Kemarin saya mengikuti diskusi mengenai lahan gambut yang dibahas secara ilmiah dan jujur saya merasa tergagap-gagap. Mengapa demikian? Saya bukan orang yang berlatar belakang pendidikan sesuai topik tersebut dan sangat awam dalam hal itu. Lalu, mengapa saya memutuskan untuk ikut terlibat didalamnya? Karena saya sangat menyukai hal-hal baru untuk dipelajari dan senang membagikannya untuk kepentingan bersama. Apakah lahan gambut itu penting?Â
Ternyata SANGAT IYAAA.... Lahan gambut di Indonesia ini sudah menyusut bahkan beberapa hilang akibat dari pemanfaatan dan pengelolaan intensif yang tidak mempertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air. Sedangkan lahan gambut adalah area penyimpan air, penyedia hasil hutan dan perkebunan, menyimpan karbon dan juga rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati. Jadi pemanfaatannya wajib di kelola dan dipantau untuk menahan laju peningkatan temperatur global agar dapat mengurangi resiko dan dampak perubahan iklim, sesuai Perjanjian Paris yang sudah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 22 April 2016.Â
Pemateri dan peserta diskusi kemarin kebanyakan mahasiswa dengan latar belakang keilmuan yang sesuai, para wartawan dan pelaku bisnis yang terkait dengan lahan gambut. Baiklah, apa saya harus menyerah sebagai pendengar pasif saja? Tentu saja TIDAK karena saya pikir mungkin kehadiran saya di sana dapat menyebabkan informasi ini tidak berhenti pada lingkungan ilmuwan saja tetapi sampai juga kepada orang awam seperti saya. Saya tidak salah memilih topik berat ini ternyata karena banyak hal yang saya dapatkan untuk dibagikan pada teman dan pembaca Kompasiana.
![para peserta diskusi (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/11/01/p1010287-jpg-59f97464ff2405504c3a29f2.jpg?t=o&v=770)
Gambut adalah materi organik yang terbentuk secara alami dari sisa sisa tumbuhan yang sebagian terdekomposisi dan terakumulasi pada rawa dan genangan air. Jadi gambut adalah akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk yang kemudian seiring waktu memiliki kandungan organik dan karbon yang sangat kaya dibandingkan dengan jenis tanah yang lain.
Karbon tersimpan dari permukaan sampai jauh ke dalam tanah sampai lebih dari 10 meter. Lahan seperti ini mampu menyimpan air belasan kali bobotnya dan jika rusak akan bersifat irreversible (tidak dapat dikembalikan) karena menyebabkan gambut kehilangan kemampuannya menyimpan air dan meyebabkan banjir di musim hujan. Gambut kering akan menyebabkan timbulnya banyak titik api yang akan terbakar di musim kemarau sehingga terjadi pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfer serta memusnahkan keanekaragaman hayati hutan.
Apa dampaknya kalau lahan gambut di Indonesia berkurang? Seperti yang kita ketahui, pemanasan global yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan iklim akibat dari aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Hal tersebut adalah dampak dari penggunaan bahan bakar sektor industri, energi atau transportasi, konservasi lahan akibat kegiatan perkebunan/pertanian dan kehutanan, serta pengelolaan limbah.
Walaupun luas lahan gambut hanya berkisar 3% dari total daratan, lahan ini menyimpan cadangan karbon dua kali lebih besar dari seluruh hutan. Lahan gambut terdapat di seluruh dunia dari negara beriklim kutub, sub tropis, maupun tropis. Lahan gambut ada di Rusia, Amerika dan Kanada, sedangkan gambut tropis berada di Asia Tenggara dan yang terbesar ada di Indonesia. Jadi, jelas bahwa perlindungan, pemulihan fungsi ekologis dan pengelolaan lahan gambut di Indonesia sangat penting bukan hanya untuk masyarakat sekitar tetapi juga untuk umat manusia.
Pemetaan lahan gambut
Salah satu instrumen penting dalam mendukung pengelolaan lahan gambut adalah tersedianya peta lahan gambut yang akurat. Saat ini sudah tersedia peta dari beberapa institusi tetapi jumlah total luas lahannya berbeda-beda akibat perbedaan definisi lahan gambut, metodologi, kesulitan menilai kadar air, kurangnya data, langkanya bukti valid dari lapangan dan resolusi pemetaan yang digunakan.
Dengan pemetaan yang berbeda-beda itu pengelolaan lahan gambut menjadi sulit apalagi ditambah dengan adanya konflik pemanfaatan ruang dan konflik kepentingan yang berakibat tumpang tindihnya izin yang diberikan oleh para pengambil keputusan. Bapak Nurwadjedi selaku Wakil Sekretaris II Tim Nasional Percepatan Kebijakan Satu Peta dari Badan Informasi Geospasial menyatakan saat ini telah menyelesaikan integrasi 63 data peta di Kalimantan dan harus menyelesaikan integrasi 82 data peta di Pulau Sumatera, 81 data peta di Pulau Sulawesi, 79 data peta tematik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara pada akhir tahun 2017.Â
Pemerintah Indonesia memiliki target penyelesaian peta-peta tematik bertahap unutk menunjang percepatan kebijakan satu peta sampai 2019 untuk memudahkan penyelesaian konflik dan tumpang tindih pemanfaatan lahan.
![pict : slide presentasi Badan Informasi Geospasial](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/11/01/gambut-2-jpg-59f98f6dc226f94a1936faf2.jpg?t=o&v=770)
Pemerintah sudah menyadari pentingnya pemetaan lahan gambut ini dan mengeluarkan PP no. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1 : 50.000 yang akan dijadikan acuan bersama dalam penentuan suatu kebijakan.Â
Dalam penjelasan Bapak Budi Satyawan Wardjama (Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut) dikatakan bahwa latar belakang dibentuknya BRG adalah dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Tugas BRG adalah mengkoordinasi dan menfasilitasi restorasi gambut di Riau, Jambi, Sumsel, KalBar, KalTeng, KalSel dan Papua.Â
Mengawali pekerjaan dengan peta yang ada sungguh merepotkan karena ada 14 peta dan semuanya berbeda, belum terbaharui dan kurang memadai. Untungnya ada wali data peta tanah gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Pertanahan, walaupun terakhir datanya adalah untuk tahun 2011. Dari peta indikatif yang ada yang berskala 1 : 250.000 BRG melakukan invetarisasi dan pemetaan ekosistem, pemetaan skala besar dan mengidentifikasi kondisi hidropografis kerusakan gambut dan tutupan serta kerusakan sosio ekonomis.
Ibu Hidayah Hamzah dari World Resources Institut (WRI Indonesia) semua peta gambut yang tersedia di Indonesia masih dalam skala kecil, sehingga belum bisa menjawab permasalahan pengelolaan gambut dan restorasi di tingkat tapak. Metode pemetaan gambut di lakukan untuk mengukur ketebalan gambut serta karakter fisika dan kimia gambut. Pemetaan di lakukan dengn teknologi LiDAR (Light Detection And Ranging) untuk menghasilkan detail kondisi yang ditampilkan dengan permodelan tiga dimensi. Dengan mengintegrasikan GPS/INS (Global Positioning System / Inertia Navigation System) dan pengukuran jarak dengan laser ke objek di permukaan bumi yang menggunakan kamera digital, maka peta dapat mengidentifikasi kubah gambut, peta hidrotopografi dan peta penutup lahan. peta akan digunakan sebagi panduan operasional dan implementasi restorasi di lapangan.
![narasumber dan panitia - dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/11/01/pemateri-59f9753974bbb04f6a0f1b65.jpg?t=o&v=770)
Ayo dukung kebijakan satu peta lahan gambut!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI