Mohon tunggu...
Fadli
Fadli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat sejarah dan budaya

Menyukai dunia sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masjid Jamik Sultan Lingga Khazanah Dunia Melayu

15 April 2022   06:15 Diperbarui: 15 April 2022   06:24 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masjid Jamik Sultan Lingga di Daik, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau yang telah berusia lebih dari seabad merupakan bangunan bersejarah dan bagian dari khazanah dunia Melayu. 

Daik pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga (1787-1830) hingga Lingga-Riau (1830-1900). Masjid Jamik Sultan Lingga peninggalan zaman Kerajaan Lingga-Riau. 

Masjid dibangun pada era penguasa Lingga-Riau terakhir Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah (1883-1911). Saat masjid dibangun Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah telah berpindah ke Pulau Penyengat di Riau Pulau Bintan.

Sebelum Masjid Jamik Sultan Lingga dibangun telah ada masjid kerajaan yang lain namun mengalami kerusakan. 

Pada era Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) penguasa Johor, Pahang, Riau dan Lingga dibangun masjid kerajaan yang letaknya tepat berada di lokasi berdirinya Masjid Jamik Sultan Lingga. 

Masjid yang dibangun Sultan Mahmud Riayat Syah akhirnya mengalami kerusakan dan berujung ditinggalkan. Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah mendirikan masjid baru. Biaya pembangunan masjid diambil dari harta khazanah Almarhum Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883). 

Masjid yang didirikan tidak bertahan lama kabarnya bagian atas bangunan mengalami kerusakan. Untuk menghindari bahaya Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah memutuskan menutup masjid. 

Pada masa kini reruntuhan masjid masih dapat dilihat di Kampung Tanjungputus, Daik. Untuk pengganti, bangunan bekas kantor hakim dijadikan masjid sementara sehingga pada masa itu disebut Masjid Kantor.

Atap limas Masjid tanpa kubah (Dokpri)
Atap limas Masjid tanpa kubah (Dokpri)

Pada tahun 1900 Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Penyengat, Riau. Untuk menjalankan urusan pemerintahan di Lingga sultan mengangkat Raja Abdul Rahman seorang keturunan bangsawan Lingga-Riau menjabat wakil kerajaan. 

Melihat belum adanya masjid kerajaan Raja Abdul Rahman mengambil kebijakan untuk membangun masjid baru di atas reruntuhan bekas masjid lama yang dibangun Sultan Mahmud Riayat Syah. 

Untuk mendapatkan biaya pembangunan Raja Abdul Rahman ingin memungut sumbangan dari rakyat tetapi dilarang oleh Raja Ali Kelana yang berada di Riau. 

Kabarnya sekitar tiga ribu ringgit Raja Ali Kelana memberi uang kepada Raja Abdul Rahman untuk biaya pembangunan. Raja Ali Kelana juga menyumbangkan batu bata yang berasal dari pabrik miliknya yang berada di Pulau Batam. 

Dana lainnya berasal dari Raja Abdul Rahman dan uang kas kerajaan di Lingga. Seorang saudagar kaya dari Kampung Gelam di Daik juga turut menyumbangkan sejumlah uang.

Pagar besi ruang depan masjid (Dokpri)
Pagar besi ruang depan masjid (Dokpri)

Masyarakat Daik laki-laki dan perempuan pada masa itu turut juga berpartisipasi bergotong-royong mengambil batu dan pasir di sungai sekitar untuk bahan bangunan. Kaum perempuan di malam hari mengisi pasir dan batu untuk bahan bangunan lantai. 

Sebagian bahan bangunan diambil dari bekas masjid rusak yang dibangun Sultan Abdul Rahman Mu'azzam Syah. Bahan bangunan yang diambil antara lain seperti pagar besi yang dipasang di ruang depan masjid, dan lantai marmer. 

Haji Abdul Wahab Imam Masjid Jamik Sultan Lingga tahun 1917 pernah berkirim surat kepada Tengku Abu Bakar menerangkan batu marmer yang dipasang di masjid diambil dari masjid yang rusak. 

Haji Abdul Wahab pernah diminta Raja Abdul Rahman untuk bertanya kepada Syaikh Abdul Hamid mengenai apakah boleh menjual batu bangunan yang berasal dari masjid rusak. 

Menurut pendapat Syaikh Abdul Hamid tidak boleh dijual karena khawatir tidak diperuntukkan untuk masjid. Selain itu khawatir dijual kepada orang kafir.

Ruang dalam masjid (Dokpri)
Ruang dalam masjid (Dokpri)

Masjid Jamik Sultan Lingga dibangun dari batu bata, berlantai marmer dan beratap genting. Pada masa kini atap masjid telah diganti asbes. Atap limas masjid punya keunikan tersendiri karena tidak dipasang kubah. Hanya di ruang tempat meletakkan mimbar terdapat kubah yang sekaligus berfungsi sebagai atap bangunan. 

Di bagian ruang depan hanya diberi pagar besi. Ruang dalam dan depan dibatasi dinding tembok yang dihubungkan tiga pintu. Masjid selesai dibangun pada tahun 1909. 

Di dalam masjid terdapat mimbar berukir yang berasal dari masjid era Sultan Mahmud Riayat Syah. Sesuai dengan penjelasan yang terdapat di inskripsi mimbar, pada Senin 12 Rabiul Awwal 1212 (4 September 1797) mimbar selesai dibuat di Semarang, Jawa. 

Di samping kiri Masjid Jamik Sultan Lingga terdapat kolam penampungan air yang telah ada sejak zaman masjid lama. Di belakang masjid terdapat komplek pemakaman Sultan Mahmud Riayat Syah serta keluarganya.

Mimbar masjid (Dokpri)
Mimbar masjid (Dokpri)
Masjid Jamik Sultan Lingga dan masjid sebelumnya pada masa yang lalu menjadi bagian dari pusat pendidikan agama Islam masyarakat. Masjid menjadi tempat masyarakat sekitar untuk menimba ilmu agama dari para ulama yang bersedia untuk memberikan berbagai pelajaran. 

Masjid menjadi tempat beribadah para ulama lingkungan istana dan pusat kerajaan sehingga memudahkan masyarakat sekitar untuk bertanya mengenai berbagai masalah agama. 

Masjid mempunyai berbagai kitab agama dalam bentuk cetak dan manuskrip. Kitab-kitab yang ada di masa lalu menjadi rujukan dalam pelajaran agama yang diajarkan. 

Pada masa kini kitab milik masjid dititipkan ke Museum Linggam Cahaya Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga. Masjid Jamik Sultan Lingga menjadi bagian khazanah warisan Kerajaan Lingga-Riau yang masih kokoh berdiri dan masih bisa dipergunakan di Kabupaten Lingga. Bangunan fisik masjid perlu terus dilestarikan dengan dirawat sebaik-sebaiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun