Bapak tua ini juga pada pagi hari menjual nasi kuning & kue titipan orang. Biasanya saya tanya-tanya siapa yang buat nasi kuningnya? Bapak ini bilang ibu yang jual di dekat jalan sana juga. Karena tiap pagi suka beli nasi kuning & kue di situ, dan biasanya saya lihat dari jendela jualan nasi kuningnya kadang tidak habis, maka saat beli lagi, saya beri tahulah kepada bapak ini bahwa kemarin nasi kuningnya enak karena mienya pedas, enak turunnya di leher. Biasanya kan tidak pedas. Mungkin bapak ini sampaikan ke ibu yang membuatnya, maka setiap saya beli nasi kuning pasti ada sambalnya. Karena ada sambalnya, biasanya saya beli 2. Dan benar saja nasi kuningnya cepat habis, biasanya gak habis sampai sore, tapi ini setiap pagi sudah habis. Makanya kalau bangun, saya cepat-cepat pergi beli nasi kuning dulu takut tidak kebagian.
Kalau saya datang juga, biasanya bapak ini sudah hafal kalau saya mau beli kue. Jadi biasanya, sebelum kotak kuenya dibuka bapak ini bilang kalau donatnya sudah habis. Soalnya saya memang biasanya beli donat daripada jenis kue yang lainnya.
Teman saya yang lihat kalau saya biasanya beli di situ, bertanya "koq tidak beli di sebelahnya saja, lebih dekat". Saya bilang "mereka kan memiliki sumber penghasilan lain yang tetap, sedangkan bapak itu meski barang dagangannya tidak terlalu lengkap, tapi itu kan sumber penghasilan utamanya selain uang hasil sewa kos. Dan bapak ini hidup sebatang kara, beliau hanya tinggal sama anak-anak kos saja. Beda jauhlah sama kehidupan rumah di sebelahnya".
Kalau membeli sayur juga, biasanya saya tanya teman saya "kamu beli sayur dimana? Koq agak mahal ya?". Teman saya jawab, "saya beli di warung yang banyak jualannya itu. Memangnya kamu biasa beli dimana?". Saya jawab "saya beli yang di depan tempat kamu membeli yang dagangannya kurang meriah dari tempat kamu membeli, di situ agak murah. Lagian saya juga berpikir, tempat kamu membeli itu kan sudah punya kios yang cukup besar, sementara tempat saya membeli kan tidak punya. Saya lihat di tempat kamu membeli itu orangnya sudah kaya (kelihatan dari rumahnya yang bagus), sedangkan di tempat saya membeli hidupnya biasa-biasa saja"
Beda lagi dengan seorang pendeta yang pernah berkhotbah bahwa biasanya kepada penjual sayur pun kira tawar menawar, apa kita tidak berpikir hanya berapa untung yang mereka peroleh dari dagangannya itu? Apalagi kalau memang harganya sudah sesuai dengan harga pasar, kalau ditawar lagi, mana ada untung mereka. Beda dengan penjual barang. Tema khotbah saat itu mengenai kemurahan hati.
Mendengar itu, saya dan sahabat saya saling bertatapan dan cengengesan, saya bisik kepada sahabat saya "lain kali kalau Ali lewat, jangan ditawar sayurnya ya? Hihihihihi". Sahabat saya menjawab "habis Ali biasanya sengaja naikkan harganya karena tahu bahwa akan ditawar lagi, tidak sesuai harga yang seharusnya". Kalau penjual sayur yang lewat-lewat depan kos biasanya sih harganya sudah sesuai, jadi biasanya saya tidak tawar. Tapi kadang penjualnya yang menawarkan sendiri tambah-tambahnya kalau saya rasa kemahalan dan berpikir mau beli atau tidak. Biasanya saya ambil saja kalau ditawari dalam jumlah banyak dengan harga sekian (kalau dihitung-hitung sesuai harga pasarlah) berhubung masih bisa diawetkan dalam kulkas buat besok lagi. Karena bagi penjual sayur, yang penting dagangannya habis apalagi jika sudah menjelang siang.
Pertolongan hendaknya memiliki sasaran yang tepat dan kita tidak perlu menunjukkan kepada seseorang bahwa kita menolongnya dengan pemberian secara langsung ataupun besar, cukup kita hargai saja apa yang menjadi usaha mereka agar mereka merasa dimanusiakan.
Menghargai sesuai kualitas yang kita dapatkan Karena saya orangnya takut banget menyeberang jalan di jalan besar, biasanya saya cari orang yang ingin menyeberang untuk saya ikuti. Wkwkwkwkk. Biasanya juga pakai jasa seorang anak untuk membantu saya menyeberang, kalau saya lagi tidak susah-susah amat, kadang saya kasi lima ribu sampai sepuluh ribu berhubung saya juga jarang keluar-keluar tanpa kepentingan, apalagi kalau hanya untuk jalan-jalan & biasanya saya lebih memilih jalur panjang daripada mau menyeberang, sampai sopir angkotnya tanya "mau turun dimana sih neng?" karena lihat saya gak turun-turun, padahal sudah lewat tapi hanya karena takut menyeberang saya tunggu angkotnya mutar dulu. Ahahahha.
Biasanya sih orang bayarnya jasa pak ogah hanya seribu atau dua ribu rupiah. Tapi untuk ukuran saya, untuk hal yang satu itu tidak sebanding apalagi kalau memang minta tolong. Pernah saat saya habis pulang temani kakak belanja di mall, dan saat kami pulang harus nyeberang dulu buat ambil angkot, saat kakak minta uang saya dua ribu rupiah saja buat bayar jasa pak ogah, saya bilang "tidak ada (meski punya). Pakai uang besar saja kalau tidak punya uang kecil. Orang itu kan bantu menyelamatkan nyawa kita. Masa' harga nyawamu dua ribu rupiah? Orang kerja koq ngasihnya cuma dua ribu? Kita saja anak kuliah ngasihnya tidak begitu". Kakak saya pun cengengesan dan mengeluarkan uangnya.
Paling tidak saya membayar seseorang untuk menghilangkan rasa takut saya. Saya memang tipe orang yang sangat perhitungan. Saya membayangkan bagaimana jika saya ditabrak & tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, atau karena saya takut berlebihan sehingga muncullah penyakit aneh yang tentunya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Memang jumlah yang saya berikan tidak banyak juga tapi itulah kemampuan saya & menurut ukuran mereka, itu banyak. Memberi dengan mempertimbangkan tolak ukur kita & mereka beserta nilai mereka, bukan berdasarkan standar. Ya, wajar jika orang lain membayar sesuai standar karena mungkin tidak setakut saya atau keikhlasannya juga cuma sampai segitu. Ya, tidak apa-apa.
Pertolongan yang terbaik adalah pemberian yang juga sekaligus mengangkat harga diri seseorang yang merasa kurang berharga dengan apa yang mereka lakukan. Karena masih banyak orang susah yang merasa hina dengan hanya menengadahkan tangan sehingga merespon apa yang menjadi usaha mereka merupakan wujud bahwa mereka memang memiliki harga diri.