Tradisi, adat dan budaya di Indonesia berkaitan erat dengan ikatan manusia, alam dan Sang Pencipta. Kepercayaan dapat menghasilkan sebuah ritual khusus yang terjaga dalam tradisi sebuah daerah.Â
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki sebuah tradisi atau adat istiadat turun temurun dari nenek moyang mereka sesuai dengan kepercayaan masing-masing daerah. Begitu halnya dengan tradisi atau kesenian dari daerah di Lereng Gunung Merbabu dan Merapi ini.
Kesenian Gedruk atau lebih dikenal dengan Tari Rampak Buto berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Kesenian ini kemudian berkembang ke daerah sekitar Magelang seperti Boyolali, Sleman, hingga Yogyakarta.Â
Tari Rampak Buto ini memiliki ciri khas yaitu mengenakan topeng berwajah raksasa yang menyeramkan atau di daerah Jawa biasanya dikenal dengan Buto. Buto ini merupakan ikon dari raksasa yang mendiami lereng Gunung Merapi.Â
Warga di daerah Magelang percaya bahwa kerusakan alam yang disebabkan oleh ulah manusia akan menyebabkan raksasa marah. Kemarahan dari raksasa tersebut digambarkan pada topeng yang dipakai oleh penari yang memiliki raut muka menyeramkan. Lahirnya kesenian Tari Rampak Buto ini sebagai bentuk peringatan kepada warga untuk selalu menjaga kelestarian alam ini.
Kesenian Gedruk atau Tari Rampak Buto ini merupakan sebuah pertunjukan seni tari tradisional yang berbentuk komposisi tari kelompok. Gedrug, secara estimologis memiliki arti hentakan kaki. Kata rampak memiliki arti rapi, teratur, dan selaras. Sedangkan Buto merupakan representasi dari kala, yaitu ragam hias wajah yang merepresentasikan wajah raksasa.Â
Terlihat dari nama tariannya saja sudah menunjukkan gerakan tarian ini yaitu dengan menghentakkan kaki bersama sama sebagai gambaran dari raksasa. Tarian ini diiringi dengan musik gamelan jawa seperti halnya Tari Kuda Lumping atau Jaran Kepang. Tarian ini biasanya dipertunjukkan dengan arak-arakan atau pada panggung pertunjukan.
Tari Rampak Buto dibawakan dengan menggunakan kostum sayak atau krembyah-krembyah, selendang, dan beberapa aksesoris. Untuk topengnya sendiri terbuat dari kayu yang didesain menyeramkan dengan mata tajam melotot, gigi taring yang mencuat keluar, serta rambut topengnya yang dibuat dari benang wol dengan warna yang beragam.Â
Selain itu, pada kaki para pemain dipasangkan puluhan lonceng yang beratnya sekitar 5-8 kilogram pada setiap kaki. Tak heran jika tarian ini biasanya dibawakan oleh kalangan laki-laki dikarenakan kostum yang terbilang cukup berat serta gerakan tariannya yang lincah dan penuh stamina agar tampak seperti buto atau raksasa.
Tari Rampak Buto berdurasi sekitar 30-45 menit. Sebelum pertunjukkan berlangsung, para sesepuh akan melakukan ritual dengan mendatangi tempat tempat yang dinilai sacral oleh masyarakat setempat. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk meminta izin kepada roh-roh para leluhur mereka.Â
Selain itu, terdapat juga ritual dengan sesajen. Sesajen yang umumnya digunakan terdiri dari bunga mawar, bubur merah, dupa, dan rokok. Tarian ini termasuk tarian spiritual karena melibatkan roh-roh para leluhur yang akan merasuki para penari agar kelincahannya tampak seperti raksasa.
Berkat keunikannya, Tari Rampak Buto memiliki daya tarik sendiri untuk memikat penonton. Selain sebagai hiburan, tarian ini juga sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian masyarakat kepada alam semesta. Oleh karena itu, mari kita sama-sama saling menjaga kelestarian alam kita dan juga melestarikan budaya daerah kita agar selalu terjaga keasriannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H