“Tuan-tuan tidak berkumpul di dunia yang damai, yang bersatu, dan yang bekerja bersama. Jurang-jurang besar dan curam mengganggu antara bangsa-bangsa dan golongan bangsa. Dunia kita yang malang ini terpecah belah, dan ternyata rakyat dari semua negeri berada dalam ketakutan, kalau-kalau di luar kesalahan mereka, serigala-serigala peperangan akan lepas lagi dari rantainya,”
“Dan pada hari ini, di dalam gedung ini, berkumpul pemimpin-pemimpin bangsa yang tadi itu. Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat perkakas orang lain, dan bukan lagi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhi. Today, you are representatives of free peoples, peoples of a different stature and standing in the world,".
( Pidato Sukarno di Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung)
Pidato sukarno tersebut sangat menjelaskan bahwa sejarah kolonialisasi di Negara-negara dunia ketiga—terutama asia dan afrika adalah sejarah yang pait. Kedirian mereka dibajak, identitas mereka “diperkosa,” dan status mereka sebagai subyek yang merdeka dikebiri sekian lama. Karena itulah, pasca berakhirnya perang dunia kedua, banyak negara-negara yang dijajah—berlomba-lomba merebut kemerdekaan. Berakhirnya perang dunia kedua jugalah, isu perdamaian disuarakan di seluruh belahan dunia.
Tapi walau isu perdamaian disuarakan, ketegangan antara negara-negara tidak juga menurun. Ditambah munculnya perang dingin antara blok barat dan blok timur. Perang dingin berkembang menjadi pemunculan pengembangan nuklir dan alat-alat perang modern lainya. Hal ini membuat ketakutan bahwa perang dunia akan kembali bergulir. Walau sudah ada lembaga yang menaungi perdamaian—yaitu PBB, tetap saja tidak bisa meredam pertikaian tersebut. Karena pada saat itu, struktur PBB masihlah eksklusif yang hanya berisikan blok barat dan blok timur saja.
Diluar itu semua, Negara-negara Barat seperti enggan untuk memandang negara-negara Asia Afrika sebagai mitra berunding, tentang langkah dan kebijakan mereka yang berdampak terhadap bangsa-bangsa yang baru merdeka, dan yang sedang berjuang untuk merdeka di dua benua itu. Seakan-akan negara-negara tersebut seperti bayi yang baru keluar dari rahimnya.
Dengan kondisi yang seperti itu, tidak heran jika akhirnya dari KAA muncul sebagai kekuatan baru yang juga melahirkan gerakan non blok—gerakan yang mengancam posisi kekuatan-kekuatan lama, termasuk negara barat dan uni soviet.
Satu dekade sudah berjalan, pasca Konferensi Asia-Afrika di bandung. Dekolonialisme terus meningkat diikuti keretakan yang terjadi pada negara-negara pemakrasa KAA sendiri. Keretakan terjadi antara negara-negara pemrakarsa Konferensi Asia Afrika terjadi pada 1961 kemudian pada 1964-1965, ketika Cina dan Indonesia menekan untuk diadakannya konferensi Asia Afrika yang kedua.
Diluar politik keseimbangan yang dilakukan RRC untuk melawan Uni Soviet dan Amerika pada saat itu, mengapa energi persatuan AA, dalam melawan kolonialisme dan imperialisme di tengah serbuan globalisasi ekonomi ke seluruh negeri, termasuk ke negeri-negeri AA justru semakin menghilang? Ketergantungan besar akan modal, teknologi dan pasar dari Negara-negara Asia-Afrika terhadap negara maju, bukannya justru serupa dengan imperialisme gaya baru? Yang pada akhirnya mengakibatkan cengkeraman utang luar negeri dan dominasi IMF serta Bank Dunia dalam pengambilan kebijakan ekonomi Negara-negara Asia-Afrika.
Pasca itu, tidak ada pertemuan yang serupa dengan Konferensi Asia Afrika 1955. Baru pada tahun 2005 tepat pada peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung. Para pemimpin negara-negara Asia-Afrika bertemu di Jakarta lalu ke Bandung untuk mengadakan New Asian-African Stategic Partnership (NAASP). Namun sangat disayangkan, dalam pertemuan saat itu bukan untuk melawan dominasi Negara-negara Barat, melainkan untuk mempromosikan kerjasama ekonomi, politik, dan budaya antara dua benua.
Dari situ sudah terasa jika KAA tidak lagi KAA yang sebagaimana mestinya. Dan mungkin kita terlalu naïf jika harus menjadi bangga dalam pertemuan KAA 2015 ini. Ditambah tokoh-tokoh pemerintahanan meng-klaim jika semangat KAA 2015 ini sama seperti apa yang sudah pernah dipelopori peserta KAA 1955.
Namun ada kenyataan yang patut kita apresiasi, yaitu kekuatan lain yang saat ini tengah bangkit. Di negara Barat dalam lima tahun terakhir ini, mulai berkembang gerakan menolak dominasi lembaga keuangan internasional dalam perekonomian negara AA dan Amerika Latin. Di Eropa, Kanada, Australia bahkan AS demonstrasi dan protes menuntut penghapusan utang luar negeri negara AA berhasil melibatkan ribuan orang.
Coordinated accumulated force dalam impian Soekarno pun menjelma menjadi upaya menyelenggarakan pertemuan akbar anti globalisasi setiap tahun di Brazil dan India (World Social Forum). Forum-forum regional juga digelar, semacam Asia Pacific Social Forum, European Social Forum, dan lain-lain. Meskipun masih jauh dari sempurna, namun ini menjadi sinyal bahwa the new emerging forces (NEFo) tengah menyusun kekuatan dan berkonsolidasi melawan the old established forces (OEFo). Penggagas dan pelaksananya bukan lagi seorang presiden, perdana menteri atau menteri luar negeri, namun kerja sama para pejuang demokrasi dan rakyat di berbagai negara maju, Amerika Latin dan negeri AA.
Akankah KAA 2015 hanya sekedar menjadi kegiatan nostalgia masalalu? Sementara kekuatan ekonomi dalam negeri semakin hancur akibat liberalisasi pasar, dan rakyatnya semakin dimiskinkan, kemanusiaannya dirampas dan dilumpuhkan. Karena dalam persoalan saat ini, orientasi KAA 1955 masih penting untuk dikembangkan. Mengabaikan soal-soal ini sebagai agenda pokok dari KAA 2015, maka dapat dipastikan bahwa acara itu tak lebih hanya sekedar proyek makan-makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H