Mohon tunggu...
Fadli
Fadli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat sejarah dan budaya

Menyukai dunia sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Songkok Hitam Orang Melayu Daik

20 Mei 2021   13:28 Diperbarui: 13 Juni 2022   00:37 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdul Rahman Mu'azzam Syah (1884-1911) Sultan Lingga-Riau terakhir

Sebelum mengenal songkok hitam, laki-laki Melayu di Daik yang berada di Kabupaten Lingga menutup seluruh atau sebagian kepala menggunakan kain. Di dunia Melayu, kain yang menutup seluruh atau sebagian kepala disebut dengan destar. Destar yang bertujuan untuk melindungi dan menghiasi kepala digunakan oleh orang Melayu Daik dalam berpakaian sehari-hari. Nama lain dari destar disebut juga dengan setangan dan bulang. Bulang menurut Raja Ali Haji dalam Kitab Pengetahuan Bahasa yaitu ada tiga makna, pertama sapu tangan kepala seperti bulang pelangi, atau bulang halus dibahasakan kepada raja-raja. Kedua makna benang pengikat taji pada kaki ayam yang hendak disabung (berlaga). Satu tempat Bulang yaitu pada jajahan negeri Riau adanya (Hamzah Yunus, 1986/1987:173). Tanjak termasuk bagian dari destar dan mempunyai ciri khas tersendiri yang menurut Raja Ali Haji, yaitu sapu tangan pakaian orang Melayu yang di atas kepala, diikatnya betul-betul bersamaan tekabnya tiada berbolot-bolot, yaitu ganti songkok kepada bertanjak namanya (Hamzah Yunus, 1986/1987:223).

Di zaman orang Melayu Daik masih menggunakan destar dalam kehidupan sehari-hari, bentuk destar direka sesuai dengan selera masing-masing. Mereka bebas memilih warna dan jenis kain. Tata cara memakai destar yang direka pun tergantung kepada selera pemakai. Masyarakat hanya dilarang jika melanggar undang-undang kerajaan. Pada masa Daik sebagai ibu kota Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga ke Lingga-Riau terdapat beberapa larangan terhadap rakyat kebanyakan atau biasa. Dalam undang-undang kerajaan dalam Qanun Sultan Sulaiman orang kebanyakan atau rakyat biasa walau pun punya jabatan tinggi dilarang memakai warna kuning jika tidak dianugerahi raja. Rakyat kebanyakan dilarang juga memakai kain tipis berbayang-bayang seperti kasa atau sejenisnya di balai raja, kecuali dengan titah dan karunia raja.

Dalam kehidupan sehari-hari destar dipakai setiap hari, saat dirumah, bekerja mau pun dalam menghadiri berbagai acara. Kemungkinan besar hanya tidur saja orang Melayu tidak memakai destar. Destar dari bahan kain yang bermutu dan bercorak bagus serta dibuat dengan bentuk yang indah-indah digunakan dalam acara-acara resmi yang dipakai bersama pakaian yang lebih bagus. Terdapat juga destar-destar dengan bentuk tertentu dan mempunyai nama  tersendiri yang dipakai khusus orang tertentu terutama orang-orang dilingkungan istana.

Budaya memakai destar di Daik selanjutnya ditinggalkan karena masyarakat beralih kepada songkok yang lebih praktis untuk dipakai sehari-hari. Beralihnya masyarakat Daik ke songkok terjadi pada zaman Kerajaan Lingga-Riau. Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa Melayu, Raja Ali Haji pernah mengkritik pakaian orang Melayu yang terpengaruh pakaian asing termasuk penggunakan penutup kepala yang disebutkannya "Akan orang Melayu melainkan saputangan itu dikanjinya keras, dibantu seolah-olah topi jua." Apa yang dikatakan oleh Raja Ali Haji menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan destar tradisional di Lingga-Riau dan mengarah kepada penggunaan songkok yang lebih praktis. Kalangan istana kerajaan Lingga-Riau turut juga mempunyai peran penting dalam membudayakan memakai songkok di Daik khususnya, dan Lingga-Riau pada umumnya. Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883) Sultan Lingga-Riau ke-4 di samping menggunakan destar juga tertarik memakai songkok. Songkok menjadi bagian dari pakaian kebesaran Abdul Rahman Mu'azzam Syah (1884-1911) Sultan Lingga-Riau ke-5 sekaligus yang terakhir. 

Penggunaan songkok sebagai pengganti destar terjadi juga di wilayah Kerajaan Johor baru, sebagaimana yang dikisahkan oleh Haji Muhammad Said bin Haji Sulaiman dalam bukunya Pakai Patut Melayu tahun 1931,

Maka ada jua setengah daripada kain setangan itu diikat keras iatu seperti keadaan songkok menjadi keringkasan bagi memakainya yang demikian terbit pada fikiran Yang Maha Mulia Almarhum Sultan Abu Bakar lebih munasabah dan ringkas memakai songkok sahaja. Maka setengah daripada songkok itu diperbuat daripada kain seperti sakhlat atau baldu dan ada pula songkok itu ditekat dengan sutera-sutera atau paku-paku atau paten dan ada pula diperbuat daripada benang panas berkait dan sebagainya. Setelah itu ada pula masing-masing menjadikan songkok daripada topi perbuatan Eropa dibuang akan lingkungan tepinya dan setengah daripada setengah diikat dengan terban pula. Maka oleh sebab banyak orang suka memakai songkok yang demikian hingga gudang-gudang di Singapura berpesan ke Eropa membuat songkok-songkok itu jadi senanglah orang dapat songkok dengan tiada payah ditukangkan lagi. Sungguhpun demikian telah diperhatikan songkok yang diperbuat daripada baldu hitam lebih munasabah dipakai cara barat. Dari sebab itu pada zaman Yang Maha Mulia Sultan Ibrahim ditetapkan oleh Allahyarham Datuk Menteri Besar (Datuk Jaafar bin Haji Muhammad) iaitu dijadikan pakaian bangsa Melayu adanya.

Apa yang dikisahkan oleh Haji Muhammad Said bin Haji Sulaiman menunjukkan pedagang-pedagang di Singapura telah mempunyai peran dalam menciptakan songkok beldu hitam siap pakai di wilayah semenanjung tanah Melayu dan sekitarnya hingga sampai ke wilayah Daik. Munculnya songkok beldu hitam buatan Eropa yang dijual para pedagang Singapura telah memudahkan orang-orang Melayu mendapatkan songkok siap pakai tanpa perlu membuat songkok tradisional dari sapu tangan.

Residen Riau Bruijn Cops beserta staff, para Datuk Kaya dan Amir. - Di kantor Residen Riau, Tanjungpinang, tahun 1911
Residen Riau Bruijn Cops beserta staff, para Datuk Kaya dan Amir. - Di kantor Residen Riau, Tanjungpinang, tahun 1911
Songkok semakin populer dengan adanya songkok dari beldu hitam dan menjadi bagian dari indentitas budaya Melayu. Kemunculan songkok beldu hitam semakin menggeser tradisi memakai destar di zaman Kerajaan Lingga-Riau. Songkok beldu hitam sangat sesuai untuk pakaian sehari-hari dan sangat cocok dipakai dengan pakaian tradisional dan modern. Songkok hitam juga sesuai dipakai untuk ibadah, acara resmi atau pun acara adat istiadat.  Akibat songkok lebih populer dan disukai, pemakaian destar menghilang ditengah-tengah masyarakat Melayu Daik. Penggunaan destar atau tanjak hanya digunakan oleh pengantin laki-laki bersanding dan pertunjukan seni budaya.

haji-encik-ustman-bin-datuk-laksamana-lingga-bersongkok-putih-1-syawal-1377-h-jpg-60a646828ede4860dd4aef43.jpg
haji-encik-ustman-bin-datuk-laksamana-lingga-bersongkok-putih-1-syawal-1377-h-jpg-60a646828ede4860dd4aef43.jpg
Dalam budaya memakai songkok, masyarakat di Daik lebih biasa memakai songkok warna hitam polos. Songkok dengan warna selain hitam atau pun mempunyai hiasan seperti disulam disekilingnya jarang dipakai masyarakat. Di masa yang lalu songkok putih hanya dipakai oleh masyarakat yang bergelar haji. Dalam adat istiadat pernikahan di Daik, songkok hitam dipakai bersama baju kurung oleh pengantin laki-laki dalam melaksanakan akad nikah. Songkok hitam yang dipakai diberi hiasan sehingga kelihatan indah. Di awal kemunculannya, songkok hitam dipakai oleh kaum laki-laki tua dan muda dalam aktivitas sehari-hari. Sebagian orang Melayu Daik mempunyai gaya tersendiri dalam memakai songkok. Songkok dipakai agak miring ke sebelah kiri atau sebelah kanan yang menampilkan kesan gaya yang lebih baik dalam berpakaian.

Songkok hitam bukan saja bagian dari budaya orang Melayu, tetapi juga bagian dari indentitas budaya nasional Indonesia. Sama seperti bahasa Melayu, songkok juga menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Pada rapat Jong Java bulan Juni 1921 di Surabaya, Bung Karno menjadikan songkok beledu hitam sebagai lambang pakaian nasional para pejuang kemerdekaan. Dalam Buku Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno berkisah,

Aku merasa sedikit tegang, perutku terasa mules. Berlindung di belakang seorang tukang sate di jalanan yang gelap, kuamati kedatangan kawan-kawan seperjuangan yang banyak lagak itu, yang semuanya tidak memakai penutup kepala, karena ingin seperti orang Barat yang berkulit putih. Aku awalnya merasa ragu-ragu. Kemudian aku berdebat dengan diriku sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor, atau pemimpin?"-"Aku seorang pemimpin," jawabku tegas.-"Kalau begitu , buktikanlah." Kataku lagi pada diriku. "Majulah, pakailah Pecimu, Tarik napas yang dalam! Dan masuklah ke ruangan rapat.... SEKARANG!!!" Begitulah yang kulakukan. Setiap orang ternganga melihatku, tanpa bicara. Agaknya lebih baik memecahkan kesunyian itu dengan berbicara, "Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat." Mereka masih saja menatapku. Aku lanjutkan kata-kataku, "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi istilahnya berasal dari penjajah kita. Dalam bahasa Belanda 'Pet' berarti kupiah, 'je' akhiran untuk menunjukkan 'kecil', dan kata itu sebenarnya 'Petje'. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Mardeka." Pada saat aku melangkah keluar dari kereta api di stasiun Bandung dengan peciku yang memberikan kesan gagah, peci itu telah menjadi lambang tingkat nasional dari para pejuang kemerdekaan  (Candy Adams, 2011: 61-62)

Di masa kini songkok tidak lagi menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Daik. Masyarakat tidak lagi keluar rumah misalkan ke pasar atau pergi minum kopi memakai songkok. Di Daik hanya ada segilintir golongan tua yang masih memakai songkok. Pada masa kini songkok hanya dipakai pada waktu atau kegiatan tertentu yang berhubungan dengan urusan agama, adat istiadat dan acara resmi tertentu. Songkok hanya dipakai saat melakukan ibadah, menghadiri kenduri, melayat jenazah, acara adat istiadat, dan acara resmi tertentu.  Di masa kini, songkok tidak menjadi pakaian utama untuk dipakai bersama baju kurung atau pakaian lainnya, karena saudara tuanya destar kembali bangkit dan menggeliat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun