Babak baru Sengketa Wilayah Laut Cina SelatanÂ
Agustus 2023 Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Cina) kembali memanaskan suhu politik dunia dengan revisi peta maritim ten dash Line berupa garis putus-putus yang mendekati perairan Natuna utara, Indonesia. Jika mengacu pada Hukum internasional Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The Sea), klaim Cina ini tidak mendasar karena telah memasuki zona bebas internasional dan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) negara lain yang telah disepakati secara international pada tahun 1982.
Indonesia telah menyatakan diri sebagai non-claimant states, atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan dan menyatakan diri sebagai negara cinta damai. Namun kenyataan lapangan memaksa Indonesia tidak dapat berdiam diri karena intervensi Cina telah terjadi di wilayah ZEE Indonesia akibat dari klaim peta Cina tersebut. Seperti pengusiran nelayan lokal, pengambilan ikan oleh kapal Cina di wilayah yurisdiksi Indonesia serta permintaan Cina untuk menghentikan pengeboran migas pada tahun 2021 yang mendapat respon keras dan nota penolakan dari Indonesia.
Awal mulai klaim Cina ini didasarkan pada peta kejayaan Angkatan laut Cina saat berhasil menguasai eleven dash line (11 garis putus-putus) dalam perang melawan Jepang pada masa Perang Dunia II yang dipimpin Partai Kuomintang. Namun saat berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, pemerintah komunis mengklaim sebagai pewaris wilayah maritime tersebut, yang mencakup wilayah sengketa Taiwan dan Vietnam. Hingga pada tahun 1950, pemerintah Cina merubah peta lokalnya menjadi Nine dash line (9 garis putus-putus) dengan klaim kepemilikan hampir 90% wilayah perairan di Laut Cina Selatan atau seluas 2 juta km2.Â
Peta lokal ini tidak menjadi perdebatan selama beberapa decade, bahkan Cina ikut meratifikasi UNCLOS pada tahun 1996. Klaim ini kembali terdengar saat pemerintahan Cina berada di bawah Xi Jin Ping,  pada tahun 2009 mendaftarkan klaim laut tersebut ke PBB namun direspon penolakan  beberapa negara yang terdampak khususnya ASEAN yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam yang mengacu pada ZEE UNCLOS 1982.
Arogansi Cina dalam menetapkan wilayah ini tidak lain karena pemerintahan negara komunis dibawah Xi Jin Ping itu sudah memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat kuat akan kemampuan militer dan ekonominya. Dunia memang harus mengakui bagaimana Xi Jin Ping sukses membawa perkembangan Cina dalam beragam kemajuan terutama ekonomi, teknologi dan militer sehingga kini Cina diakui sebagai salah satu negara adidaya yang bahkan membuat gusar Amerika Serikat dan sekutunya karena Cina "tidak tunduk" pada AS serta mengganggu hegemoni barat pada jalur perdagangan dunia.
Indonesia di Pusara Konflik Laut Cina Selatan (ten dash line)Â
Perihal peta Cina menjadi 10 garis putus-putus di penghujung 2023, bertepatan dengan akhir kepemimpinan tahunan Indonesia sebagai ketua ASEAN, dimana selama kepemimpinannya secara aktif menawarkan solusi damai di wilayah Laut Cina Selatan. Bahkan sempat mendapatkan angin segar dari Cina dengan terselenggaranya pertemuaan ASEAN-Cina pada Maret 2023 sebagai pemenuhan Declaration of Conduct  yang  telah lama disepakati namun masih mangkrak dalam menelurkan Code of Conduct (CoC) atau kode Etik di Laut Cina Selatan.  Beberapa pertemuan lanjutan terus diupayakan Indonesia demi percepatan kesepakatan CoC yang mendapat respon baik dari semua negara ASEAN termasuk Cina.
Tercatat dalam forum global manapun, kebijakan diplomasi politik Indonesia cukup mendapat respon positif dan dianggap mampu menjaga hawa politik pada 'kondisi baik-baik saja' dengan tidak memihak pada salah satu kekuatan yang bersiteru. Indonesia mampu konsisten dengan politik bebas aktif dan non-blok serta berperan aktif dalam upaya perdamaian dalam prinsip non intervensi, kemerdekaan dan perdamaian regional. Termasuk dalam kepemimpinannya di ASEAN, melalui jalur diplomasi, Indonesia memposisikan diri sebagai delegator persahabatan bagi 3 pilar bidang ekonomi, politik dan keamanan sesuai tujuan ASEAN dalam piagam PBB "Mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional melalui pematuhan penghormatan pada keadilan dan peraturan hukum yang brelaku pada hubungan antar negara di kawasan dan ketaatan pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam piagam PBB".
Konsistensi Indonesia untuk menempuh jalur diplomasi dalam menjaga stabilitas, perdamaian, dan keamanan di wilayah maritim Indonesia serta sekitarnya mencakup berbagai aspek, termasuk hubungan dengan negara tetangga, partisipasi dalam organisasi internasional, dan penegakan hukum di laut. Indonesia percaya ketidakmampuan negara membangun kerjasama diplomatik dapat meningkatkan risiko ketegangan di wilayah perairan bersama. Hal ini menjadi komitmen negara termasuk menanggapi konflik geopolitik Cina di Laut Cina Selatan. Dan hingga pada akhir masa kepemimpinan tahunan Indonesia di ASEAN pada Desember 2023, Indonesia tetap berkomitmen untuk berkontribusi aktif demi terciptanya kesepakatan diplomasi terbaik bagi semua pihak, selama para pihak yang bersengketa masih mau melanjutkan CoC.Â
 Sikap Cina yang menerima wacana CoC namun disisi lain justru mendeklarasikan peta perluasan lokalnya menunjukkan bagaimana rapuhnya kepatuhan perjanjian batas negara jika berhadapan dengan negara yang menggangap dirinya telah memiliki kekuatan. Slogan stronger is the winner seakan memberikan privillege bagi negara adidaya untuk bebas bermanuver pada batas wilayah negara lain demi kepentingan nasionalnya karena negara lain tersebut dianggap lebih lemah dan tak mampu melawan.
Laut adalah sarana transportasi utama dan terbukti bahwa sea power masih berlaku dimana kekayaan maritime yang besar dan wilayah strategis perdagangan menjadi salah satu alasan kuat bagi setiap negara untuk mempertahankan wilayah yang potensial. Terdapat empat wilayah perairan dunia yang ramai yakni Samudra Hindia, Samudra Pasifik, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sesuai teori sea power AT Mahan, bahwa negara yang mampu menguasai laut maka dapat menguasai ekonomi dunia yang secara tidak langsung mampu menguasai dunia. Hasrat penguasaan laut ini termasuk mengapa Cina begitu teguh untuk dapat memenangkan sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.
Tantangan Kedaulatan Nasional Indonesia
Indonesia sendiri adalah negara kepulauan terbesar dunia (archipelagic state) yang secara geografis memiliki modal kuat sebagai negara berkekuatan maritim. Sungguh disayangkan bahwa Indonesia selama ini kurang memanfaatkan potensi maritimnya karena terus terpusat pada industri daratan, bahkan hal ini berlangsung sejak zaman colonial Belanda hingga pemerintahan reformasi.Â
Keterlambatan Indonesia menyadari peluang potensi maritime justru menjadi keuntungan bagi negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand bahkan Filipina yang telah lebih dulu mengambil keutungan ekonomi dengan berperan menjadi simpul perdagangan dunia (international hub) maupun sebagai pusat indutri maritime di wilayah ASEAN.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia visi Poros Maritim Dunia (PMD) diharapkan menjadi pencerahan awal kebangkitan maritime yang telah lama dibiarkan mati suri. Meskipun terkesan terlambat, namun penguatan kekuatan maritime harus terus digalakkan agar Indonesia dapat bergerak maju memanfaatkan potensinya agar kuat sebagai negara maritime, bukan hanya karena desakan konflik Laut Cina Selatan/ Laut Natuna Utara.
Ketahanan dan stabilitas lautan merupakan faktor penting pembangunan ekonomi berbasis kelautan, sedangkan ketidakmampuan suatu negara mengikuti perkembangan pertahanan dunia dapat menjadi peluang pihak luar bertindak sewenang-wenang pada batas kedaulatan negaranya karena dianggap lebih lemah. Perhatian global pada pertahanan dan keamanan berkembang sangat pesat, maka penguatan postur ideal TNI AL baik dari segi kekuatan personel, sarana prasarana/dan kekuatan sinergitas regulasi - diplomasi luar negeri pemerintah harus terus diperhatikan demi penunjang ketahanan maritime Indonesia.Â
Permasalahan keterbatasan anggaran dan sumber daya pengembangan dan pemeliharaan harus diberi catatan penting agar tidak menjadi halangan atau gap risiko kekuatan TNI AL dalam menjalankan tugas mulianya menuju pertahanan kelautan dan menjadikan Indonesia poros maritime dunia. Kembali pada fenomena ancaman kedaulatan di wilayah Laut Cina Selatan atau yang dikenal dengan Laut Natuna Utara, Indonesia kini kembali dipaksa untuk mengevaluasi kekuatan maritimnya terutama dari segi militer untuk menjaga kedaulatan khususnya di wilayah terluar Indonesia, termasuk laut Natuna Utara. Â
Pemerintah adalah instrumen utama yang menuntun pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer dan non militer dari negara lain. Dalam proses menciptakan postur kekuatan maritim yang ideal, maka terdapat beragam pekerjaan rumah bagi pemerintah selanjutnya yang akan dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto.Â
Dalam proses mewujudkan pembangunan kekuatan militer, maka TNI AL harus memiliki postur kekuatan yang ideal, menurut Sisriadi (2016), penyelenggaraan pertahanan negara pada hakekatnya adalah fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan potensi dan kekuatan pertahanan negara untuk menangkal dan menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa secara sistemik.
Masalah klasik pembangunan militer bagi negara berkembang yang tidak berkonflik adalah terbatasnya porsi anggaran militer dan rendahnya dukungan publik untuk belanja militer. Dimana penguatan alutsista dan modernisasi militer bagi negara dianggap suatu pemborosan. Sayangnya ini adalah realita bahwa kewaspadaan akan ancaman masih belum tersosialisasi dengan benar.Â
Bahkan tercermin dari komentar dalam debat capres beberapa bulan lalu, dimana terdapat kandidat yang mempertanyakan anggaran pertahanan serta memberi penilaian dengan skala yang kurang pantas diutarakan dalam forum publik. Demokrasi adalah keharusan, namun dorongan menjaga wibawa identitas dan integritas bangsa nampaknya telah mengalami kemunduran.
Indonesia adalah negara yang berbasis pada kekuatan rakyat, maka untuk menjaga kedaulatan dari ancaman negara asing dapat dilakukan dengan memperkuat kekuatan komponen utama yakni solidaritas seluruh komponen bangsa untuk pengembangan kemampuan dan kemandirian ekonomi dan militer. Pemerintah harus mampu tegas melakukan pembersihan diri dari praktek korupsi dan penyelewengan kekuasaan, seperti apa yang dilakukan Xi Jin Ping dari Cina dan Putin dari Rusia. Dimana kedua tokoh tersebut memulai pengembangan negaranya melalui reformasi pemberantasan penyakit korupsi dan disiplin birokrasi. Sebagai negara demokrasi, kepercayaan rakyat pada pemerintah dapat kembali pulih bila pembenahan birokrasi dan korupsi telah mendapatkan bukti nyata.Â
Melalui fenomena ini nampak bahwa dalam mempertahankan kedaulatan negara, ancaman Indonesia tidak hanya bagaimana melakukan pembenahan militer dan strategi untuk menghalau ancaman negara asing, namun bagaimana pemerintah harus mampu bersinergi dengan rakyat melalui pembuktian reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi agar kepercayaan rakyat terbangun dan jiwa nasionalisme, integritas kembali tumbuh sebagai wujud cinta tanah air dari seluruh komponen bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H