Haii pembaca setia kompasiana, kali ini kita sharing soal budaya cancele culture yang ada di korea selatan. For your information aku salah seorang fans idol k-pop dan juga penikmat k-drama hehehe. Kenapa bahas calceled culture kak? Menurutku ini pembahasan yang menarik, mari kita bahas. Sebelumnya temen-temen udah tau belum nih budaya tersebut? Keknya di indo kurang hype ya? Jadi budaya cancel culture sendiri itu merupakan praktik atau kegiatan yang dilakukan di media sosial untuk memboikot seseorang, merek, acara, atau film yang dianggap berperilaku ofensif atau tidak menyenangkan.
Kenapa budaya tersebut lebih menonjol di korea daripada Indonesia? Menurut pendapat saya pribadi ya, karena ekspektasi publik yang tinggi, jadi standar aktor atau aktris di korea juga tinggi dan diharap aktris dan aktor di Korea memiliki citra sempurna, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi, dan citranya pun dijaga ketat oleh agensi masing-masing, makanya sampai ada istilah "buatan agensi". Contohnya seperti, komentar lama yang kontroversial, perilaku buruk di masa sekolah (bullying), hal tersebut sering kali memicu cancel culture. Skandal perselingkuhan juga dianggap sangat serius dan dapat menghancurkan karier mereka.
Kalau di Indonesia masyarakat cenderung lebih toleran terhadap kesalahan, masyarakat Indonesia memiliki standar moral yang tinggi, tetapi penerapannya cenderung lebih fleksibel dibandingkan Korea. Kasus seperti perceraian atau perselingkuhan, sering mendapat perhatian besar, tetapi pelaku bisa kembali ke dunia hiburan setelah menunjukkan klarifikasi dan permintaan maaf atau waktu berlalu. Pelanggaran hukum (misalnya, narkoba) lebih sering mendapatkan reaksi cancel culture, tetapi biasanya dampaknya lebih singkat dibandingkan di Korea. Sekali lagi ini menurut penulis pribadi ya.
Dari budaya tersebut berdampak baik gak sih? Menurutku itu juga berdampak baik karena bisa menyaring perbuatan buruk, tokoh yang sering menunjukkan perilaku merugikan, seperti menyebarkan ujaran kebencian atau melakukan pelecehan, mereka dapat kehilangan dukungan melalui cancel culture dan juga ini dapat menciptakan standar yang lebih tinggi untuk perilaku di ruang publik. Meskipun memiliki dampak positif, cancel culture harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari efek negatif seperti cyberbullying, penyebaran informasi yang salah, atau penghukuman tanpa proses yang adil. Jika digunakan dengan penuh kesadaran, cancel culture bisa menjadi alat yang ampuh untuk mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Menurut kalian gimana nih teman-teman? Bisa beri tanggapan atau saran positif di kolom komentar ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H