Pro-kontra penutupan lokalisasi dolly/Jarak, seolah tak menyisakan sorak sorai terhadap mereka. Entah, mereka tidak tahu atau tidak mau tahu atau memang sudah teramat capek dengan harapan-harapan palsu penutupan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini. Mereka adalah anak-anak yang hatinya masih bersih, terkotori oleh lingkungannya tak menjadikan mereka putus harapan, ikut dalam lingkaran setan prostitusi. Mungkin ada sedikit yang terlanjur “terjebak”, namun haqqul yaqin, mereka sebenarnya tidak rela. Mereka bukanlah anak-anak khayali yang saya ciptakan sendiri dalam tulisan ini, namun anak-anak yang hidup secara nyata, tanpa bisa berontak, hanya bisa pasrah karena harus menghadapi kenyataan bahwa, “Ya, aku
terlahir sebagai anak ibu rumah tangga biasa yang kebetulan hidup di sekitar Dolly, anak mucikari, anak penjaja jasa esek-esek, korban human trafficking, pengedar narkoba dan lain-lain”. Dan sekarang ini, saya sedang berhadapan langsung dengan mereka. Sungguh, hati saya teriris, namun mulut harus tetap tersenyum menghadapi keceriaan mereka.
“Hari ini mau belajar apa?”, tanya saya setelah beberapa menit mengamatinya. Anak kelas 4 SD ini tengah asyik membaca pelajaran bersama teman seusianya. Garis matanya tegas, menunjukkan keberanian tersediri yang tak bisa diterjemahkan. Wajahnya yang sedikit hitam memperlihatkan sisi manis yang berbeda dengan orang kebanyakan.
“Apa aja, Kak. Yang penting tidak diajari minum bir”, jawab ia santai sambil melanjutkan membolak-balik halaman buku yang saya yakin dia belum bisa memahaminya dengan baik, karena buku yang ia bawa merupakan buku untuk anak-anak SMP.
Bir? Saya mengingat-ingat benar kapan pertama kali saya paham dengan istilah itu. Meski saya tetap tidak bisa mengingat kapan pertama kali saya mendengar istilah Bir, tapi jawaban sederhana anak ini menyisakan sesak tersendiri. Celetukan mereka beda, canda mereka beda. Sekali lagi, lingkungan dan latar belakang yang berbeda.
Ah, betapa egoisnya orang-orang yang kontra terhadap penutupan tempat ini! Jauh di balik hingar bingar mereka, keasyikan mereka, pajak-pajak yang mereka raup, dalih aman yang mereka seminarkan ke mana-mana, mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadikan anak-anak ini sebagai tumbalnya. Semahal inikah pengorbanan anak-anak terhadap eksistensi lokalisasi ini? Masa depan mereka, kehidupan mereka, sejarah mereka, semuanya dipertaruhkan karena satu alasan: lokalisasi.
Dan, selama demokrasi di Indonesia ini masih berjalan, mayoritas golongan yang mendukung eksistensi Dolly akan tetap dimenangkan. Konsistensi negeri ini terhadap demokrasi menjadikan suara mayoritas berkuasa, uang berkuasa, masa depan anak-anak untuk hidup lebih baik seolah-olah menguap begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H