Mohon tunggu...
Meuthia AzkaRahmah
Meuthia AzkaRahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta, Jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Kebijakan Dilarang Berjualan di Trotoar Kawasan Kota Tua Jakarta

31 Mei 2024   21:25 Diperbarui: 2 Juni 2024   21:18 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kota Tua Jakarta atau Batavia Lama (Oud Batavia) merupakan salah satu destinasi wisata yang cukup terkenal di daerah Kota Jakarta. Kota Tua sudah bermula sejak tahun 1526 pada masa colonial Belanda. Kota tua sendiri telah melewati berbagai proses hingga menjadi Kawasan yang berisi museum-museum bersejarah yang bisa dikunjungi dan dinikmati fasilitasnya sehingga banyak menarik wisatawan seperti sekarang, terutama pada musim liburan panjang.  

Sebelum masuk pada studi kasus, kebijakan dilarang berjualan di trotoar termasuk ke dalam contoh dari kebijakan publik. Apa itu kebijakan publik?

Kebijakan publik adalah instrumen pemerintahan yang memiliki tujuan tertentu dan kebijakan tersebut ada untuk dipatuhi. Setelah kebijakan dibuat, langkah yang akan diambil selanjutnya adalah implementasi dari kebijakan tersebut. Implementasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan.  Sebelum implementasi berjalan tentunya ada perencanaan terlebih dahulu, perencanaan revitalisasi Kota Tua sudah ada sejak 1970 namun baru terealisasi pada 2014 dan sempat terhenti, lalu dilanjutkan kembali pada zaman Anies Baswedan

Revitalisasi yang terus dilakukan pada Kota Tua selama bertahun-tahun membuat masyarakat semakin tertarik dan betah untuk berkunjung ke Kota Tua, fakta bahwa biaya yang dipungut untuk bisa masuk ke Kawasan Kota Tua adalah sebesar 0 rupiah, 24 jam akses hingga kemudahan akses transportasi seperti KRL Commuter Line dan bus Transjakarta. Selain itu dari segi kenyamanan dan keamanan sudah lumayan mumpuni, bahkan Kota Tua juga menyediakan fasilitas untuk penyandang distabilitas.


Kota Tua Jakarta hingga saat ini banyak mendatangkan wisatawan lokal hingga mancanegara yang berkunjung kesana, karena itu banyak sekali pedagang kaki lima yang memanfaatkan momentum tersebut untuk berjualan di kawasan Kota Tua, seperti trotoar, tepi jalan umum dan lainnya yang dianggap lumayan mengganggu, apalagi kalau para pedagang kaki lima itu berkumpul di satu tempat yang sama dan tidak tertata dengan rapi. 

Berdasarkan survei penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa setidaknya ada 500 pedagang yang berjualan di kawasan Kota Tua setiap harinya, bahkan angkanya bisa mencapai dua kali lipat pada weekend atau hari libur.
Dikarenakan keberadaan pedagang kaki lima yang tidak jarang mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi kumuh dan tidak teratur. Bahkan aktivitas pedagang kaki lima ini kerap sekali mengganggu aktivitas para pejalan kaki hingga kenyamanan wisatawan lain menjadi terganggu. Oleh karena itu pemerintah Jakarta mulai memperhatikan akan masalah ini dan mulai mengambil tindakan dengan cara mengambil kebijakan untuk penataan serta pemberdayaan pedagang kaki lima di kawasan Kota Tua Jakarta.


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil kebijakan Perda No.8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum, selain itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menerapkan Peraturan Gubernur No.33. Tahun 2010 mengenai Pengaturan Tempat dan Pembinaan Usaha Mikro Pedagang Kaki Lima di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Keputusan Walikota Kota Administrasi Jakarta Barat Nomor 581 Tahun 2014 Tentang Penetapan Lokasi Sementara Usaha Mikro/Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kota Tua. 

Kota Tua sendiri termasuk ke dalam cagar budaya, yang dimana proses revitalisasinya tetap harus memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial dan lainnya. Seperti yang tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 mengenai Cagar Budaya dalam pasal 80 ayat 1 (Pemerintah RI 2010). Berkaitan dengan Undang-undang tersebut, kebijakan publik kasus ini masuk ke dalam teori Perencanaan dan Pengelolaan Kota (Urban Planning and Management Theory). Dimana pemerintah menentukan area mana yang dapat digunakan untuk berjualan dan mana yang harus steril dari aktivitas perdagangan untuk memastikan kelancaran lalu lintas pejalan kaki. Selain itu pemerintah juga mengelola ruang publik yakni trotoar yang tadinya untuk berbagai fungsi termasuk mobilitas, interaksi sosial, dan aktivitas ekonomi menjadi berjalan sesuai fungsinya yaitu untuk aktivitas para pejalan kaki.

Upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah  untuk menjadikan kawasan Kota Tua menjadi lebih rapih dan tertata, Selain itu revitalisasi yang dilakukan juga bertujuan untuk mengurangi kemacetan yang ada di kawasan sekitar Kota Tua Jakarta. Dengan berkurangnya pedagang kaki lima serta aktivitas jual beli yang dilakukan akan sangat mengurangi keramaian yang menghalangi jalan sekitar.


Tentu saja kebijakan ini menuai pro dan kontra, terutama para pedagang kaki lima yang merasa sangat dirugikan oleh kebijakan ini, mereka merasa dengan adanya larangan berjualan di trotoar akan mengakibatkan penjualan dan pendapatan mereka berkurang secara drastis. 

Selain itu mereka merasa bahwa pemerintah tidak memperhatikan masyarakat kecil dan tidak peduli dengan perekonomian mereka. Merespon para pedagang yang kontra terhadap kebijakan tersebut, pemerintah menyediakan tempat-tempat berjualan yang baru bagi para pedagang kaki lima. Negosiasi dengan para pedagang pun dilakukan guna memindahkan mereka ke tempat yang lebih layak dan tertata dengan rapih dan kondusif. 

Para pedagang kaki lima diarahkan ke titik-titik tertentu yang sudah ditentukan, beberapa tempat yang sudah disediakan yaitu Lokasi Binaan, JL. Cengkeh, Batavia Kantin, Pasar Djadoel, dan JL.Teh. Relokasi telah dilakukan sejak 2022 hingga saat ini, dengan syarat para pedagang harus mempunyai rekening pribadi. Selain itu, pedagang yang ingin menempati kios di lokasi binaan diwajibkan untuk memberikan fotocopy Kartu Keluarga, KTP dan lainnya. Pedagang kaki lima juga diwajibkan untuk mematuhi peraturan yang ada.


Setelah terjadinya relokasi, pada pejalan kaki beranggapan bahwa kini jalan sekitar Kawasan Kota Tua menjadi lebih kondusif dan kenyamanan lebih terjamin. Selain itu kebersihan juga lebih terjaga karena berkurangnya aktivitas jual beli. Aktivitas para pengunjung juga menjadi lebih leluasa tanpa adanya kawasan kumuh yang mengganggu, selain itu pedagang-pedagang nakal yang memaksakan para wisatawan untuk membeli dagangannya juga berkurang. 

Sangat jelas terlihat perbedaan sebelum dan sesudah relokasi. Selain itu banyak pedagang yang senang karena dengan adanya relokasi, mereka bisa berjualan tanpa perlu panas-panasan atau kehujanan. Namun sudah pasti masih ada beberapa pedagang nakal yang tidak mau mentaati peraturan dan masih berjualan di trotoar. 

Adapun alasan para pedagang kaki lima tersebut adalah, Kawasan baru yang telah disediakan tidaklah strategis dan minat pembeli juga kurang dari target, sehingga penurunan pendapatan para pedagang terus terjadi. Namun hal ini pun tidak luput dari pengawasan petugas keamanan atau biasa dikenal dengan satpol PP. Satpol PP bertugas untuk mengawasi Pedagang Kaki Lima yag masih nakal dan menimbulkan banyak sekali konflik. Satpol PP akan mengamankan pedagang kaki lima tersebut ke tempat yang sudah disediakan atau memberikan peringatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun