Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Kesatuan Republik Indonesia. Menurut pendapat Rondinelli (2000).
 Daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan pemberian bagi hasil penerimaan serta bantuan keuangan atau dikenal dengan dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari beberapa sumber, yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan pendapatan dari sumber-sumber di dalam wilayah suatu daerah tertentu, yang dipungut berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.Â
2. Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing). Bagi hasil penerimaan negara meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dan bahi hasil sumber daya alam yang dapat berupa sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, serta perikanan.Â
3. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang dialokasikan pemerintah pusat kepada setiap daerah otonom di Indonesia setiap tahunnya yang digunakan sebagai dana pembangunan yang merupakan salah satu komponen belanja pada APBD dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD.
4. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, seperti kebutuhan di Kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, Pembangunan jalan di Kawasan terpencill, saluran irigasi dan drainase primer, serta kebutuhan komitmen/prioritas nasional.
 Desentralisasi, diharapkan mampu memberikan peluang bagi terciptanya pemerintahan yang baik, seperti meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan berbagai keputusan politik; membantu kapasitas rakyat yang masih dalam taraf berkembang, dan memperluas tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas. Arah hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ke depan telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu alokasi sumber daya nasional yang efisien dan efektif melalui hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan upaya untuk penguatan akuntabilitas dan harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah.
 Selama masa otonomi daerah, hasil analisis menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah Kabupaten Jember terhadap pemerintah pusat sangat tinggi yang ditunjukkan dari rasio kemandirian fiskal yang rendah kurang dari 25% yaitu berkisar antara 5,16% - 10,95%. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) yang diterimapun juga sangat sedikit dibandingkan dengan total pendapatan daerah (TPD) yang berkisar antara 5% - 11,57%. Rasio sumbangan pemerintah pusat terhadap TPD sangat tinggi di tahun 2011 masih sebesar 77,45%. Kebutuhan fiskal Kabupaten Jember semakin kecil, IPP tahun 2001 sebesar 442,48 dan di tahun 2011 menurun menjadi 215,92.Â
 Peningkatan kapasitas perpajakan tidak dibarengi dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bahkan hanya 10% PAD yang mampu memberikan kontribusi terhadap total pendapatan daerah. Angka ini menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah yang dimiliki Kabupaten Jember belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga kemampuan daerah dalam membiayai seluruh belanja daerah masih sangat rendah. Pertumbuhan ekonomi berdasarkan nilai rupiah di Kabupaten Jember mengalami pertumbuhan hingga mencapai 9,10% di tahun 2011.
 Kabupaten Jember merupakan pusat pertumbuhan sosial ekonomi , telah berkembang menjadi berbagai kota besar, merupakan pusat pelayanan khususnya pelayanan pemerintahan ditinjau dari segi ekonomi dan demografi, serta merupakan pusat kegiatan perekonomian atau aglomerasi merupakan pusat konsentrasi dan mempunyai potensi pasar yang kuat terhadap hasil produksi khususnya bahan baku dari sektor pertanian.
 Peran PAD masih sangat kecil dan dampaknya terhadap pendapatan Kabupaten Jember secara keseluruhan juga sangat kecil. Mengingat pendapatan per kapita Kabupaten Jember, maka jumlah total pendapatan menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Pada tahun 2000, Kabupaten Jember mempunyai jumlah penduduk sebanyak 2.187.657 jiwa dan pendapatan per kapita sebesar Rp. 3.050.590,00, dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebanyak 2.320.844 jiwa dan pendapatan per kapita sebesar Rp. 5.798.232,9.
 Desentralisasi di Kabupaten Jember, seperti di daerah lain di Indonesia, merupakan proses penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur dan mengurus urusannya sendiri, demi mencapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.Â
Desentralisasi di Kabupaten Jember telah memberikan beberapa dampak positif, antara lain meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintahan daerah. Serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H