Lalu bagaimana menurut Undang-Undang jika terjadi penghadangan atau ada yang menghalangi kampanye?
Dalam <metrotvnews.com> tertanggal 14 November 2016, yang berjudul "Bawaslu: Menolak & Menghalangi Kampanye Bisa Dipenjara Enam Bulan". Melihat judul berita tersebut sudah bisa disimpulkan bahwa siapapun yang menghalangi bahkan menolak kampanye akan ditindak pidana.
Menambahkan hal ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta Mimah Susanti mengatakan, aturan itu tertera pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada pasal 187 ayat 2 atau ayat 4. Inti dari pasal tersebut, warga, atau kelompok masyarakat dilarang mengganggu, mengacaukan segala kegiatan kampanye pasangan calon. Hukuman bagi para penolak kampanye bisa dihukum kurungan penjara maksimal enam bulan. Tidak hanya itu, jika ditemukan pelanggaran lainnya, Bawaslu bakal meneruskan ke Kepolisian untuk diusut.Â
Sebelumnya, pada 11 November 2016, <hukumonline.com> dengan artikelnya berjudul "Bawaslu: Menghalangi Kampanye Adalah Tindak Pidana"  dikatakan oleh Ketua Bawaslu RI, Muhammad bahwa kampanye dapat dilakukan lewat berbagai cara diantaranya pertemuan terbatas, debat publik, pertemuan tatap muka dan dialog. Dalam kampanye terbuka, dapat diketahui siapa saja individu yang melakukan penghalangan atau penolakan terhadap pasangan calon atau tim suksesnya (timses) yang berkampanye. Jika dalam peristiwa tersebut ada panitia pengawas pemilu (panwaslu), temuan itu bisa segera ditindaklanjuti. Namun, jika dalam kampanye itu terjadi penolakan dan penghalangan tapi tidak ada panwaslu, masyarakat atau timses yang bersangkutan bisa melapor ke panwaslu agar ditindaklanjuti. Pelapor diharapkan membawa informasi dan data pendukung guna menjelaskan terjadinya peristiwa itu seperti foto atau video.
Dengan adanya UU tersebut seharusnya apa yang dilakukan oleh Heriyanudin adalah salah satu hal yang menghalangi dalam berkampanye. Maka, tindakan yang harusnya dilakukan adalah diusut kembali sehingga menemukan titik temu  jawaban atas perlakuan dari Heriyanudin kepada Ahok. Lebih dari itu, kita juga harus kritis apakah Heriyanudin adalah benar "Ketua" FPI Pasar Minggu, atau ia hanya meminjam nama saja untuk menjatuhkan nama FPI? Lalu apa tindakan selanjutnya atas hal yang telah dilakukannya kepada Ahok? Politik memang licik. Penulis membuthkan diskusi dan referensi lainnya yang mungkin pembaca bisa menambahkan dari kekurangan artikel ini.
Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI