Mohon tunggu...
Meuthia Riyanda Adriena
Meuthia Riyanda Adriena Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

jangan pernah menyerah

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hubungan Toxic Relathionship Dengan Kesehatan Mental Remaja

30 Juli 2023   02:15 Diperbarui: 30 Juli 2023   02:31 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUBUNGAN TOXIC RELATIONSHIP TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN MENTAL REMAJA

Banyak orang terjebak dengan cinta dan kebahagian sesaat dalam menjalin hubungan pertemanan atau pacar. Rasa takut, was-was, kesepian ditinggal pergi, menjadi alasan seseorang menjalani toxic relationship. Secara konseptual  bahwa toxic relationship merupakan gangguan emosional yang diakibatkan oleh ketidaknyamanan diri sendiri terhadap lingkungan diantaranya  problem pribadi, problem keluarga, ekonomi dan pacaran. Hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental remaja.

Jumlah penderita gangguan Kesehatan mental akibat hubungan toxic relationship semakin meningkat. Seseorang yang mengalami toxic relationship lebih rentan mengalami gangguan Kesehatan mental. Kesehatan mental merupakan salah satu penyebab dari kesakitan dan kematian pada remaja. Gejala gangguan mental dapat berupa, depresi, ide bunuh diri, kecemasan bahkan menyakiti diri sendiri. Kondisi mental yang buruk merupakan masalah kesehatan yang berat.

Banyak yang menjadikan toxic relationship sebagai pelampiasan atas emosi yang tidak tersalurkan dengan baik, atau adanya trauma psikis yang mendorong seorang remaja untuk melakukan tindak pembalasan terhadap orang lain. Anak usia remaja tidak jarang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship, baik dengan sahabat, pacar, saudara, maupun orang tua dan lingkungannya. Hubungan yang bermasalah ini perlu diwaspadai dan ditangani karena bisa menguras waktu dan pikiran, dan akan berpengaruh buruk bagi kesehatan, baik fisik atau mental, serta memengaruhi kemampuan belajar dan interaksi sosial remaja..

Hubungan yang bermasalah ini perlu diwaspadai dan ditangani karena bisa menguras waktu dan pikiran, dan akan berpengaruh buruk bagi kesehatan, baik fisik atau mental, serta memengaruhi kemampuan belajar dan interaksi sosial remaja.

WHO regional Asia Pasifik 2018 (WHO SEARO) mengatakan bahwa jumlah kasus gangguan depresi terbanyak adalah (56.675.969 kasus atau 4,5% dari jumlah populasi) yang berada di india, terendah di Meldives (12.739 kasus atau 3,7% dari populasi). Adapun di indonesia sebanyak 9.162.886 kasus atau 3,7 dari populasi (Ayuningtyas et al. 2018). Sementara berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (IFODATIN) Tahun 2019 (Pusat Data dan Informasi Kementria Kesehatan RI, 2019), gangguan depresi yang diklarifikasi berdasarkan usia sudah uncul sejak usia remaja (15-24 Tahun) denga persentase 6,2%.

Usia remaja merupakan usia rentan. Proses pengendalian diri, kemandirian, kedewasaan dan pengendalian emosi pada remaja belum optimal. Kondisi ini dapat membuat remaja mudah terjebak dalam toxic relationship (Praptiningsih, 2021) dalam Julianto et al., (2020). Masa remaja adalah masa ketika remaja membangun jejaring interpersonal yang menitik beratkan pada peer group. Remaja akan membentuk ikatan emosional dan keterikatan yang lebih dalam dengan kelompoknya. Hubungan interpersonal yang baik akan menciptakan kondisi emosi yang baik, sebaliknya konflik interpersonal akan memicu masalah kesehatan jiwa.

Tanda-tanda seseorang berada di hubungan yang tidak sehat adalah terjadinya kekerasan. Meskipun demikian, di banyak kasus, indikatornya jauh lebih tak kentara. Ketidakbahagiaan adalah indikator yang paling mudah dijumpai. Jika sebuah hubungan berhenti memberikan kebahagiaan bagi seseorang dan justru membuat seseorang merasa sedih, marah, dan cemas, hubungan tersebut kemungkinan sudah tidak sehat.

Keluar dari Toxic relationship memang tidak mudah, namun perlu dicoba yaitu waktu adalah  penyembuhan terbaik. Waktu untuk pulih dengan mengistirahatkan pikiran dan tubuh individu. Jadi dengan menggunakan waktu dapat  kesempatan untuk introspeksi dan mengenal diri sendiri. Luangkan waktu untuk mengejar minat dan hobi. Lakukan hal-hal yang dulu yang disukai dan mulai nikmati hidup. Hanya diri sendiri  yang bisa mengendalikan hidup, jangan menyerahkan kendali di tangan orang lain. Bila mengambil keputusan perlu menggunakan hati, pikiran dan kesadaran dengan sepenuhnya. Jika  merasa sulit untuk melewatinya sendirian, dapatkan bantuan dari keluarga dan teman-teman atau penasihat profesional jika diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun