Mohon tunggu...
M Fachri Hibatullah
M Fachri Hibatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Membaca/Beternak/Bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan Politik Sulawesi pada Tahun 1950-an: Konflik dan Perubahan Identitas Lokal

22 Desember 2023   07:05 Diperbarui: 22 Desember 2023   07:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sulawesi, pulau terbesar keempat di dunia, memiliki sejarah panjang dan beragam. Pulau ini juga memiliki geografi yang unik, dengan pegunungan, hutan, dan laut yang luas. Pada tahun 1950-an, Sulawesi mengalami periode yang sangat kompleks dan tidak stabil. Wilayah ini terbagi antara Darul Islam (DI) dan pemerintah pusat, dengan arus manusia dan barang yang terpengaruh. Konflik ini juga menciptakan perbedaan ideologi dan identitas lokal di berbagai wilayah, seperti Tana Toraja.

Pada tahun 1950, Sulawesi dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Sulawesi Utara berada di bawah pemerintahan pusat, sedangkan Sulawesi Selatan berada di bawah kendali DI. Pembagian ini menyebabkan terjadinya konflik antara kedua pihak. DI merupakan gerakan separatis yang dipimpin oleh Kartosoewirjo. Gerakan ini menentang pemerintahan pusat dan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. DI memiliki basis kekuatan yang kuat di Sulawesi Selatan, terutama di wilayah pegunungan.Pemerintah pusat berusaha untuk merebut kembali wilayah Sulawesi Selatan dari DI. Pemerintah melakukan operasi militer yang disebut Operasi Pagar Betis. Operasi ini berlangsung selama beberapa tahun dan menyebabkan banyak korban jiwa.

Konflik DI-Pemerintah Pusat menyebabkan arus manusia dan barang di Sulawesi terganggu. Masyarakat di wilayah yang dikuasai DI kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kelaparan dan penyakit. Masyarakat di wilayah yang dikuasai pemerintah pusat juga mengalami kesulitan. Mereka harus mengungsi dari wilayah yang dikuasai DI. Hal ini menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat.

Konflik DI-Pemerintah Pusat juga menciptakan perbedaan ideologi dan identitas lokal di berbagai wilayah. Di Tana Toraja, misalnya, terjadi perbedaan pandangan antara masyarakat yang mendukung DI dan masyarakat yang mendukung pemerintah pusat. Masyarakat yang mendukung DI umumnya memiliki pandangan yang lebih fundamentalis. Mereka menginginkan penerapan syariat Islam di Tana Toraja. Sedangkan masyarakat yang mendukung pemerintah pusat umumnya memiliki pandangan yang lebih moderat. Mereka menginginkan penerapan demokrasi di Tana Toraja. Perbedaan ideologi dan identitas lokal ini masih terasa hingga saat ini. Hal ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan di Tana Toraja.

Konflik DI-Pemerintah Pusat memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan Sulawesi hingga saat ini. Konflik ini menyebabkan terjadinya:
•Pembagian wilayah yang tidak alami
•Gangguan arus manusia dan barang
•Perbedaan ideologi dan identitas lokal

Pembagian wilayah yang tidak alami menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan pembangunan di Sulawesi. Wilayah yang dikuasai DI umumnya lebih tertinggal dibandingkan wilayah yang dikuasai pemerintah pusat. Gangguan arus manusia dan barang menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kelaparan dan penyakit. Perbedaan ideologi dan identitas lokal menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat. Hal ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan di Sulawesi.

Kesimpulan

Geografi politik Sulawesi pada tahun 1950-an sangat kompleks dan tidak stabil. Konflik DI-Pemerintah Pusat menyebabkan terjadinya pembagian wilayah, gangguan arus manusia dan barang, serta perbedaan ideologi dan identitas lokal. Konflik ini memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan Sulawesi hingga saat ini. Pada tahun 1962, DI akhirnya berhasil dibubarkan oleh pemerintah pusat. Namun, dampak dari konflik ini masih terasa hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun