Mohon tunggu...
Mezaluna Kharismatika Deazzuri
Mezaluna Kharismatika Deazzuri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi S1 PGSD FIPP UNNES

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Merdeka: Sudahkah Berhasil Memerdekakan Pendidikan Indonesia?

2 Oktober 2023   20:13 Diperbarui: 7 Oktober 2023   23:55 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka: Sudahkah Berhasil Memerdekakan Pendidikan Indonesia?

Mezaluna Kharismatika Deazzuri, Dr. Eka Titi Andaryani, S.Pd., M.Pd.

Mahasiswi S1 PGSD, Dosen PGSD FIPP UNNES

Seiring berjalannya waktu, dunia mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan sendiri, sudah tidak asing lagi di telinga kita bahwasanya banyak perubahan-perubahan yang dirancang atau direncanakan bahkan sudah masuk dalam tahap pelaksanaan dan implementasi mulai dari internal maupun eksternal, hal ini diberlakukan dengan tujuan yang tidak lain adalah ingin meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia. Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah menerapkan berbagai model kurikulum pendidikan, dimulai sejak pasca kemerdekaan sampai yang terbaru di tahun 2021 sampai 2022, terhitung sudah sekitar 11 kali pergantian kurikulum yang pernah dilakukan, yaitu di antaranya: Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947), Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 & Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), Kurikulum 2021 (Kurikulum Merdeka).

Transformasi pergantian kurikulum tersebut tentu saja menjadi sebuah tanda tanya untuk sebagian orang. Mengapa kurikulum terus berganti? Apakah jika kurikulum tidak berjalan dengan maksimal dalam artian kurikulum tersebut gagal diterapkan maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan mengganti dengan kurikulum baru? Apa sebenarnya yang ingin dicapai dengan adanya pergantian kurikulum bilamana di kurikulum sebelumnya masih belum berjalan dengan sempurna? Apakah Kurikulum K-13 sudah berhasil diterapkan sehingga Kurikulum Merdeka diterbitkan? Begitu kira-kira pertanyaan umum yang selalu dilontarkan oleh orang-orang terlebih mereka yang masih awam dengan sistematika dunia pendidikan. Dari sekian banyaknya pergantian kurikulum tersebut, ada beberapa pergantian kurikulum yang menjadi sorotan dari berbagai kalangan, yaitu yang pertama perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 (K-13). Dimana dalam konteks ini tak hanya para peserta didik yang benar-benar harus beradaptasi dengan perubahan yang signifkan dengan contoh sederhana penggunaan Buku Tematik dimana dalam satu buku tersebut mencakup seluruh mata pelajaran yang dulunya setiap mata pelajaran berdiri sendiri dengan pendukung buku panduan masing-masing. Dalam Kurikulum 2013 ini juga semakin menekankan bagaimana keaktifan siswa dalam kelas dimana pendidik sekarang menjadi fasilitator yang mana untuk peserta didik mau tidak mau memang ditekankan untuk lebih mandiri mencari sumber belajar lain dan tidak hanya terpaku pada Buku Tematik saja. Selain itu, pendidik juga ditekankan untuk lebih kreatif, inovatif, dan lebih pandai dalam menyampaikan materi tanpa mengurangi sikap kemandirian dan keaktifan siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Dan yang paling membuat tanda tanya besar bagi sebagian orang, yaitu perubahan dari Kurikulum 2013 (K-13) menjadi Kurikulum 2021 (Kurikulum Merdeka). Mengapa demikian? Padahal menurut pendapat dari beberapa ahli dalam bidang pendidikan, Kurikulum Merdeka ini merupakan kurikulum yang lebih sederhana dan mendalam daripada kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum Merdeka sendiri merupakan kurikulum yang melakukan pendekatan mengalihkan perhatian dari guru ke siswa dan membantu mereka menjadi lebih mandiri dalam belajar dengan memberikan peserta didik lebih banyak kebebasan untuk memilih pelajaran, jadwal, dan pendekatan pembelajaran yang mereka inginkan. Kurikulum Merdeka lebih dari sekadar pendidikan akademik, dimana Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menumbuhkan kreativitas, karakter, dan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Dari pernyataan yang saya jabarkan, terdengar bahwasanya Kurikulum Merdeka sangat membawa dampak positif bagi dunia pendidikan, bukan? Namun kembali ke pertanyaan awal, mengapa perubahan kurikulum ini menjadi pro dan kontra hingga saat ini?

Pro yang ditimbulkan dari Kurikulum Merdeka ini sudah tak asing sepertinya di telinga kita, seperti yang sudah saya tuliskan di atas dengan penonjolan bahwa kurikulum ini mampu menciptakan Merdeka Belajar bagi seluruh elemen yang ada dalam bidang pendidikan. Namun, terjadinya kontra dari peralihan kurikulum ini menghasilkan banyak reaksi dari masyarakat yang tertuang dalam kalimat, "Namanya saja yang Merdeka, tapi realita tidak berhasil memerdekakan." dimana kalimat respon atas apa yang terjadi didasarkan pada ketidakpastian yang ditimbulkan oleh Kurikulum Merdeka karena kebebasan kepada siswa untuk menentukan jalan belajarnya sendiri yang nyatanya menjadikan kurang terstrukturnya dan ketidakpastian pada peserta didik. Penggabungan antara mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi IPAS adalah contohh dari penerapan kurikulum ini yang dipandang aneh oleh kalangan masyarakat serta sangat membebani peserta didik karena mereka harus lebih ekstra dalam proses belajar yang mana mereka harus lebih teliti saat memilah dan memilih mana yang termasuk IPA dan mana yang termasuk IPS. Ini menjadikan pusat fokus siswa dalam mengenyam pembelajaran di kelas menjadi terbagi dan tidak berjalan dengan semestinya. Di samping itu, kesenjangan pendidikan juga semakin parah dimana hal ini masih saja berkaitan dengan iming-iming kebebasan belajar pada peserta didik yang pada akhirnya tidak ada standar yang jelas karena siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu tentu saja tidak memiliki kesempatan yang sama dengan siswa yang terdukung secara finansial oleh keluarganya. Dan hal yang paling menonjol dimana hal ini banyak dijadikan sebagai patokan bahwasanya Kurikulum Merdeka belum berhasil memerdekakan pendidikan Indonesia adalah kurikulum yang sangat membebani guru. Hal ini membebani para tenaga pendidik dikarenakan mereka wajib mempersiapkan cara & taktik pembelajaran yang sinkron dan tetap terstruktur dimana tetap sesuai dengan minat & bakat peserta didik. Hal ini membutuhkan persiapan & tenaga yang ekstra dari pendidik, terutama bagi mereka yang mengajar mata pelajaran yang spesifik.

Masih banyak simpang siur kalimat yang selalu berbunyi, "Kurikulum K-13 saja masih belum sukses dijalankan, kok tiba-tiba langsung dirubah gitu aja ke Kurikulum Merdeka? Seharusnya para petinggi di bidang pendidikan mentuntaskan dan mensukseskan kurikulum sebelumnya dulu, baru kemudian diubah dan diganti bilamana memang sudah berhasil berjalan dengan efektif dan efisien." Perdebatan antara pergantian kurikulum memang belum usai sampai saat ini, masih banyak yang disayangkan mengenai kurikulum sebelumnya yang dalam proses pelaksanaannya pun masih belum seutuhnya berjalan dengan baik. Masih banyak beberapa pihak yang merasa terbebani dengan adanya K-13 karena sifatnya yang menggunakan Buku Tematik yang mana mengharuskan mencari sumber belajar dan mengajar dari berbagai referensi lain dan harus ditelaah, diteliti, dan diolah sebaik mungkin sehingga mampu menjadi dongkrak penunjang penyampaian pembelajaran di kelas bagi tenaga pendidik. Kurikulum K-13 saja masih dalam proses penyempurnaan yang bahkan dapat saya katakan masih jauh dari kata sempurna, akan tetapi sudah dirubah begitu saja menjadi Kurikulum Merdeka.

Menyinggung tentang judul dari opini saya ini yang menekankan dan memang menjadi pertanyaan pribadi bagi saya, apakah memang benar Kurikulum Merdeka sudah berhasil memerdekakan pendidikan di Indonesia? Apakah saya yang statusnya sebagai Mahasiswi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang memang pada dasarnya akan berkecimbung di dunia pendidikan juga turut merasakan ketidakseimbangan Kurikulum Merdeka ini nantinya? Bahkan selama masih menjadi mahasiswa di jurusan ini pun berulang kali saya diwajibkan untuk memberikan opini dan pendapat mengenai Kurikulum Merdeka yang mana sampai pada opini ini pun tetap saya singgung mengenai keefektivan dari diberlakukannya kurikulum baru ini. Dan setelah saya tuangkan segala opini saya dalam kalimat-kalimat ini, dapat saya ambil inti dari semua yang saya nyatakan, yaitu menurut pendapat saya Kurikulum Merdeka yang sekarang ini sedang diberlangsungkan di seluruh instansi pendidikan, nyatanya belum mampu memerdekakan pendidikan di Indonesia. Dilihat dari beberapa Sekolah Dasar yang masih belum terjamah menggunakan Kurikulum Merdeka dan bahkan ada Sekolah Dasar yang sampai menggunakan 2 kurikulum sekaligus, yaitu Kurikulum K-13 untuk kelas rendah dan Kurikulum Merdeka untuk kelas tinggi. Saya begitu memahami bahwasanya pergantian dan perubahan kurikulum memang dilandaskan pada tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, namun besar harapan saya terutama bagi petinggi-petinggi bahkan para menteri yang mana kewajiban dari mereka paling besar adalah pengamatan dan pengawasan berlangsungnya proses belajar dan mengajar di Indonesia, bahwa tuntaskan dan sukseskan terlebih dahulu kurikulum sebelumnya. Selesaikan dengan baik apa yang sudah dimulai sehingga tidak merugikan berbagai pihak, barulah jika hasil sesuai dengan rencana awal maka pergantian kurikulum efektif dilakukan dengan syarat tetap mempertahankan kemakmuran dan kesejahteraan pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun