Sebenarnya, aku membuat tulisan ini karena tidak punya ide. Tapi dalam hati aku ingin menulis. Jadi kupaksakan diri untuk membuat tulisan ini. Ya, setidaknya untuk menghibur diri sendiri-lah, hehehe.
Semalam aku membaca tulisan seorang Kompasianer atas nama Karla Wulaniyati yang nangkring di kolom HL.
Artikel yang menceritakan kegelisahan penulis yang merasa kurang percaya diri dengan karyanya sehingga membuatnya berniat berhenti menulis tersebut, terasa begitu manis bagiku setelah di akhir tulisan penulis memberikan quote yang mencerahkan, "Saat dalam posisi ingin menyerah yang harus dilakukan hanya beri waktu sesaat lalu belajar lagi dan menulis lagi."
Artikel tersebut membuatku bengong untuk beberapa menit, mengingat aku sudah berhenti menulis selama lebih dari 3 tahun, hahaha.
Terakhir aku memposting tulisan di Kompasiana pada tanggal 3 Februari 2015. Baru pada tanggal pada tanggal 7 Desember 2018 kemarin aku kembali memposting untuk pertama kalinya setelah lama tidak menulis.
Aku berhenti menulis karena sibuk bekerja setelah lulus kuliah. Kembali ingat Kompasiana dan tumbuh kembali keinginan untuk menulis, setelah tidak sengaja menemukan cerpen karya Kompasianer yang kukenal yaitu Indri Hapsari di blog pribadinya saat buka-buka google.
Lalu aku mencari buku catatan harian yang kusimpan di lemari buku untuk mencari email dan password untuk login akun Kompasiana-ku. Maklumlah aku lupa soalnya sudah 3 tahun tidak login, hahaha.
Setelah ketemu buku itu langsung kubuka di halaman catatan Kompasiana. Kutemukan email dan password, tanggal pertama kali bergabung, jumlah HL dan TA (Trending Article) yang aku peroleh dan beberapa catatan lainnya selama aku menulis di Kompasiana. Betapa senangnya hatiku.
Aku langsung login dan kudapati Kompasiana sudah berubah total. Untuk memulai membuat tulisan baru aku butuh waktu lumayan lama untuk mencari icon mana yang harus aku klik, hahaha.
Tidak berhenti disitu, kutemukan kesulitan-kesulitan baru. Namun kesulitan itu tidak datang dari luar seperti waktu aku mencari icon-icon tadi, tapi kesulitan-kesulitan itu justru muncul dari dalam diriku.
Inilah beberapa kesulitan yang aku alami saat kembali menulis setelah lebih dari 3 tahun berhenti :
1. Hanya bengong di depan laptop.
Waktu pertama kali menulis kembali, aku hanya bisa bengong lama di depan laptop karena sama sekali tidak ada ide di kepalaku yang bisa dituangkan ke dalam sebuah tulisan.
Satu jam pertama hanya memandang layar. Satu jam berikutnya masih hanya memandang layar sambil beberapa kali keluar masuk menu pengaturan untuk melakukan validasi akun. Sampai 3 jam tak satu pun huruf yang berhasil aku ketik di laptop, hahaha. Sulit memang, aduh-aduh.
Lalu kuputuskan untuk membaca artikel-artikel Kompasianer lainnya, berharap dapat ide dari situ.
2. Setelah dapat ide, sulit untuk mengeluarkannya.
Setalah cukup banyak membaca tulisan dari para Kompasianer aku merasa mempunyai ide untuk dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Tapi setelah sampai di dashboard situasi kembali lagi. Bengong lagi, wkwk.
Kembali lagi aku ke halaman utama Kompasiana untuk kembali baca-baca lagi.
Dan benar setelah itu aku punya ide. Masuk lagi ke dashboard, bengong lagi. Namun kali ini bengongnya beda, aku bengong karena tidak tahu bagaimana memulai sebuah tulisan meskipun sudah ada ide di kepala. Akhirnya kutinggal tidur saja.
3. Sulit merangkai kalimat.
Hari berikutnya aku mencoba menulis kembali. Aku ingat Liga Champions Eropa. Lalu aku berusaha menuliskannya. Dari pengalamanku selama bergabung di Kompasiana, menulis tentang bola atau olahraga lainnya adalah yang paling mudah. Dulu aku banyak mendapat HL dan TA dari tulisan-tulisan tersebut. Menulis di kanal bola juga akan banyak mendapatkan pembaca.
Aku menulis. Ternyata tidak semudah seperti dulu. Aku kesulitan memilih kata-kata yang akan kurangkai menjadi sebuah kalimat. Butuh waktu hampir 4 jam untuk menyelesaikan tulisan pertamaku itu.
Betapa senangnya hatiku setelah tulisan itu kuposting, ternyata dipilih admin masuk di kolom highlight. Norak ya?? Bodo amat!! Hahaha.
--
Itulah kesulitan-kesulitan yang kualami ketika berusaha memulai menulis kembali setelah lama berhenti. Sekarang ini aku masih menikmati kesulitan-kesulitan itu. Ya, sangat menikmati.
Lebih dari itu semua, berhenti menulis membuat otak/pikiran menjadi tumpul. Imajinasi tidak setajam ketika aktif menulis. Kepekaan terhadap sekitar juga menurun drastis. Wawasan menjadi sempit karena jarang/bahkan tidak pernah membaca (untuk terus bisa menulis harus banyak membaca). Betapa menyedihkannya ketika hidup terasa tidak hidup. Itulah akibat yang aku rasakan ketika lebih dari 3 tahun berhenti menulis
Maka dari itu, teruslah menulis supaya hidup tetap terasa hidup.
Saloom,
-Mex'r-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H