Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu, keluarga dan komunitas. Tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan rumah sakit optimal, mendorong pemerintah melalui kementerian kesehatan melalui lembaga independen KARS melakukan akreditasi.
Akreditasi merupakan proses pengakuan terhadap peningkatan mutu pelayanan maupun institusi yang diakui secara nasional maupun internasional, setelah memenuhi beberapa standar yang ditentukan. Undang-undang No. 44 tahun 2009 mewajibkan rumah sakit menjalani akreditasi secara berkala setiap 3 tahun. Akreditasi diberlakukan dengan prioritas utama yaitu keamanan dan keselamatan pasien.
Pendataan Desember 2016 terdapat 830 rumah sakit yang terakreditasi KARS dari 2488 rumah sakit (33,3%), sedangkan data terbaru hingga bulan April 2017 sebanyak 929 sudah terakeditasi oleh KARS dengan berbagai status paripurna, utama, madya, dasar dan perdana. Sedangkan jumlah rumah sakit di Indonesia berjumlah 2601, sehingga secara proporsi hanya 31,9%. Secara kuantitas, terjadi peningkatan jumlah rumah sakit di Indonesia dan diikuti peningkatan rumah sakit yang sudah akreditasi versi KARS.
Peningkatan jumlah rumah sakit dan kelulusan akreditasi belum dapat menjamin meningkatnya kualitas pelayan kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Namun, apakah sejalan kuantitas rumah sakit yang telah lulus akreditasi saat ini yang bertambah diikuti bertambahnya kualitas pelayanan kesehatan??
Rumah sakit akan melakukan berbagai upaya agar mendapatkan pengakuan kelulusan akreditasi. Lulus akreditasi menjadi perayaan keberhasilan rumah sakit yang sangat penting, karena akhirnya berpengaruh pada pendapatan berupa materi, peningkatan kerjasama dengan pihak asuransi, presticedan modal untuk bersaing dengan rumah sakit lainnya. Berbagai aspek dibiaskan demi sebuah akreditasi. Proses pelayanan yang bermutu bagi keamanan dan keselamatan pasien dikesampingkan.
Akreditasi tidak dipandang sebagai acuan untuk meningkatkan profesionalitas, tetapi dipandang seperti beban dadakan,perubahan sesaat dan ceremonial yang harus diselesaikan pada waktunya karena janji hadiah besar di depan mata. Semua pihak seakan berada pada panggung sandiwara. Tim kesehatan dengan segala tuntutan pekerjaan rutinitas dan lupa melakukan SOP, akan berubah menjadi ramah dan hafal banyak hal terkait SOP dan lainnya saat tim penilai datang.
Pasien yang biasaya tidak diingatkan untuk mandi pagi/dipastikan minum obat/tidak tau nama perawat/ dokternya, tiba – tiba mendapatkan perhatian ekstra dari petugas kesehatan. Data yang tidak ada, tiba – tiba dibuat menjadi ada lewat pernyataan lisan maupun tulisan. Tidak jarang penyajian tempat, makanan, bahkan bingkisan lainnya tersedia saat hari akreditasi.
Tidak jarang tim pemberi kesehatan (bawahan) merasa seperti kerja paksa, para diktaktor yaitu manajemen dari top-low managerdi dalam rumh sakit mulai menggunakan telunjuk untuk minta pembenahan ini itu. Dalam beberapa waktu, kesemerautan dimana – mana bisa berubah menjadi lebih baik, seperti cerita dongen seorang peri dengan kekuatan tongkat ajaibnya mengubah semua menjadi terlihat indah dan baik dengan waktu sesingkat – singkatnya.
Kewajiban untuk akreditasi terlihat hanyalah sebuah ceremonial. Semua orang dipaksa bekerja keras menjelang hari H akreditasi, dengan cara mengukuti berbagai pelatihan, seminar, pendampingan oleh tim assessor, pembenahan fasilitas dan sarana yang menghabiskan nominal besar dan kegiatan lainnya. Berbagai upaya dilakukan sebelum dan menjelang akreditasi, tetapi setelah kelulusan akreditas apakah ada spirit kerja keras maupun usaha yang sama tetap dilakukan untuk menjadikan pelayanan yang bermutu menjadi budaya bagi keselamatan pasien.
Akankah pelayanan sesuai standar akreditasi tetap dapat dirasakan masyarakat setelah hari H penilaian akreditasi? Masihkan keamanan dan keselamatan pasien masih tetap ada setelah tim penilai dari KARS telah meninggalkan rumah sakit? Hanya masyarakat yang dapat menilainya, dan hanya kita sebagai petugas kesehatan dan jajarannya yang dapat bertanya pada diri kita masing2.
Akreditasi seharusnya menjadi bagian pembelajaran dari tingkat bawah, menengah hingga atasan untuk berproses pembentukan budaya pelayanan kesehatan bermutu dan keselamatan pasien Keberhasilan tujuan akreditasi dipengaruhi oleh kepemimpinan dalam organisasi dan karakter tenaga pemberi jasa pelayanan kesehatan.
Dalam proses pembelajaran, diperlukan waktu yang panjang dan komitmen untuk berubah. Karena tidak ada akhir perubahan yang lebih baik tanpa dimulai dari sebuah awal perubahan secara bersama – sama. Proses akreditasi rumah sakit secara positif diharapakan dapat (1) Meningkatkan komitmen bersama selutuh pemberi jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit untuk bersikap professional, (2) Menciptakan produk pelayanan berfokus pada upaya berkelanjutan, berlandaskan kepuasaan dan keselamatan pasien serta peningkatan mutu pelayanan, (3) Menciptakan prioritas pada lingku patient safety, staff safety dan enviroiment safetydan (4) Membentuk manajemen rumah sakit yang lebih baik berfokus pada kesejahteraan bersama dan iklim organisasi yang kondusif.
Komitmen menjadi modal dasar untuk perubahan. Oleh karena itu, tidak ada keberhasilan tanpa adanya komitmen dan keterlibatan semua orang atau pihak yang terkait. Pemimpin bersama seluruh staf harus duduk bersama dan memiliki paradigma yang sama terhadap tujuan dilakukannya akreditasi, dan menjadikan akreditasi sebagai panduan penuntun membentuk budaya pelayanan kesehatan dengan orientasi peningkatan mutu kepada pasien.
Pembuat kebijakaan yaitu para petinggi yang bertugas mengawal proses akreditasi dan pelaksanaannya (pihak dari KARS) juga seharusnya konsisten dengan komitmen, kejujuran dan ketegasan kepada pemimpin rumah sakit dan jajarannya agar tetap menetapkan keselamatan pasien dan peningkatan mutu sebagai tujuan awal akreditasi bagi rumah sakit di Indonesia.KARS sebagi pihak pengusul dan penilai akreditasi , perlu monitoring dan evaluasi lebih intens kepada rumah sakit dalam pelaksanaan akreditasi
Beberikut direkomenasikan beberapa hal terkait pelaksanaan, monitoring dan evaluasi akreditasi:
Para stakeholder (KARS) berusaha membangun komitmen dan kekonsistenan di awal penetapan kebijakan hingga pengevaluasian secara bersama – sama, jujur dan transparan.
KARS sebagai lembaga independen Kemenkes RI harus memonitoring mutu pelayanan kesehatan pasca akreditasi rumah sakit, secara berkala tidak berhenti saat pernyataan lulus dinyatakan.
Membuat kesepakatan di awal atau sosialisasi kepada di internal rumah sakit tentang tujuan akreditasi sehingga melahirkan komitmen bersama dan kesamaan paradigma
Pelaporan anggaran selama proses akreditasi rumah sakit sebaiknya juga dievaluasi dan ditinjau oleh pihak penilai, agar tidak menjadi celah peluang bisnis lainnya.
Melakukan telusur akreditasi secara mendadak tanpa diketahui pihak rumah sakit, sehingga kualitas mutu pelayanan kepada pasien lebih jelas dan nyata, tanpa persiapan yang terlihat disengaja oleh pihak rumah sakit.
Menambahkan proporsi penilaian terhadap respon pasien lebih besar saat evaluasi pelaksanaan akreditasi
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan jasa yang setiap waktu akan terus dibutuhkan oleh masyarakat. Diperlukan peningkatan mutu pelayanan secara kontiunitas, dan melibatkan setiap bagian dalam rangka membangun mutu pelayanan kesehatan berkualitas sesuai standar nasional maupun internasional demi terciptaan derajat kesehatan optimal dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Akhir kata, penulis mengatakan “Tulis apa yang kamu kerjakan, kerjakan apa yang kamu tulis, semuanya dimulai dari komitmen, kejujuran dan kebersamaan untuk bertanggung jawab mulai dari hal-hal kecil, sehingga kita dipercayakan hal – hal yang besar”
* Mahasiswa Magister Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan Universitas Indonesia
** Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H