukup dengan alat perkakasnya yang indah-indah dan halus-halus serta ditaruhnya beberapa makanan orang putih, minum-minuman di dalam istana itu. Serta beberapa gambar-gambar pada dinding-dinding istana itu, dan apabila orang putih seperti Residen Riau dan lainnya datang, maka istana itulah diterimanya serta diperjamunya makan minum demikina halnya. Dan beberapa pula anjing-anjing yang besar ditaruh disitu dengan peliharanya seperti adat peliharaan orang putih jua adanya intiha mulakhasa (Winstedt, 1932:278-279).
     Netscher yang pernah menjabat Residen Riau di zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah pernah datang ke Daik dan menginap di Istana Kota Batu yang disebutnya sebagai rumah batu bekas istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang dipecat tahun 1857. Kisah kunjungannya ke Daik ditulis  dalam Togtjes in Het Gebied van Riouw en Onderhoorigheden bagian Het Eiland Lingga yang dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkunde, Deel XII, Vierde Serie Deel III  terbit tahun 1862. Pada tanggal 26 September 1861, Netscher bersama rombongan mengunjungi Daik dari sungai Resun dengan berjalan kaki melewati jalan setapak. Dari sungai Resun rombongan Netscher melewati kampung dan kebun orang Bangka, Mendekati Daik, rombongan melewati Kampung Sepincan dan seterusnya memasuki Kampung Pahang.
     Dari Kampung Pahang rombongan menyeberangi sungai Daik dengan menggunakan sampan. Selanjutnya rombongan menuju bekas istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah untuk menginap. Pada 27 September, dari Istana Sultan Mahmud Muzzafar Syah, Netscher mengadakan kunjungan ke kota utama Daik yang berada dekat dengan Kampung Bugis dan terpisah dari Kampung Sepincan. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tinggal di rumah kayu besar di dekat tepi sungai. Sultan mencoba mengumpulkan modal dari perusahaan dagang untuk membangun istana yang layak untuknya. Netscher mengunjungi juga kampung Cina yang paling dekat dengan muara dan terletak di sebelah kanan sungai. Di ujung kampung ada bangunan batu tempat rumah ibadah orang Cina.