PROLOG
Aku masih muda, tidak terlalu teruna ketika cinta menyapaku dan menarikku dalam magligainya yang penuh derita dan airmata. Sosok ku yang rapuh, lemah dan tak berdaya menjadi santapan empuknya. Tujuh purnama aku bergumul dalam nestapa, mencoba bangkit dan menemukan kembali cintaku yang pernah hilang.
Ada suatu masa, di mana seorang insan akan menyadari arti mencinta. Mabuk kepayang dengan keindahannya dan menderita karena kekejamannya. Ada berbagai jenis cinta, tapi cinta sejati terlalu sukar untuk di kenali. Dan seringkali kita menyangkah kekaguman sebagai sebentuk cinta suci.
Mayliza Zulkifli, mengajarku apa arti sebuah kasih sayang dan pengorbanan. Dia menuntunku kearah kebahagiaan yang tidak pernah kukecam sebelumnya. Meski hanya sesaat, namun bersamanya…yang sesaat itu lebih bernilai dari puluhan tahun kehidupan yang telah kujalani.
Dalam hati setiap orang pasti ada “Mayliza Zulkifli” yang membangkitkan semangat hidup dengan kecantikannya yang murni, menyejukan bara di hati dengan tutur katanya yang lembut dan membawa kita terbang dalam impian tanpa batas melalui tatapannya yang memukau. Dia adalah perpaduan antara Aprodite dan Athena. Kecantikan dan ilmu pengetahuan. Bijaksana dan toleran. Tidak ada yang tidak mungkin bagi dirinya. Dia menikmati hidup dan menyerahkan diri dalam balutan takdir.
Penampakannya begitu sempurna. Dia di puja para pria dan di kagumi para wanita. Namun tidak sedikit yang menaruh iri akan keberuntunganya. Bahkan kelopak bunga sedap pagi tidak berani terbuka jika dia berdiri di sisinya. Hanya bisa mengintip dan tersipu malu. Oh..bunga sedap pagiku yang malang… andai engkau tahu, betapa Mayliza mengagumimu, tentu kau kan pasrahkan keindahanmu untuk bersaing dengannya.
Setiap yang ada di dunia ini mempunyai rahasianya sendiri. Ada yang terang-terangan membukanya dan memamerkannya di khalayak ramai, ada yang dengan susah payah mencoba menyembunyikannya.
Aku melihat Mayliza sebagai seorang yang ceria, penuh pesona dan selalu gembira. Tidak pernah terbesit di benakku jika pujaan hatiku ini menanggung derita nestapa. Begitu pandai dia menutupi perasaannya, hingga sesaat aku tertipu dan larut dalam kebahagiaan semunya.
Dia yang pandai menyinta, akan merelakan dirinya menderita demi cinta. Bungkam dan terdiam. Menanggung ribuan nestapa tanpa berani membuka suara. Dia yang penuh kasih, akan mengorbankan sejengkal kebahagiaannya demi orang yang di kasihi Tanpa menuntut balas ataupun berani menggugat. Meski cintanya di nodai dan kasih sayangnya di ragui. .
Dan aku, yang bukan termasuk dalam keduanya, hanya bias menatap dengan iri dan terkadang bercampur dengan benci dan sakit hati. Melihat kekasihku teraniaya oleh cinta dan terbelenggu dalam nestapa.
Tujuh purnama di rengutnya wajahnya dari hadapanku. Tujuh purnama aku tergolek lemah menanggung rindu. Setiap ingatan tentangnya menyiksaku dan membuatku merana. Ada masa aku harus berdiri dengan gagah menantang derita. Larut dalam nestapanya. Ada pula saat di mana aku pasrah dan rela terkurung dalam kenangannya. Meringkuk mengenaskan. Bersimpuh dalam doa dan airmata, agar kekasih ku tercinta kembali menyapa. Ada masa ketika aku harus bersahabat dengan kenyataan dengan mengubur kenangan dan harapan.
Next: Ketika Cinta Menyapa ku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H