Mohon tunggu...
Meuthia Hamidah
Meuthia Hamidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Halo saya Meuthia Hamidah mahasiswa Universitas Nasional program studi Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Esensi Emansipasi Pemikiran R.A Kartini: Keadilan Masih Dicari

9 Juni 2022   20:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   20:03 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan menciptakan semua makhluknya sama, semua ciptaan-Nya dikaruniai anugerah yang luar biasa, tanpa terkecuali. Tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya, bagi Sang Maha Pencipta. Mirisnya akhir - akhir ini terjadi tindak diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, tindakan yang tidak semestinya dilakukan.

Adanya emansipasi pemikiran RA Kartini menunjukkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama, hak bebas, hak untuk hidup, hak mendapatkan kehidupan yang layak dan sebagainya. Emansipasi sendiri maksudnya adalah pembebasan dari perbudakan. Kartini menegakkan adanya emansipasi pada wanita bermula karena surat - surat dari teman Belanda nya, dan mulai memahami mengenai feminisme yang sedang marak di Eropa pada saat itu. Sehingga ia melihat adanya perbedaan di Indonesia, tidak adanya pendidikan untuk para perempuan dan kewajiban mematuhi untuk menikah dengan calon yang dipilihkan oleh keluarga, membuat Kartini mulai menyuarakan kebebasan untuk kaum perempuan melalui tulisan - tulisannya.

Berkat pemikiran beliau, hingga saat ini hak perempuan sudah mulai setara dengan para laki - laki. Berkurangnya kesenjangan untuk perempuan inilah salah satu dampak dari pemikiran RA Kartini. Tetapi emansipasi ini bukan hanya berlaku untuk perempuan saja, tetapi untuk semua manusia tanpa memandang etnis, ras, budaya, salah satunya disabilitas. Disabilitas sendiri merupakan mereka yang memiliki perbedaan kondisi fisik maupun mental. Perbedaan antara penyandang disabilitas dengan non difabel bukan menjadi alasan untuk kita bisa melakukan hal yang tidak pantas kepada para penyandang difabel.

Diskriminasi dalam bentuk apapun selalu salah dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan bentuk diskriminasi tersebut. Diskriminasi terhadap difabel baru saja terjadi akhir - akhir ini. Hal ini disampaikan langsung oleh Tonanda Putra bersama sang istri Amanda Farliany melalui akun media sosial mereka. Dalam video tersebut Tonanda menjelaskan bahwa diskriminasi terjadi saat ia hendak mengikuti seleksi mitra Grab Indonesia pada Selasa, 26 April 2022. Sejak awal tiba ke tempat seleksi, Tonanda sudah menyampaikan bahwa ia merupakan penyandang disabilitas Tuli, tetapi pernyataan ini tidak diindahkan oleh petugas Grab Indonesia. Tonanda pun mengikuti beberapa tes yang mendiskriminasi, seperti harus membaca undangan wawancara dari Grab Indonesia dengan suara yang lantang dan jelas, lalu mengikuti tes pendengaran dengan dipanggil namanya dari kejauhan dan saat dimana petugas bertepuk tangan untuk mengetes pendengaran Tonando. Jelas hal ini sangat menyinggung penyandang disabilitas rungu.

Perlakuan yang dilakukan oleh staff Grab Indonesia ini mencerminkan tindakan audisme. Audisme merupakan tindakan yang membuat seseorang merasa lebih tinggi, superior dibanding orang yang memiliki gangguan pendengaran. Tindakan yang dilakukan itu secara tidak langsung sudah menghina difabel Tuli. Penyandang disabilitas sudah memiliki Undang - Undangnya sendiri. Presiden Joko Widodo sudah menetapkan Undang - Undang  Tentang Penyandang Disabilitas (UUPD) pada April 2016 lalu, dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016.

Tujuan disahkan Undang - Undang Tentang Penyandang Disabilitas ini adalah untuk menjamin keberlangsungan hidup setiap warga negara, tanpa terkecuali. Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara lainnya. Termasuk kedalam hak memiliki pekerjaan yang layak bagi para difabel, maka tidak sepantasnya mereka mendapatkan  tindak diskriminasi seperti ini. Adanya diskriminasi terhadap difabel membuktikan bahwa beberapa masyarakat Indonesia masih kurang tingkat kepedulian dan menghargai terhadap perbedaan yang ada. Mereka sama seperti kita, mereka juga saudara kita, sehingga apa yang menjadi alasan kita bisa berbuat tidak pantas terhadap mereka yang berbeda?

Keluhan yang disampaikan oleh Tonando Putra dan sang istri menuai perhatian publik. Banyak masyarakat yang langsung menghubungi pihak Grab Indonesia, meminta pertanggung jawaban dan permohonan maaf langsung kepada Tonando Putra. Emansipasi yang diajari oleh pahlawan kita yaitu RA Kartini sepertinya harus kita pahami lebih dalam lagi maknanya, tidak hanya menyimpulkan satu kesimpulan bahwa emansipasi hanya berkutat pada emansipasi wanita, tetapi setiap individu juga berhak memperjuangkan hak kebebasannya. Tetapi nyatanya, esensi emansipasi pemikiran RA Kartini bagi kaum minoritas seperti difabel masih kurang.

Viralnya keluhan penyandang disabilitas Rungu ini membuat masyarakat geram dan terus melaporkan perlakuan karyawannya kepada pihak Grab Indonesia. Dan pihak Grab Indonesia pun sudah memberikan tanggapan, informasi terbaru ialah karyawan bersangkutan sudah diberlakukan sanksi setelah dilakukan penyelidikan. 

Sebenarnya menghargai suatu hal bukanlah hal yang sulit untuk kita lakukan. Kita tidak harus menyediakan sarana untuk penyandang difabel karena itu sudah merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan juga harus memberikan sesuatu berupa barang atau sejenisnya kepada mereka. Tetapi hanya bersikap wajar, selayaknya kita bersosialisasi satu sama lain, membantu sebisa kita apabila mereka membutuhkan bantuan, tanpa melakukan suatu hal yang menyinggung kekurangan mereka para penyandang disabilitas.

Sikap audisme, dimana kita merasa paling superior dan lebih baik daripada orang lain, merupakan sikap yang tidak pantas. Sikap ini bukan hanya menyinggung para difabel tapi orang lain yang diperlakukan seperti itu juga. Menjaga sikap juga menjaga perasaan satu sama lain, merupakan salah satu pencegahan adanya tindak diskriminasi. Mereka yang termasuk ke dalam kaum Minoritas, juga manusia, juga warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk hidup dengan tenang dan layak. Sehingga untuk kita yang merupakan kaum Mayoritas tidak memiliki hak untuk menyudutkan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun