Pada beberapa negara, terdapat banyak tantangan sosial yang masih perlu diselesaikan, yaitu kemiskinan yang parah, dan kurangnya akses umum untuk perawatan kesehatan atau pendidikan. Dalam keadaan global, kewirausahaan sosial memiliki potensi untuk memberikan beberapa solusi sosial, yaitu dengan menerapkan pendekatan kewirausahaan dan kekuatan inovasi sosial untuk menghadapi tantangan sosial yang ada. Tulisan ini mencoba untuk memberikan tinjauan literatur dari konsep kewirausahaan sosial, seperti latar belakang sejarah, karakteristik, dan model bisnis yang efektif untuk kewirausahaan sosial.
Masalah pengangguran merupakan masalah yang dihadapi oleh setiap negara, demikian pula yang terjadi di Indonesia, masalah pengangguran dan tenaga kerja di Indonesia masih menjadi persoalan yang perlu disikapi secara serius.
Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data mengenai kondisi tenaga kerja di Indonesia. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2015 sebesar 5,81 persen meningkat dibandingkan TPT Februari 2014 (5,70 persen). Â Dari data tersebut, pada Februari 2015, penduduk bekerja masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 45,19 persen, sementara penduduk bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 8,29 persentase.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia dipengaruhi juga oleh kualitas ketenagakerjaan di Indonesia yang masih memprihatinkan baik dilihat dari sisi kualifikasi maupun kompetensi. Pembangunan Sumber Daya Manusia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.Â
Indeks pembangunan sumber daya manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme Indonesia menempati urutan ke- 110 dari 187 negara. Menurut catatan mereka, Indonesia masuk ke dalam kategori medium human development. Â
Angka pengangguran yang cukup besar tersebut tentunya dapat menimbulkan masalah sosial yaitu kemiskinan.
Kondisi yang dihadapi akan semakin diperburuk dengan situasi persaingan global (misal pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) yang akan menghadapkan lulusan perguruan tinggi Indonesia bersaing secara bebas dengan lulusan dari perguruan tinggi asing. Oleh karena itu, para sarjana lulusan perguruan tinggi perlu diarahkan dan didukung untuk tidak hanya berorientasi sebagai pencari kerja (job seeker) namun dapat dan siap menjadi pencipta pekerjaan (job creator) juga (Suharti dan Sirine, 2009).
Definisi social entrepreneurship  banyak dikembangkan di sejumlah bidang yang berbeda, mulai dari tidak untuk profit, untuk profit, sektor publik, dan kombinasi dari ketiganya. Menurut Bill Drayton (pendiri Ashoka Foundation) selaku penggagas social entrepreneurship terdapat dua hal kunci dalam social entrepreneurship.Â
Pertama, adanya inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua, hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa wirausaha (entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Hulgard (2010) merangkum definisi social entrepreneurship secara lebih komprehensif yaitu sebagai penciptaan nilai sosial yang dibentuk dengan cara bekerja sama dengan orang lain  atau organisasi masayarakat yang terlibat dalam suatu inovasi sosial yang biasanya menyiratkan suatu kegiatan ekonomi
Social entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari entrepreneurship. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari social entrepreneur  adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare) (Cukier, 2011).
Hal ini sejalan dengan yang diungkap  oleh Schumpeter dalam Sledzik (2013) yang mengungkap entrepreneur adalah orang yang berani mendobrak sistem yang ada dengan menggagas sistem baru. Jelas bahwa social entrepreneur pun memiliki kemampuan untuk berani melawan tantangan atau dalam definisi lain adalah seseorang yang berani loncat dari zona kemapanan yang ada. Berbeda dengan kewirausahaan bisnis, hasil yang ingin dicapai social entrepreneurship bukan profit semata, melainkan juga dampak positif bagi masyarakat.
Social entrepreneur  adalah agen perubahan (change agent) yang mampu untuk melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial dan menjadi penemu berbagai peluang untuk melakukan perbaikan (Santosa, 2007).  Seorang social entrepreneur  selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, pembelajaran yang terus menerus bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya dan memiliki akuntabilitas dalam mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya, kepada masyarakat. Â
Definisi komprehensif di atas memberikan pemahaman bahwa social entrepreneurship terdiri dari empat elemen utama yakni social value, civil society, innovation, and economic activity
(Palesangi, 2013). Â
*Social Value. Ini merupakan elemen paling khas dari social entrepreneurship yakni menciptakan manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
*Civil Society. Social entrepreneurship pada umumnya berasal dari inisiatif dan partisipasi masyarakat sipil dengan mengoptimalkan modal sosial yang ada di masyarakat.
*Innovation. Social entrepreneurship memecahkan masalah sosial dengan cara-cara inovatif antara lain dengan memadukan kearifan lokal dan inovasi sosial.
*Economic Activity. Social entrepreneurship yang berhasil pada umumnya dengan menyeimbangkan antara antara aktivitas sosial dan aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis/ekonomi dikembangkan untuk menjamin kemandirian dan keberlanjutan misi sosial organisasi.
Inovasi terjadi karena perasaan tidak puas terhadap kondisi dan situasi yang ada serta adanya peluang untuk memperbaiki keadaan yang ada, inovasi harus dijadikan sebagai suatu alat dan bukan suatu tujuan, tujuan dari suatu inovasi adalah perubahan atau perbaikan dari kondisi yang ada menjadi lebih baik, namun tidak semua perubahan dapat dikatakan sebagai suatu inovasi (Saiman, 2011)
Inovasi sosial terkait dengan peningkatan hubungan sosial dan peningkatan kesejahteraan (Moulaert et al., 2013).
Moulaert (2013) Â juga berpendapat bahwa inovasi sosial dapat dimulai di mana-mana dalam bidang perekonomian, tidak hanya di sektor non-profit, tetapi juga di sektor publik dan swasta. Di sisi lain, inovasi sosial tidak terbatas pada masalah kesejahteraan tetapi juga mungkin terkait dengan isu-isu perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Inovasi sosial sangat berkaitan dengan social entrepreneurship. Inovasi sosial adalah pondasi bagi seorang social entrepreneur  dalam menjalankan bisnis atau kegiatannya untuk mencari kesempatan, memperbaiki sistem, menemukan pendekatan yang baru serta menciptakan solusi terhadap perubahan lingkungan yang lebih baik (Widiastusy, 2011). Seorang social entrepreneur  mencari cara yang inovatif untuk memastikan bahwa usahanya akan memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan selama mereka dapat menciptakan nilai sosial (Mort &
Weerawardena, 2003).
Di dalam menjalankan kegiatan social entrepreneurship, tentu saja dipengaruhi oleh berbagai aspek. Menurut Dees (2002) beberapa aspek yang mempengaruhi social entrepreneurship adalah: Â
a.Proses mendefinisikan tujuan atau misi.
Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh organisasi agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Misi sangat diperlukan bagi pegawai dan pihak yang terlibat didalam organisasi tersebut untuk mengenal organisasi dan mengetahui peran dan program-programnya serta hasil yang akan diperoleh dimasa mendatang.
b.Proses mengenali dan menilai peluang Â
Mengenali dan menilai peluang merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam menjalankan social entrepreneurship. Dalam social entrepreneurship, peluang dianggap sebagai sesuatu yang baru dengan cara yang berbeda dalam membuat dan mempertahankan nilai sosial. Ide yang muncul dan menarik mungkin dapat beragam, akan tetapi tidak semua ide yang menarik tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah pelung untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial.
Seorang social entrepreneur  haruslah berupaya untuk mengenali berbagai peluang  dalam menciptakan atau mempertahankan nilai sosial.  Sedangkan menilai peluang adalah sebuah proses pengumpulan data yang dicampur dengan insting. Cara ini merupakan sebuah ilmu dan seni. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, yang relevan dengan ukuran, cakupan, dan waktu yang tersedia. Pada akhirnya, didalam setiap proses pengambilan keputusan tentunya insting sangat diperlukan.
c.Proses manajemen resiko (risk management)
Dalam merealisasikan misi atau ideidenya, seorang social entrepreneur  dihadapkan pada sebuah resiko dan tantangan. Resiko adalah kemungkinan yang tidak diharapkan. Dua komponen yang melekat dalam resiko adalah bahwa yang pertama, resiko dapat didefinisikan sebagai potensi besar yang tidak diharapkan terjadi karena tidak memperhitungkan sisi buruk, dan komponen dari resiko yang kedua adalah  kemungkinan bahwa hasil-hasil yang tidak diinginkan tersebut akan benar-benar terjadi.
Jadi dalam merealisasikan ide atau gagasannya, social entrepreneur  harus memperhitungkan segala sesuatunya yang akan terjadi. Hambatan-hambatan dalam menjalankan suatu kegiatan social entrepreneurship dapat muncul secara tidak terduga.
d.Mengidentifikasi dan menarik pelanggan Â
Konsumen atau pelanggan didalam social entrepreneurship sedikit berbeda dengan konsumen dalam sebuah bisnis umumnya. Dalam definisi social entrepreneurship, konsumen adalah mereka yang ikut berpartisipasi dengan sukses dalam mendukung misi sosial. Partisipasi ini bisa dalam bentuk penggunaan layanan, berpartisipasi dalam suatu kegiatan, relawan, memberikan dana atau barang  untuk sebuah organisasi nirlaba, atau bahkan membeli layanan atau produk yang dihasilkan organisasi tersebut. Fokus social entrepreneurship adalah untuk menyalurkan semua hasil sumberdaya sehingga tercipta nilai sosial.
Mengidentifikasi pelanggan sangat penting karena pelanggan merupakan pasar untuk menyalurkan barang dan jasa. Â e. Proyeksi Arus Kas
Untuk dapat terus menjalankan kegiatannya, social entrepreneur harus dapat memproyeksikan kebutuhan uang tunai untuk usaha mereka. Mereka harus memutuskan bagaimana mereka dapat memeproleh kas untuk kelangsungan usahanya. . Tentu saja, tugas ini lebih rumit bagi  social entrepreneur  daripada business entrepreneurs pada umumnya Pada beberapa kesempatan, penyandang dana pihak ketiga (misalnya, instansi pemerintah atau perusahaan) dapat menjadi alternatif untuk menutupi biaya operasional. Namun dalam banyak kasus, pendapatan yang diperoleh dari layanan yang diberikan seringkali lebih kecil dari jumlah biaya operasional yang dibutuhkan. Â
Dalam kasus tersebut, dana relawan dapat digunakan  untuk mengisi kesenjangan, sehingga perencanaan penggalangan dana haruslah dibuat dengan matang dan realistis. yang masuk akal. Tantangan bagi pelaku social entrepreneur  adalah bahwa mereka harus selektif dalam merencanakan aliran pendapatan tunai (arus kas) agar kegiatannya tetap berfokus pada misi yang telah ditetapkan.
Osterwalder & Pigneur (2010).
 mendefinisikan model bisnis sebagai gambaran dasar pemikiran tentang bagaimana organisasi menciptakan dan memberikan nilai. Model bisnis memperlihatkan cara berpikir tentang bagaimana sebuah perusahaan menghasilkan uang. Model bisnis dan bentuk organisasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.  Seperti halnya bisnis pada umumnya, kesempatan yang dimiliki oleh sosial entrepreneurship harus didukung oleh model bisnis yang masuk akal dan realistis. Â
Seorang social entrepreneur  dapat menciptakan model bisnis baru dimana model tersebut akan meningkatkan kinerja para pengusaha sosial.
Social entrepreneurship menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaanperbedaannya dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan pelanggan, serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat. Konsep social entrepreneurship mencapai puncak pemahamannya pada dekade tahun 2006 dengan dibuktikan di mata dunia internasional seorang Mohammad Yunus pemenang Nobel Perdamaian dalam kiprahnya bidang ekonomi mikro yang khusus ditujukan oleh kaum wanita di Banglades. Itu adalah pengakuan dan penghargaan untuk seorang Social entrepreneur  (Social entrepreneurship). Â
Semenjak itu, termasuk Indonesia, mulai hangat memperbincangkan konsep Social entrepreneurship. Hal ini wajar mengingat bahwa fenomena keberhasilan Moh. Yunus dengan  konsep Grammen Bank atas upaya memecahkan masalah sosial di negaranya, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan situasi masalah sosial  yang terjadi di Indonesia. Konsep social entrepreneurship seolah menjadi sebuah alternatif pemikiran yang dapat memecahkan masalah sosial yang sedemikian kompleksnya terjadi di
Indonesia.
Dewasa ini terjadi pergeseran social entrepreneurship yang semula dianggap merupakan kegiatan "non-profit" (antara lain melalui kegiatan amal) menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis (entrepreneurial private-sector business activities). Keberhasilan legendaris dari Grameen Bank dan Grameen Phone di Bangladesh menggambarkan salah satu contoh terjadinya pergeseran orientasi dalam menjalankan program social entrepereneurship. Hal ini menjadi daya tarik bagi dunia bisnis untuk turut serta dalam kegiatan social entrepreneurship, karena ternyata dapat menghasilkan keuntungan finansial.
Begitu peliknya permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia pun telah mendorong tumbuhnya berbagai komunitas social entrepreneurship, dua di antaranya adalah Asosiasi Social entrepreneurship Indonesia (AKSI) dan Indonesia setara. Berikut profil singkat kedua komunitas tersebut :
Indonesia Setara
Indonesia Setara adalah sebuah Organisasi Non Profit yang dibentuk pada November 2010 yang memiliki tujuan untuk membangun mindset percaya diri bahwa rakyat Indonesia mampu berprestasi untuk mendorong kemajuan bangsa. Indonesia Setara Foundation akan membantu pelaku
UMKM dan Koperasi agar mampu mengakses peluang dan kesempatan tersebut sehingga tumbuh dan berkembang. Fokus utama Indonesia Setara adalah mengembangkan kapasitas dan jejaring. Indonesia Setara akan membuka akses pendidikan, akses terhadap permodalan, dan akses terhadap sumber daya maupun jejaring.
Melalui gerakan yang digagas Sandiaga Uno ini, masyarakat diharapkan mempunyai semangat juang untuk mengubah kehidupan, mulai dari diri sendiri, keluarga, komunitas, dan wilayah. Gerakan Indonesia Setara berfokus pada pemberdayaan UMKM, yang merupakan kunci utama supaya potensi 'survive' negeri ini menjadi lebih tinggi. Indonesia Setara juga secara aktif mendatangi kampus-kampus dan organisasi sebagai 'engagement' langsung untuk mengajak masyarakat melakukan perubahan menuju kesetaraan.
Asosiasi Social entrepreneurship Indonesia (AKSI)
AKSI merupakan sebuah wadah atau organisasi untuk menjaring para kewriausahaan sosial di seluruh indonesia yang memiliki visi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment) untuk tumbuhnya social entrepreneurship di Indonesia. Sedangkan misi dari AKSI adalah untuk :
1.Menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment) untuk tumbuhnya social entrepreneurship di Indonesia.
2.Mendorong social entrepreneurship yang berkelanjutan melalui layanan peningkatan kapasitas.
3.Membangun jaringan dengan berbagai pihak, di sektor social entrepreneurship maupun lintas sektor, di tingkat nasional, regional dan internasional untuk memperkuat komitmen dan upaya di sektor sosial.
AKSI merupakan sebuah wadah berkumpulnya para penggiat social entrepreneurship yang bertujuan untuk membangun keberdayaan masyarakat secara berkelanjutan melalui inovasi di bidang sosial. AKSI lahir atas keprihatinan terhadap situasi bangsa Indonesia yang dilanda banyak permasalahan sosial, seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, dsb. Beberapa program yang dimiliki AKSI, antara lain memperkuat keanggotaan, memperkuat gerakan kewirausahaan di Indonesia, dan memperkuat  kelembagaan asosiasi. AKSI juga aktif melakukan pembinaan social entrepreneurship dan ekspedisi ke daerah terpencil untuk membantu memecahkan permasalahan sosial di sana.
Indonesia, pengakuan dari berbagai pihak terhadap pelaku social entrepreneurship mulai bermunculan. Â Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk penggelontoran dana-dana yang diperebutkan berbagai social entrepreneurship melalui berbagai proyek yang diusulkan oleh lembaga social entrepreneurship. Meski dana tersebut tidak hanya murni dari pemerintah, pemerintah berhak mengecek manfaat penerima dana itu. Hal ini untuk menjamin dana tersebut tidak disalahgunakan oleh penerima.
Social entrepreneur  yang mendapat dana kemudian mengerjakan proyek yang sudah tentu harus bermanfaat bagi masyarakat, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, pengurangan jumlah warga yang tidak memiliki rumah, dan perbaikan lingkungan. Pemerintah kemudian akan mengaudit dana-dana yang disalurkan itu. Pemerintah mengecek manfaat yang diterima oleh masyarakat yang menjadi subyek dalam proyek-proyek itu.
social entrepreneurship berinduk pada bidang yang lebih luas, yaitu kewirausahaan. Kewirausahaan dikembangkan dengan menggunakan data empiris dari dunia bisnis. Sejumlah upaya pengembangan wirausaha bisnis dapat menjadi acuan untuk pengembangan social entrepreneurship. Â
Untuk menekuni dunia social entrepreneurship, membutuhkan komitmen tinggi dan rela berkorban dalam segala hal, mulai dari finansial (uang), waktu, serta pantang menyerah. Dan Indonesia beruntung memiliki cukup banyak pelaku social entrepreneurship yang dapat mendukung tumbuhnya semangat social entrepreneurship pada sekelompok masyarakat. Berikut adalah beberapa contoh kelompok maupun individu yang berkecimpung dalam social entrepreneurship di Indonesia dan telah memperoleh beberapa penghargaan: Â
1. Kelompok Wanita Tani Tunas Mekar Â
: Sistem Pertanian Terintegrasi
(Simantri)
Gapoktan yang diketuai oleh Wardana beranggotakan 13 kelompok tani atau 361 KK di Bali merupakan salah satu pengelola Simantri yang cukup berhasil mengangkat perekonomian para petani yang tergabung di dalamnya. Â
Melalui hasil uji coba serta mencari berbagai informasi di internet untuk pengembangan Simantri yang dikelolanya, kelompok ini  telah menghasilkan berbagai produk olahan sampingan berbahan dasar susu kambing etawa diantaranya sabun padat, sabun cair dan krupuk susu kambing. Tak puas sampai di sana, dan mulai uji coba membuat lulur dan handbody lotion berbahan dasar susu kambing. Seluruh produk tersebut dikombinasikan dengan sejumlah hasil komoditi pertanian lainnya seperti pepaya, lidah buaya, coklat, kopi, sereh, mengkudu dan strawberry. Pemasaran berbagai produk itu telah tersebar di seluruh Bali, Banyuwangi hingga Malang. Pangsa pasar masih sangat terbuka karena makin meningkatnya permintaan.
Sementara hasil sampingan seperti bio urine, biogas serta pupuk selama dimanfaatkan maksimal oleh anggota Gapoktan ini. Pupuk dan biourine dimanfaatkan untuk petani dalam pengelolaan 110 hektare tanaman kopi robusta yang merupakan salah satu hasil pertanian andalan kawasan tersebut Semangat, kerja keras, keuletan, inovasi dan kreatifitas serta semangat kewirausahaan merupakan kunci keberhasilan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) yang berlokasi di Bali ini. Â
Â
2. Srini Maria : Ibu Buncis dari Merapi Konsep yang dikembangkan oleh Srini adalah menerapkan metode pola menanam kepada para petani di Desa Sengi, Magelang, khususnya untuk petani wanita karena ia ingin mereka lebih berdaya dan aktif dalam perekonomian keluarga. Desa Sengi merupakan desa yang sangat dekat dengan Gunung Merapi sehingga daerah ini sering disebut daerah KRB III, daerah rawan bencana satu, karena wilayah Sengi terletak 8 km dari puncak Merapi. Mata pencaharian masyarakat Desa Sengi meliputi pertanian, perkebunan, peternakan dan perdagangan, sebagian ada yang berwiraswasta dan menjadi pegawai.
Pengembangan usaha yang telah dilakukan Srini bersama anggota kelompoknya adalah:
*Bersama dengan 28 anggotanya ,Srini mencoba mengekspor sayur dari hasil tanamannya sendiri. Dia menanam buncis Perancis di area seluas 400 meter persegi. Dari area ini, dia bisa menginisiasi ekspor dengan mengirimkan 25-30 kilogram (kg) buncis Perancis ke Singapura lewat perantara petani sekaligus pengepul sayur, Pitoyo, di Kabupaten Semarang.
*Seiring perkembangan ekspor tersebut, jumlah anggotanya bertambah menjadi 42 orang. Tak hanya dari Dusun Gowok Ringin, anggota juga berasal dari dua dusun tetangga, Dusun Gowok Sabrang dan Dusun Gowok Pos, serta Desa Tlogolele, Boyolali. Luas lahan pertanian buncis Kelompok Merapi Asri mencapai 1 hektar. Â
*Merintis budi daya bit untuk diekspor. Bit disebut bermanfaat antara lain untuk penambah darah, pengobatan pasien diabet, dan pewarna alami produk makanan. Buah Bit rencananya akan diekspor ke Singapura melalui perusahaan ekspor produk hortikultura di Soropadan Agro Ekspo Kabupaten Temanggung, dengan nilai kontrak Rp 4.000 per kilogram. Dengan adanya kegiatan ini, dampak harga jual buncis Perancis untuk ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan yang di pasar lokal. Selain untuk ekspor, Kelompok Merapi Asri juga tetap menjalin kerja sama dengan pedagang pengepul sayur di Kabupaten Semarang untuk membantu mendistribusikan buncis Perancis di pasar lokal. Social entrepreneurship yang diinisiasi oleh Srini mendorong para perempuan dan setiap keluarga petani untuk mampu berpikir maju dalam mengembangkan pasarnya. Dengan demikian, petani tak terus-menerus terombang-ambing oleh harga sayur di pasar lokal.
Â
3. Baban Sarbana : Menghubungkan anak- anak yatim piatu dengan dunia melalui jejaring online untuk masa depan yang lebih baik Â
Baban Sarbana merupakan pendiri Yayasan Pusat Pembelajaran Ilmu Berguna, disingkat ILNA, yaitu Yayasan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan keagamaan. Yayasan ini sejak Maret 2010, mendirikan Pondok Yatim Mandiri, dengan gerakan sosialnya bernama YatimOnline.
YatimOnline telah mendapat penghargaan sebagai Aksi Inspiratif KlikHati Award 2010, Ten Outstanding Young Person
2012 dari Junior Chamber International --
Indonesia, Episode "Sang Juara" di BChannel TV, Indonesia Changemakers Forum, bermitra dengan Dompet Dhuafa untuk program "Muliakan Anak Yatim", bermitra dengan BAZNAS untuk pendirian Rumah Pintar Ciapus.
Fokus kegiatan YatimOnline di bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
*Di Bidang Pendidikan, YatimOnline mendirikan Rumah Pintar Ciapus, Raudhatul Athfal An- Nahlya
(pendidikan anak), dan Pustaka Desa; selain memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi.
*Di bidang Kesehatan, secara rutin melakukan program Dokter Keluarga Yatim Dhuafa, yaitu pelayanan kesehatan gratis kepada warga yang dilaksanakan 3 bulan sekali serta RUTIL
*Di bidang Ekonomi, membentuk Kelompok Usaha Bernama Yatim
Dhuafa, yaitu lembaga rintisan micro finance yang memberikan pinjaman bagi para Bunda Yatim Dhuafa yang memiliki usaha yang sudah berjalan dan memerlukan bantuan modal, Taruna Wirausaha, peluang bekerja/berusaha bagi anak-anak yang ingin menambah penghasilan serta rintisan Sedawai (Sekolah Desa Wirausaha Indonesia).
Â
4.Elang Gumilang : Kredit Pemilikan Rumah Sederhana bersubsidi (KPRS)
Pemuda kelahiran 1985 ini mencoba menangkap peluang dalam bisnis properti sekaligus membantu golongan ekonomi menengah kebawah untuk memiliki rumah. Saat menjadi mahasiswa di Institur Pertanian Bogor, Elang sudah menjadi direktur utama Elang Grup, sebuah grup bisnis pengembang perumahan. Pada tahun 2007 Elang bermitra dengan Bank Tabungan Negara (BTN) menyediakan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana bersubsidi (KPRS) bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta per bulan. Harganya mulai Rp 25 juta (tipe 21/60) berbunga 4,5 persen per tahun dan maksimal Rp 55 juta (tipe36/72) berbunga 7,5 persen per tahun. Cicilannya Rp 25-90 ribu per bulan. Proyek perdananya di Perumahan Griya Salak Endah berhasil dimana sebanyak 450 unit rumah terjual. Pembelinya buruh, pedagang, tukang tambal ban, dan guru. Pemenang Wirausahawan Muda Mandiri terbaik Indonesia 2007 ini tergerak menyediakan rumah murah bagi orang kecil yang kesulitan membelinya. Â
Â
5.Fajri Mulya Iresha : Zero Waste Indonesia, Saatnya Indonesia Bebas Sampah
Pemikiran Fajri tentang sampah yang mempunyai nilai ekonomis kalau bisa di kelola dengan baik sebagai latar belakang dibentuknya kegiatan Zero Waste Indonesia. dimulai dengan mengedukasi masyarakat dalam mengumpulkan sampah organik dan non organik kemudian membina Bank Sampah di sekitaran wilayah Depok. Serta kepedulian Fajri terhadap pemulung dan kaum marjinal untuk turut serta dalam perberdayaan ini.
Keberadaan Zero Waste Indonesia yang telah mendapatkan penghargaan dari salah satu Bank Nasional di Indonesai ini berhasil membina sekitar 25 Bank sampah yang masing masing Bank sampah melibatkan sekitar 30 kepala keluarga, total masyarakat yang turut bergabung sekitar 500 sampai 750 warga. Zero Waste memberdayakan para pekerjanya dengan latar belakang pemulung, pemuda pengangguran, dan pemakai narkoba
Hingga saat ini, Fajri dapat menghasilkan 200 kg sampah plastik perhari dengan rata rata omzet 30 juta per bulan. Hasil tersebut dapat menambah penghasilan masyarakat dari kegiatan menabung sampah non organik, serta sebagian hasil tabungan Bank Sampah mereka di gunakan untuk membangun infrastuktur lingkungan sekitar.
Zero Waste Indonesia berhasil menanamkan kepedulian dan kesadaran warga untuk mengolah dan memilih sampah di rumah tangga, memberdayakan pemulung dan kaum marjinal mantan penguna narkoba yang bekerja di Zero Waste Indonesia dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat sampah Plastik terutama untuk wilayah Depok yang selama ini menjadi suatu permasalahan. Kegiatan Zero Waste Indonesia telah diadopsi di beberapa daerah seperti di Jambi dan Pekanbaru. Rencana pengembangan kedepannya Zero Waste Indonesia ingin membuat kerajinan daur ulang sampah, kreasi daur ulang seperti tas, hiasan dengan mengandeng relawan mahasiswa. Â
Hal yang menarik untuk dicermati dari profil di atas adalah adanya kesamaan dalam hal: mereka berjiwa wirausaha, kreatif dan inovatif, serta memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Bangsa ini membutuhkan banyak sosok seperti mereka, yang bisa memadukan antara aktivitas bisnis dan sosial. Perjalanan para pengusaha sosial ini tentunya masih panjang untuk membuktikan diri sebagai social entrepreneurship yang sejati, namun inisiatif mereka perlu diberikan apresiasi secara khusus, karena mereka tidak sekadar mengembangkan bisnis tapi juga memecahkan persoalan sosial. Â
Peran social entrepreneur  dapat berperan baik dari segi internal maupun eksternal. Peran social entrepreneur  dari segi internal adalah mengurai tingkat ketergantungan terhadap orang lain, menciptakan rasa kepercayaan diri, dan dapat meningkatkan daya tarik pelakunya. Dari segi eksternal, kewirausahaan dapat berperan sebagai menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang belum mendapatkan peluang kerja. Dengan cara itulah kewirausahaan dapat juga membantu mengurai atau memberantas tingkat pengangguran yang selama ini jadi beban pikiran masyarakat dan permasalahan sosial lainnya. Â
Social entrepreneurship juga berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta nilai--nilai sosial maupun ekonomi, seperti yang dipaparkan oleh Santosa (2007) berikut: Â
a.Menciptakan kesempatan kerja Â
Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social entrepreneurship di berbagai negara adalah penciptaan kesempatan kerja baru yang meningkat secara signifikan. Â
b.Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat. Â
Inovasi dan kreasi baru terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah dapat dilakukan oleh kelompok Social Entrepereneurship seperti misalnya : penanggulangan HIV dan narkoba, pemberantasan buta huruf, kurang gizi. Seringkali standar pelayanan yang dilakukan pemerintah tidak mengena sasaran karena terlalu kaku mengikuti standar yang ditetapkan. Di lain sisi, Social entrepreneurs mampu untuk mengatasinya karena memang  dilakukan dengan penuh dedikasi dan berangkat dari sebuah misi sosial.
Â
c.Menjadi modal sosial  Modal sosial yang terdiri dari saling pengertian (shared value), kepercayaan (trust) dan budaya kerjasama (a culture of cooperation) merupakan bentuk yang paling penting dari modal yang dapat diciptakan oleh social entrepreneur  (Leadbeater dalam Santosa, 2007). Siklus modal sosial  diawali dengan penyertaan awal dari modal sosial oleh pengusaha sosial. Selanjutnya dibangun jaringan kepercayaan dan kerjasama yang makin meningkat sehingga dapat akses kepada pembangunan fisik, aspek keuangan dan sumber daya manusia. Pada saat unit usaha dibentuk (organizational capital) dan saat usaha sosial mulai menguntungkan maka makin banyak sarana sosial dibangun Di bawah ini digambarkan "virtous circle of social capital" yang dikemukakan oleh
Leadbeater dalam Santosa (2007) :
adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Melalui social entrepreneurship, tujuan tersebut akan dapat diwujudkan karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
D. Peningkatan kesetaraanÂ
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi entrepreneurship terhadap pembangunan ekonomi di Afrika menyimpulkan bahwa social entrepreneurship memainkan peran penting dalam pembangunan, dimana social entrepreneurship mendorong pembangunan masyarakat antara beragam kelompok orang, yang dapat  memfasilitasi pembangunan. Selain itu, social entrepreneurship memupuk pemecahan masalah yang secara kreatif  mengembangkan keterampilan masyarakat.
Seorang pengusaha sosial memainkan peran penting dalam mempromosikan inisiatifinisiatif yang berasal  dari sektor yang berbeda (pemerintah, masyarakat, dan perusahaan) untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial di daerah dan masyarakat lokal (Squazzoni, 2008).  Inisiatif lintas sektor sangat penting untuk peningkatan  kapasitas daerah atau  masyarakat dalam mengatur solusi inovatif untuk masalah sosial ekonomi melampaui batas-batas pasar dan lembaga pemerintah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H