Mohon tunggu...
Muhammad Fachri
Muhammad Fachri Mohon Tunggu... Freelancer - #OpenToWork

Mengisi waktu untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perwujudan Akulturasi Budaya Tionghoa-Indonesia

19 Januari 2021   07:30 Diperbarui: 19 Januari 2021   07:59 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiong Hwa Hwee Kwan (sumber foto: depoedu.com)

Selain menyebarkan agama Islam, orang-orang Tionghoa memperkenalkan kebudayaan asli mereka kepada penduduk setempat. Pengenalan kebudayaan tersebut mempengaruhi persilangan budaya dan persimpangan niaga antar negara sebagai akibat dari Jawa yang memberikan celah kepada orang-orang asing untuk turut berpartisipasi dalam menciptakan sebuah tatanan sosial, politik, ekonomi yang dinamis.

Penyebaran, Pengaruh dan Perwujudan Akulturasi Budaya Tionghoa-Indonesia

Orang-orang Tionghoa sudah datang ke Indonesia sebelum orang Belanda. Orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan penuh kedamaian. Mata pencaharian mereka yaitu berdagang hingga bertani. Selama tinggal di Indonesia, orang Tionghoa dikenal rajin dan pintar mencari uang apalagi dibidang perdagangan. Akibat kedatangan orang Tionghoa maka penyebaran maupun akulturasi budaya tidak bisa dipisahkan.

Penyebaran budaya Tionghoa di Indonesia dimulai ketika jalur perdagangan pantai utara Jawa memberikan kebebasan orang asing ikut berpartisipasi untuk menciptakan sebuah tatanan sosial, politik, ekonomi yang dinamis. Akibat adanya ruang keterbukaan ini, perlahan-lahan budaya China mampu membaur dengan budaya setempat termasuk membaur dengan bahasa, makanan, pakaian hingga agama di Indonesia.

 Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Pada permulaan abad ke-19, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Batavia lebih dari 100.000 orang, dari populasi penduduk pulau Jawa kurang lebih 5.000.000 orang (Scott Merrillees dalam Benny G. Setiono, 2003). Pada tahun 2004, etnis Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang (Megawati dan Etnis Tionghoa, 2004).

Menurut J.J. Honingmann ada tiga gejala kebudayaan, yaitu Ideas, Activities, dan Artifact (Koentjaraningrat, 2003:74). Hal ini berkaitan dengan penyebaran budaya yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, yang memberikan  pengaruh terhadap kebudayaan Indonesia dan menjadi sebuah berkah juga insiprasi bagi seniman-seniman lokal Indonesia serta dapat memperkaya kebudayaan bagi Indonesia.

Salah satu contoh akulturasi budaya China dengan Indonesia yaitu suku Betawi. Kesenian di Betawi yaitu kesenian Cokek dan Lenong merupakan hasil dari akulturasi budaya China dan Betawi. Dikutip dari islamcendekia.com, musik Tanjidor yang identik sebagai musik khas Betawi pun menggunakan alat musik khas ala China seperti Rebab. Selain kesenian, orang Tionghoa juga memperkenalkan ilmu bela diri yaitu silat yang dipelajari orang Betawi secara turun-temurun. Lebih dari itu, sikap pemberani orang Betawi juga merupakan hasil peleburan budaya orang Tionghoa.

Fenomena akulturasi budaya banyak terdapat pada budaya Jawa dan Islam. Al Qurtuby menyebut fenomena ini sebagai Sino-Javanese Muslim Culture atau perpaduan Tionghoa, Jawa, Islam (Al Qurtuby, 2003: 175). Bentuk Sino-Javanese Muslim Culture salah satunya dapat terlihat pada beberapa arsitektur masjid. Adanya Muslim Tionghoa di Indonesia menjadi salah satu faktor terjadinya akulturasi budaya tersebut. 

Perkembangan masjid di Indonesia dimulai sejak abad ke-7. Tapi, pada abad ke-16, terdapat adaptasi dari bangunan bergaya Hindu-Budha pada bangunan masjid. Ciri khasnya adalah bangunan bertiang tunggal, atapnya perisai dan bersusun, semakin banyak susunannya, semakin tinggi kesuciannya. 

Di Jawa, bentuk-bentuk seperti ini berkembang menjadi tempat ibadah Agama Islam (Tjahjono, 2009:244-248). Corak-corak candi juga sangat familiar dalam desain bangunan masjid pada jaman Hindu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok 2 perkembangan masjid adalah kebudayaan lama yang di-Islamkan (Rochym, 1995:53).

Di Bandung, ada sebuah masjid yang didirikan dengan nuansa Tionghoa yaitu Masjid Lautze 2. Bentuk bangunan Masjid Lautze 2 lebih menyerupai kelenteng daripada masjid. Eksterior dan interior masjid yang di dominasi oleh warna merah cerah mengingatkan pengunjung pada warna-warna vihara dan kelenteng. 

Dilihat dari bangunan fisik masjid ini, terdapat akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Islam. Akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun