Saya bertemu teman masa kuliah dulu. Dia seorang warga negara tetangga yang saat itu dikirim belajar ke sebuah Institut di bandung dan sekelas dengan saya. Kami akrab sampai lulus dan dia kembali ke negaranya untuk menjadi dosen.
Setelah lebih dari 30 tahun, kini kami bertemu saat dia dan keluarganya berlibur di Indonesia. Saya menyambut dan memberikan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan selama berliburnya. Seperti terjadi juga saat saya dan keluarga berlibur ke negaranya. Dia jauh lebih tua dari saya.
"Bang, abang tentu tahu keadaan politik Indonesia akhir-akhir ini bukan" tanyaku
"Tentulah, abang mengikutinya sangat detail, bahkan itu juga sebagai bagian kerjaan abang seperti kau tahu bukan" jawabnya. Ya, saya tahu apa pekerjaannya di negerinya. Dia sudah menjadi orang penting di sana.
"Rasanya Indonesia saat ini dalam situasi yang tidak bersatu, menurut abang bagaimana dan mengapa ?"
"Bukan karena abang mau menjelekkan negerimu, tetapi karena abang mau jawab pertanyaanmu ya ?"
"Ya bang, aku mengerti" aku menunggu pendapatnya.
"Terus terang negerimu ini sulit sekali maju karena bangsamu terbiasa berpikir sempit. Tidak punya kebiasaan berpikir besar. Sekali lagi abang minta maaf, bukan karena abang mengecilkan bangsamu"
"Ya bang, saya mengerti. Bagaimana selanjutnya ?"
"Ingat, jaman kita kuliah dulu, begitu banyak orang negeri kami belajar ke negerimu. Seperti abang yang belajar bersamamu bukan ?"
"Ya bang"
"Tapi sekarang hampir tidak ada, rakyat kami belajar ke sini, sebaliknya sangat banyak orang kalian yang belajar di negeri kami atau di negeri-negeri lain bukan ?. Ini menunjukkan bahwa bangsa kalian sangat lambat maju. Tentu ini hanya satu indikator saja, tapi itu nyata bukan ?"
"Ya Bang" sakit dan sedih hatiku mendengar pendapatnya, tetapi secara obyektif, hati kecilku mengakui kebenaran pendapatnya"
"Lalu apa maksud abang bahwa bangsa kami terbiasa berpikir sempit dan tidak berpikir besar?" aku penasaran
"Ingat saat pemilihan kepala negaramu kemarin bukan ?. Bangsamu seolah terpecah dalam partai-partai. Para pemimpin partai saling sengit berlawanan, diikuti dengan pertentangan para pengikutnya. Ini juga terjadi di negeriku"
"Terus?"
"Saat dekat pemilihan presiden, partai-partai kalian muali saling membentuk persatuan, membentuk koalisi bersama partai-partai yang sejalan, dan pertentangan semakin besar antara para pemimpin koalisi diikuti para peserta dan pendukungnya. Kami yang dinegeri tetangga bahkan bisa melihat dengan jelas di internet bagaimana kalian saling bertentangan bahkan saling bemusuhan dengan sengit"
"Begitu ya bang"
"OK, ini mungkin masih bisa di mengerti meski di mata kami pertentangan antar koalisi di negerimu sudah tidak rasional lagi menurut kami. Kalian benar-benar terkunci dalam pemikiran kelompok. Bahkan sepertinya kalian lupa, pemilihan presiden adalah jalan membangun pemerintahan baru dan cita-cita memajukan dan memakmurkan bangsa kalian. Ini terbukti ketika presiden kalian terpilih, kalian tidak mampu melepaskan pertentangan itu. Sementara kalian tentu tahu, bangsa kalian berada didalam kelompok bangsa-bangsa lain, termasuk bangsaku. Dimana kita akan saling bersaing didalam situasi dan pasar global dunia. Mestinya kalian melepaskan pemikiran keompok kecil antar koalisi kalian dan mulai berpikir kelompok yang lebih besar, yakni berpikir sebagai kelompok bangsa. Pemilihan presiden kalian sudah selesai, kini kalian mulai maju menghadapi dunia, tetapi kalian masih saja berpikir kelompok lecil dan lupa memandang posisi kalian saat ini, yakni didalam persaingan global dunia dengan masing-masing satu orang pemimpin"
Waah bener juga pendapat si abang meski sedih hatiku karena pandangannya tentu mewakili pandangan bangsanya terhadap bangsaku, bangsa kita. Namun ke akraban dan saling percaya antara kami yang sudah terbentuk dan terbuktikan sejak lama menurunkan sakit hatiku.
"Terus bang "
"Kami bahkan heran, pihak yang kalah dalam pemilihan presiden kemarin, sampai saat ini seakan tidak bisa menerima kekalahan itu, dan sepertinya terus mencoba menghambat langkah pemimpin terpilih kalian. kami bisa melihat semua itu di pemberitaan televisi, koran dan internet"
"Hmmmm begitu ya Bang ?"
"Kami, meski bukan warga negara negeri kalian, bahkan ikut merasa bangga dengan pemimpin anda Encik Jokowie yang bahkan di mata pemimpin dunia sangat di hormati dan di kagumi. Bahkan banyak musisi kelas dunia dan seorang pemilik Facebook seperti Mark Zuckerberg ingin bertemu dengannya. Sebagai bangsa Asia, kami ikut berbangga karena itu. tetapi mengapa bahkan sebagian bangsa kalian tidak mengakui akan kelebihan itu bahkan terus berusaha mencari kesalahan-kesalahannya. Memang sebagai manusia tentu tidak ada yang sempurna, tetapi mestinya kita berpikir obyektif atas realita yang ada, meski kita tidak menyukainya. Itu karena bangsa kalian masih terkunci pada pola-pola pemikiran sempit kelompok kecil. Sekali lagi abang minta maaf, bukan ingin menjelekkan bangsa kalian, tetapi karena kamu minta pendapatku"
"Ya bang, tidak masalah buat saya"
"Meski pemimpin kalian berasal dari salah satu kelompok yang menang, rasanya tidak mungkin dia hanya mementingkan kelompoknya sendiri dan mengabaikan kelompok lainnya, semua orang dan dunia akan melihatnya, rasanya tindakan bodoh bila presiden terpilih kalian akan melakukan deskriminasi itu. Mestinya kelompok yang dikalahkannya tidak perlu mengkhawatirkan itu, khawatir karena masih terus berpikir sempit, berpikir dalam kelompok kecil yang mestinya sudah dilalui. Mestinya bangsa kalian keluar dari kuncian pemikiran kelompok kecil seperti koalisi-koalisi itu dan mulai bersama berpikir sebagai kelompok yang lebih besar, kelompok Indonesia. Karena kalian akan menghadapi globalisasi dunia. Artinya kalian akan menghadapi bangsa lain, termasuk bangsa kami. Namun pada situasi tertentu, bangsamu dan bangsaku harus berpiki lebih besar lagi, bersatu menjadi kelompok Asia Tenggara, menghadapi Asia Timur, Asia Selatan dsb. Di saat lain kita berpikir lebih besar lagi sebagai kelompok Asia, menghadapi Eropa, Amerika dst "
"Saat lain kita berpikir lebih besar lagi sebagai kelompok Bumi, untuk menghadapi persaingan dengan Alien ya Bang ?" selorohku
"Ya ... ya ..., kalau alien itu memang ada, abang kira pendapatmu itu betul" katanya sambil tertawa.
"Jalan keluarnya bagaimana menurut abang ?"
"Ah, abang tidak ingin berikan saran apa-apa tentang itu. Bangsa kalian sebenarnya mampu mencari solusi yang lebih baik. Hanya masalah kemauan dan mentality saja. Lihat di forum-forum di internet, bagaimana anak-anak muda kalian bisa bersatu ketika anak-anak muda negeri kami menyerang kalian. Tapi kami juga tertawa dalam hati, kalian terlihat bersatu saat melawan opini dan pendapat kami, tapi kamipun tahu, di belakang itu kalian tetap terpecah-pecah, berpikir dalam kelompok sempit dan tidak mampu berpikir nations. Itu semua menyebabkan kalian tertinggal oleh kami. Hanya saja, Allah mengkharuniai negeri dan alam yang sangat makmur untuk kalian. Kalian tidak perlu bekerja keras atau berpikir keras untuk bisa makan, karena Allah menyediakan semua. Beda dengan kami yang harus selalu bekerja dan berpikir keras untuk kemajuan hidup negeri kami, tapi itu menyebabkan kami selalu mampu berpikir besar, dan mampu mencari solusi dalam kesulitan kami, karena Allah tidak memanjakan kami dengan segala kemakmuran alam seperti negeri kalian. Kami mengiri pada alam kalian, tetapi kamipun juga prihatin pada cara berpikir dan mentalitas kalian. Lebih-lebih bangsa kalian sepertinya sangat tidak terbiasa hidup dengan bangsa lain. Luar negeri sepertinya masih sesuatu yang istimewa dan tidak biasa untuk kalian. Berbaur dengan bangsa-bangsa lain masih hal yang tidak biasa, itu pula yang menyebabkan kalian selalu masih berpikir dalam kelompok kecil didalam negeri kalian.
Maaf, sekali lagi abang bukan mengecilkan bangsa kalian, abang hanya mengeluarkan pendapat karena kamu bertanya pada abang. Jangan sakit hati pada abang atau bangsa abang. Kalau itu semua tidak bisa kamu terima, anggap semua yang abang katakan tadi tidak ada.
Boleh abang istirahat sekarang, besok pagi-pagi buta, abang sekeluarga ingin ke Bandung ?"
"Aaah ya bang, maaf. Selamat Istirahat" jawabku, sediiih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H