Belakangan ini mulai marak terjadi kasus bullying terhadap anak-anak yang dilakukan oleh teman-temannya sendiri mulai dari pemukulan sampai si korban meninggal dunia yang tentunya membuat hati orangtuanya sangat terluka & siapapun yang menyaksikannya menjadi geram, termasuk saya sendiri.
Sudut Pandang Orangtua
Saya jadi ingat diskusi kami beberapa bulan lalu ketika sedang persiapan mengajar SM antar guru SM. Kebetulan temanya saat itu “jangan membalas” dimana ceritanya mengenai Yesus yang diolok-olok tapi tidak membalas.
Hanya saja yang selalu menjadi alasan anak-anak mengapa mereka membalas yaitu “dia yang duluan memukul saya” yang menjadi perdebatan yang panjang di antara kami yang rata-rata belum memiliki anak.
Teman-teman saya yang merupakan pengajar yang cukup senior menganjurkan untuk tidak membalas saja & menjadi anak yang sabar. Saya pun menyanggahnya bahwa saya tidak setuju. Mereka pun kaget dengan respon saya bahwa jika memungkinkan untuk menghindar, menghindarlah tapi jika tidak memungkinkan, perlu mengadakan pembelaan diri. Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak baik diajarkan kepada anak-anak.
Saya langsung mengambil contoh yang saat itu masih segar-segarnya yaitu seorang anak meninggal karena dipukuli oleh teman-temannya. Lalu saya menceritakan pengalaman teman saya yang adalah seorang ibu dalam mendidik anaknya dalam mengatasi hal itu, yaitu pengalaman budos Ellen Maringka (baca di sini).
Mendengar cerita saya itu, teman-teman saya masih tetap agak sedikit ragu & tidak setuju. Saya pun mengatakan bahwa anjuran dalam tema minggu ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Nanti kalau kita menjadi orangtua, baru kita tahu bagaimana rasanya ketika anak kita selalu menjadi bulan-bulanan teman-temannya.
Karena mendengar kami berdebat panjang, seorang ibu lewat yang juga rekan kami mengajar SM menanyakan “ada apa ini? Apa yang kalian bahas?”. Teman saya pun menceritakannya.
Si ibu ini diam dalam beberapa waktu, lalu mengatakan “teman-teman, memang benar bahwa pada kenyataannya apa yang kita bicarakan di sini bahwa jangan membalas, harus selalu sabar itu baik tapi tidak sesuai dengan faktanya di lapangan. Jadi, kami biasa orangtua jika anak-anak terus datang mengadu bahwa mereka selalu dipukuli oleh teman-temannya, maka kami hanya bisa menganjurkan “pukul juga kembali”.”
Teman-teman saya pun masih kurang setuju. Lalu ibu ini mengatakan “saya mengerti, karena kalian semua belum ada yang memiliki anak. Nanti kalau kalian sudah punya anak baru kalian tahu bagaimana rasanya menjadi orangtua yang tidak harus selalu mengawasi anak sendiri selama 24 jam. Apalagi baru-baru ada berita seorang anak meninggal karena dipukuli teman-temannya. Saya yakin anak itu sudah sering menjadi bulan-bulanan teman-temannya karena tidak mengadakan perlawanan, sehingga dia selalu dijadikan target kenakalan teman-temannya."
Itu dari sudut pandang orangtua.
Dari Sudut Pandang Seorang Laki-Laki & Konsep Bela Diri
Lain cerita lagi dari sudut pandang ilmu bela diri & dari perspektif seorang laki-laki.
Seperti biasa, jika melihat berita-berita yang membuat saya gemas seperti itu saya biasanya mengajak si doi berdiskusi. Sekedar ingin tahu bagaimana cara dia merespon hal itu. Ya, paling tidak jika seandainya saya berjodoh dengan dia, paling tidak cara mendidik kami tidak saling berbenturan ketika diizinkan memiliki anak. Jika tidak berjodoh, paling tidak saya meminjam sudut pandangnya sebagai bahan pertimbangan.
Jadi, ketika saya bertanya “seandainya kamu punya anak yang bertanya bahwa apa boleh berantem? Kamu akan jawab apa?”.
Setelah diam beberapa lama, dia pun menjawab.
“Saya akan menganjurkan jika memang memiliki peluang untuk menghindar, sedapat mungkin untuk menghindar. Tapi jika sudah berusaha untuk menghindar, tapi situasinya memang sangat terdesak, ya apa boleh buat silahkan adakan perlawanan. Tapi setelah itu, jika kamu yang menang, kamu harus mau membantu temanmu untuk bangkit, kalau bisa obati lukanya & katakan bahwa kamu tidak suka diperlakukan seperti itu & minta maaf agar temanmu belajar bahwa tidak baik mengganggu orang lain."
Entah mengapa, saya langsung sepakat dengannya. Katanya, itu salah satu konsep dari ilmu bela diri. Saya baru tahu kalau dia pernah ikut perlombaan bela diri mewakili sekolah dulu. Dia mengatakan bahwa ilmu bela diri memang lebih menganjurkan untuk menghindar daripada berkelahi. Jurus-jurus bela diri baru bisa dikeluarkan ketika memang sudah sangat terdesak.
Mulai saat itu juga, saya diajari bagaimana teknik-teknik membela diri dalam menghadapi penjahat dalam keadaan terdesak, termasuk benda-benda apa yang harus selalu saya bawa sebagai perempuan. Ahahahah.
Jadi, saya cukup mengerti ketika anak SM saya yang berjenis kelamin perempuan yang sudah sabuk biru lebih memilih melapor kepada saya ketika dipukuli oleh teman laki-lakinya daripada membalasnya.
Jadi, saya akan menasehati anak perempuan ini agar jangan mau cari perkara sama teman yang memukulnya berhubung saya tahu anak SM saya ini cukup cerewet. Sedangkan teman laki-lakinya ini tak suka banyak bicara tapi langsung mengadakan aksi jika diganggu. Lalu saya menasehati anak laki-laki ini bahwa sama sekali tidak keren memukul seorang perempuan, itu bukan sikap seorang laki-laki ksatria.
Dari Sudut Pandang Seorang Anak
Tentu ini akan memakai sudut pandang saya saat masih kecil. Jika di sekolah saya diganggu oleh teman laki-laki lalu saya melapor kepada guru bahkan orang rumah tapi tidak digubris, jadi mau tidak mau sayalah yang harus membela diri saya sendiri. Tentu jika itu sudah berulang-ulang kali dilakukan.
Percayalah, kadang guru memiliki banyak kesibukan untuk memperhatikan hal-hal seperti itu (meski tidak semua guru). Nanti kasusnya parah baru terkaget-kaget.
Orangtua saya memang mendidiknya agak cukup keras & tidak suka membela anak. Jadi, ketika seorang teman saya dulu suka menghina atau mengganggu saya, maka saya akan atasi sendiri.
Saya ingat, waktu itu teman kelas laki-laki saya di SD suka mempermalukan saya di depan teman-teman ketika sedang belajar saat tak ada guru dengan mengatakan “koq rumahmu modelnya seperti itu?” sambil tertawa ketika rumah saya dirombak untuk dibangun rumah baru, dimana separuh bangunan lama digeser ke depan untuk kami tempati tinggal.
Dan hampir setiap hari dia mengolok-olok sambil menertawai saya dengan cara itu yang membuat teman-teman saya menoleh ke arah saya setiap dia melakukannya.
Sebal karena selalu diolok. Saat suasana kelas hening karena murid sibuk mengerjakan tugas, saya pun mengatakan kepada teman saya yang suka mengejek saya itu dengan mengatakan “Eh, kemarin saya lihat mobil penggilinganmu lewat, seperti sudah mau terhambur kalau lagi jalan” yang membuat anak-anak dalam kelas tertawa terbahak-bahak. Wkwkkwkwk. Mulai saat itu dia tidak pernah menghina-hina saya lagi. Ahahaha.
Rata-rata teman berantem saya saat kecil itu laki-laki. Jadi, ketika mereka mengganggu saya, saya akan mengambil sapu & memukulnya. Mungkin itu kebiasaan dari rumah dimana semua saudara saya laki-laki, dimana kekuatan saya sebagai perempuan tidak bisa mengalahkannya tanpa bantuan senjata. Ahhahha.
Meskipun saat kecil, saya termasuk anak yang kelihatan kalem & cukup berprestasi di sekolah & Sekolah Minggu, tapi kalau saya diganggu berulang-ulang kali, saya akan berubah menjadi anarkis karena saya tahu guru maupun orangtua tidak cukup peduli dengan masalah saya.
Jadi, ketika teman saya memiliki kebiasaan mengambil air cucian tangan guru dengan kedua tangannya saat sekolah usai lalu menyiram saya & saya bosan diperlakukan seperti itu hampir setiap jadwal saya piket, maka saya malah akan mengambil satu ember air itu untuk menyiramnya, sehingga ia berhenti untuk memperlakukan saya seperti itu lagi.
Jangankan itu, teman-teman saya yang perempuan saja, saya tidak tahu apa salah saya sampai saya tidak ditemani & mereka membuat kelompok geng (sekitar 5 orang) untuk membully saya (mungkin karena saya dulu bukan termasuk anak orang kaya).
Salah satu di antara mereka adalah teman duduk saya, dimana saya tidak suka ketika kelas berlangsung, dia dekat-dekat dengan saya (karena saat itu saya memang cukup pintar) tetapi saat keluar main, saya ditinggalinya.
Sekian lama saya sabar, akhirnya saat keluar main & akan masuk untuk mata pelajaran selanjutnya, saya memukul meja & menyuruhnya pindah dari tempat duduk saya, saya mengatakan kalau saya tidak butuh teman seperti itu.
Dia pun kaget & akhirnya pindah di bangku bagian depan. Lalu saya memanggil teman yang kurang pandai untuk menemani saya duduk. Seingat saya, teman-teman saya yang bergeng itu cukup tidak disukai oleh teman laki-laki karena jutek.
Setiap pulang sekolah, mereka akan mengolok-olok saya, biasanya saya dan teman duduk saya akan kembali membalas mengolok dengan gaya pantat bebek ketika jaraknya sudah cukup jauh lalu kami berlari & mereka mengejar kami. Wkwkwkwk
Dan akhirnya saat itu saya berteman dengan teman-teman yang tidak populer (dalam hal penampilan ataupun kepintaran) yang kadang juga menjadi sasaran bully. Dan pada akhirnya, entah angin apa yang menimpa para pembully saya itu, akhirnya mereka datang sendiri meminta maaf kepada saya sambil memeluk saya. So sweet. Ahhaaha
Sehingga ketika kami bertemu & bernostalgia mengenai itu, kami akan tertawa terbahak-bahak. Ahahaha.
Saat SMP, saya termasuk siswa yang cukup aktif dengan kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga saya kadang mengabaikan pekerjaan rumah yang mengakibatkan saya selalu mendapat pukulan rotan dari mama sehingga kadang saya tidak masuk sekolah karena malu betis saya bengkak kebiru-biruan.
Jadi, kadang rotan itu saya buang di tempat sampah, lebih baik saya dipukul dengan menggunakan sapu daripada rotan itu, karena sakit sekali & meninggalkan bekas yang cukup memprihatinkan. Tapi sayangnya, selalu didapat lagi sama mama. Ahahaha.
Akhirnya, saat pulang sekolah, dimana pakaian saya belum saya cuci yang membuat mama marah & akhirnya memukul saya. Dimana untuk pertama kalinya saya melawan dengan menarik & merampas rotan itu dari tangan mama lalu membuangnya ke lantai yang membuat mama kaget.
Lalu saya mengatakan sambil menangis “saya tidak pernah membuat keluarga malu di luar sana, kenapa saya selalu diperlakukan seperti itu, seolah-olah saya sudah melakukan kesalahan yang besar sekali? Saya bukan anak kecil lagi!”. Mulai saat itu mama sudah tidak pernah memukul saya lagi. Hihihihi.
Well, orangtua tidak selamanya benar. Kadang, pembullyan juga dilakukan oleh orangtua sendiri tanpa disadari yang berdampak buruk pada anak karena kurangnya pengetahuan.
Memang tindakan saya saat itu memang nampak tidak baik, tapi saya bersyukur karena saya melakukannya. Paling tidak, dari pengalaman saya itu, saya tahu bahwa mendidik tidak harus selalu dengan menggunakan kekerasan, mengingat karakter setiap anak memang berbeda-beda. Ada yang rajin dalam suatu hal & ada yang malas dalam hal itu tapi rajin dalam hal lain, sebab tak semua orang diciptakan untuk baik dalam semua hal agar bisa saling melengkapi.
Sehingga ketika mengajar, saya memang nyaris tak pernah marah tapi lebih cenderung kreatif untuk mengalihkan perhatian anak & sabar menjelaskan mengapa sesuatu hal tidak baik & apa dampaknya daripada marah, meski kadang marah juga dibutuhkan dalam konteks yang fatal. Karena seringnya marah akan hal-hal sepele akan membuat marah itu kehilangan wibawa & tidak bermakna sama sekali.
Dengan begitu juga, saya tidak memilki kepahitan terhadap orangtua saya. Kadangkala seorang anak mengalami kepahitan & trauma sepanjang hidupnya karena masalah masa kecilnya yang tidak terselesaikan. Yang bahkan orangtua & dia sendiri pun tidak mampu mengatasinya saat itu.
Belum lagi, saat SMA, teman-teman memang belum pernah sama sekali melihat saya marah. Jadi, ketika saat itu saya jengkel karena saat keluar main seorang teman saya membawa gunting saya keluar kelas tanpa izin sementara saya akan menaruh lambang yang baru saya beli di baju seragam baru saya karena tidak lama lagi guru akan masuk dimana setiap sebelum pelajaran dimulai atribut akan diperiksa, yang tidak lengkap akan disuruh keluar.
Saya benar-benar marah besar yang membuat semua teman-teman saya diam menyaksikan saya dengan wajah yang seperti tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mungkin mereka kaget mengetahui ternyata saya bisa marah juga. Ahahaha.
Sehingga salah satu di antara mereka mengatakan “baru kali ini saya melihat Meyliska marah” ketika suasana sudah mulai kembali santai. Mulai saat itu teman-teman saya akan selalu meminta izin untuk memakai barang saya. Ahhaahaha.
Bahkan kasus pelecehan yang pernah hampir menimpa saya saat SMA, tepatnya di belakang kelas saat saya akan menuju ke kantin oleh teman kelas saya sendiri. Sehingga saya menghantamnya, meskipun begitu dia tertawa saja tanpa rasa bersalah. Lalu saya meninggalkannya.
Dan akhirnya, saat dia masuk ke dalam kelas saya memakinya dengan apa yang baru saja akan diperbuatnya kepada saya yang membuatnya malu karena dilihati oleh semua teman kelas dengan mata sinis & geleng-geleng kepala. Sejak saat itu dia tidak berani mengganggu saya lagi.
Biasanya, seorang perempuan tidak berani mengungkapkan hal itu kepada siapapun karena malu. Tapi bagi saya, saya harus melakukannya agar dia jera.
Bisa dibayangkan jika dia melakukan itu pada perempuan lain yang lemah bahkan ke tingkat yang lebih ekstrim karena menganggap bahwa perempuan itu lemah & tidak kuasa untuk membela dirinya sendiri. Sehingga memang perlu disadarkan bahwa perbuatan itu cukup memalukan & perempuan tidak selemah yang dia pikir.
Meski begitu, saya tidak pernah menceritakan hal-hal konyol apa yang sudah saya buat di luar kepada keluarga apalagi orangtua saya. Cukuplah mereka tahu bahwa saya baik-baik saja & memang tidak memerlukan pembelaan, karena memang toh tidak akan dibela. Wkwkkwkwk.
Hanya saja, waktu saya diputus sama pacar pertama saya lalu saya dihina dina, mama saya tidak terima sampai mama mau maki-maki mantan saya itu. Tapi saat itu saya larang & saya berinisiatif dalam hati bahwa suatu saat jika saya memiliki masalah dengan orang lain, apakah dengan pacar atau siapa pun, mama tidak boleh tahu, bawaannya bisa lebay, padahal saya woles saja. Wkwkwwk
____________________
Orangtua saya memang tidak pernah mengajari saya mengenai pembelaan diri, tapi itu berawal ketika SD tak ada yang mau cukup peduli dengan masalah yang cukup berarti buat saya yang membuat saya harus mengatasinya sendiri.
Kadang, dalam hidup ini, prinsip “situ jual, sini beli” juga sangat diperlukan dalam situasi yang terdesak dengan tujuan menyadarkan seseorang.
Kita memang bisa saja sabar, tapi itu berarti kita memberi kesempatan kepada seseorang untuk meningkatkan kemampuannya menjadi orang yang tidak berperasaan dengan tindakan yang levelnya bisa naik menjadi lebih fatal karena ia menganggap bahwa apa yang dia lakukan itu suatu kewajaran karena tak mendapatkan protes ataupun perlawanan padahal sangat tidak layak dilakukan.
Maka ketika saya sudah berusia dewasa saat ini, ketika dua orang senior di kos selalu mempermalukan saya di depan umum dimana saya tidak pernah mengganggunya, tetapi mereka masih tetap melakukannya meski sudah berkali-kali saya sampaikan dengan baik-baik, maka saya mengambil inisiatif untuk mengupdatekannya status.
Tujuan saya agar dia tersinggung ternyata berhasil, meski dengan konsekuensi saya tidak diomongi tetapi di sisi lain, mereka sudah berhenti memperlakukan saya seenaknya. Sehingga mereka malu sendiri ketika saya masih tetap berbuat baik kepada mereka & akhirnya agak segan terhadap saya.
Hhhmmppp, orang yang pernah lihat saya di dunia nyata, pasti tidak akan percaya bahwa aslinya saya seperti itu. Ahahaha. Soalnya saya nampak feminin, suaranya lembut sekali, pokoknya cewek banget. Tapi kalau bosan diganggu, bisa jadi jantan. Wkwkwkwk. Meski begitu, saya tidak pernah menyimpan dendam terhadap orang yang bermasalah dengan saya &masih dapat bersikap sewajarnya.
Mungkin memang itu sudah menjadi karakter saya karena memiliki saudara yang adalah laki-laki semua. Yang menjadi pertanyaan, kenapa saya bisa menjadi seorang perempuan yang begitu feminine di tengah gerombolan saudara laki-laki?
Itu karena kakak kedua saya memang mendidik saya menjadi seorang perempuan sejak kecil. Bayangkan, jika ingin pergi ke ibadah saja, dia akan memprotes kalau saya pakai celana, harus pakai rok. Kalau dibonceng, harus duduk perempuan. Belum lagi, waktu kecil, dia yang menemani saya bermain permainan perempuan seperti bongkar pasang, loncat tali & dende’. Untungnya dia tidak menjadi perempuan. Ahahaha. Tapi kesabarannya, perempuan bingiittzz. Tapi kalau habis kesabarannya, bisa kayak saya. Wkwkwkwk.
"Dan akhirnya, menciptakan perdamaian dengan semua orang haruslah selalu menjadi prioritas dengan tidak suka mengganggu hidup atau mencampuri urusan orang lain, tetapi jika sudah terdesak prinsip “musuh tak kucari, tapi kalau ia datang, tak kan kuberlari” sangat dibutuhkan, tentu dengan tujuan kebaikan hidup & kedamaian yang lebih bersifat permanen"
Orang yang sangat boleh melawan ketidakadilan & ketidakbenaran adalah orang yang tidak cukup kuat dalam menyimpan dendam tetapi cukup yakin dengan apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar daripada mempertahankan nama baik yang tidak memperbaiki keadaan atau memilih diam tanpa menyelesaikan masalah.
Sebab di balik sebuah tindakan ada tanggungjawab yang besar sebagai bagian dari konsekuensi, yang tentunya juga memerlukan keberanian untuk mengatasinya agar masalahnya benar-benar selesai.
Sebab bagi saya, diam itu tak selamanya emas. Kadang kita lebih menemukan berlian dalam ketepatan sikap terhadap masalah tertentu.
Dan akhir kata, biarlah Tuhan yang menilai sikap hati kita saat melakukan itu apakah memang berniat baik atau tidak. Saya pikir, Tuhan lebih bijak & adil dalam menilai itu daripada seorang manusia yang terlalu naif menjalani hidup. Karena Tuhan melihat hati, bukan nama baik.
Salam edukasi.
Sumber gambar: micheleborba.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H