Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semangat Menyatukan Keping-Keping Kebahagiaan, Spritualitas Ki Juru

2 Juni 2020   05:00 Diperbarui: 2 Juni 2020   05:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan beginilah aku, 02.40 WIB. Pada kabut tengah malam, dalam sebuah kesunyian panjang. Tanpa ada suara, tanpa ada teman. Mataku benar-benar sehat, saat orang lain akan meletakkan kepalanya dalam sebuah kehangatan malam dengan segala letihnya. Dan aku? Masih berkutat, berjuang untuk bisa memejamkan mata.

"Kamu yakin, bahwa semua ini penderitaanmu hanya karena keadaanmu berbeda dengan mereka yang lainnya? Jadi kamu mau bilang bahwa kamu susah karena engkau tidak bisa tidur di malam hari? Atau karena seperti biasa engkau akan mengatakan semua ini menyusahkanmu, karena lagi-lagi alasan kesendirian bagimu selalu mengatakan bahwa engkau sangat-sangat susah? hohoho, playing victim."

"Kamu masih mau  ngomong begitu lagi? Teloooooo kamu, Nduk!!!!" Ki Juru berkata, tangannya mencolek daguku. Matanya menatap tajam, tersirat di dalamnya ada kemarahan. "Kamu memang cengeng, dan lama-lama kamu menjadi tidak berguna seperti halnya manusia-manusia yang akan tertidur di sepanjang malamnya, atau mereka yang mempunyai keluarga, dan akan melupakan tugas-tugas semesta yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab semua umat manusia. Hidup untuk kebersamaan, hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Atau kamu memang hanya seperti itu, anak bodoh."

"Apalagi yang ingin kau keluhkan?" Nada suara Ki Juru mulai meninggi. "Apa yang kau inginkan? Kembali kepada kehidupan yang sangat egois, yang sempit, yang cupet, dan hanya biasa-biasa saja? Atau kamu memang sudah tidak ingin bersama kami lagi? Jika itu memang sudah ingin menjadi keputusanmu, baiklah. Baiklah, silakan kamu lanjutkan hidupmu, dan biarkan semua semesta ini bergerak dalam langkah kehidupan  yang memang seharusnya terjadi."

Aku terhenyak. Aku mendengarkan Ki Juru mencurahkan semua kekesalannya kepadaku. "Kamu tahu, anakku. Tidak mudah buat kami untuk berharap, dan engkau adalah bagian dari harapan kami. Tidak mudah juga engkau  melakukan semua ini, tetapi apa yang terjadi dengan hidupmu, sungguh itu membuat kami merasa bahwa sudah saatnya kami meninggalkan kamu dalam kesendirianmu yang sesungguhnya." Ki Juru mendegus nafas, kesal.

"Apa yang sesungguhnya terjadi denganmu, anakku? Kami tahu engkau memendam banyak hal yang tidak kau sampaikan kepada kami? Katakanlah, dan kami akan mendengarkannya."

"Aku sesungguhnya mulai putus asa dengan diriku sendiri," Aku berguman pelan. "Putus asa, Nduk? Ini jawabanmu, jawabanmu yang paling tidak berkualitas yang pernah aku dengar, kenapa?"

"Iya, Ki. Maafkan. Semua kejadian dalam hidupku yang beruntun dan tidak ada hentinya ini, aku tidak siap, dan aku sadar, bahwa aku belumlah sekuat yang sesepuh harapkan untuk hidup dan bekerja bagi semesta raya. Sepertinya aku memang butuh waktu, tetapi sepertinya waktu ini tidak akan pernah cukup untukku, dan kali ini aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku memang masih jauh dari kuat, bisa dikatakan aku sangat lemah. Aku sangat egois, aku sangat manja, aku bodoh, aku tidak punya perasaan. Maafkan, Ki," Aku melangkah mendekat Ki Juru, dan menjatuhkan pelukanku di dadanya. Aku menenggelamkan kepalaku di dada tipisnya, menumpahkan semua rasa di jiwa nan  merdeka tetapi penuh dengan segala tanggung jawab kehidupanku. Ki Juru mengelus rambutku dengan sangat pelan. Aku merasakan kemarahannya mulai mereda. Aku baru menyadari, bahwa Ki Juru bukan orang yang termasuk tinggi untuk ukuran laki-laki. Kepalaku masih hanya sampai di lehernya, dan aku masih bisa mendongak dan bisa melihat matanya begitu dekat, begitu tulus, dan selalu saja menyiratkan sebuah hamparan samudra kehidupan dan kebijaksanaan. Wajah yang senantiasa bersinar, melukiskan kesabaran dan kekuatan akan kehidupan. Kasih sayang kepada semesta yang tak berujung. Tidak ada keegoisan, tidak ada tangis, dan tubuhnya menggambarkan sebuah sikap pengabdian tanpa batas.

"Kamu mengerti apa yang sesungguhnya terjadi?"

"Iya, Ki Juru. Saya sangat paham dengan kejadian-kejadian akhir-akhir ini. Dan baru beberapa hari ini saya bisa memaknai dengan baik seluruh perputaran semesta untuk kehidupan saya."

Aku mulai menjelaskan apa yang kurasakan kepada Ki Juru. Pagebluk sedang terjadi di negeri ini, sebuah virus penyakit sedang terjangkit, dan untuk mencegah agar tidak semakin banyak yang tertular, dianjurkan orang-orang tidak keluar dari rumah. Hampir seluruh kegiatan dilakukan di rumah, baik pekerjaan kantor maupun kegiatan sekolah. Aku dan anak-anakku ada di rumah.

Sesaat sebelum pagebluk ini terjadi, Aku sakit sesak nafas, kepalaku sering sakit tanpa diduga. Demikian juga anakku yang bungsu. Jumlah darah di dalam tubuhnya sangat kurang, tetapi kita tidak bisa melakukan tindakan medis apapun mengingat akibat tindakan medis sebelumnya dia sempat kritis yang hampir membuat kehilangan nyawanya. Saat ini yang bisa kami lakukan hanya berusaha dan beristirahat di rumah. Dan pagebluk ini, bagi kami, sekali lagi bagi kami adalah anugerah yang tidak terkira. Di saat kami butuh waktu untuk mengembalikan kondisi kesehatan kami, di saat aku butuh waktu untuk mempelajari bagaimana aku menyembuhkan diriku sendiri dan tentu saja memulihkan kesehatan anakku.

Tetapi, manusia tetaplah manusia. Aku tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, seringkali terlena dengan keasyikan membaca hal-hal tidak jelas, sibuk dengan kesenangan diri sendiri, daripada memanfaatkan waktu dengan baik untuk belajar dan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Dua bulan, dan semuanya seperti menjadi tidak banyak artinya, kecuali aku dan anak-anakku lebih sehat. Aku baru bisa menyesuaikan kembali dalam seminggu terakhir, saat almarhum Bapak kandungku datang dan mendorong aku untuk bangkit, setiap malam datang mengatakan, bahwa aku harus bergerak dan bangun, kasihan tubuhku sendiri, dan kasihan juga dengan kehidupan anak-anak jika mereka harus mati. Mati karena aku tidak bisa menjaga tubuhku sendiri. Aku berusaha bangun, aku berusaha bergerak, aku berusaha kuat. Dan dalam seminggu ini, ritme hidupku perlahan mulai kembali, walaupun bisa dikatakan masih jauh dari normal, setidaknya aku menemukan hal positif dan menemukan kembali keping-keping semangat untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik.

"Jadi, kamu sudah paham, bahwa kamu benar-bena telah menyia-nyiakan waktu yang diberikan oleh semesta kepadamu. Bukankah engkau pernah meminta waktu, agar engkau bisa fokus pada semesta, pada hal yang ingin kau pelajari tentang kehidupan yang melingkupimu. Dan semesta telah memberikan apa yang kau inginkan, tetapi engkau melewatkannya begitu saja?"

"Bisa dikatakan iya, walaupu tidak seluruhnya demikian. Karena tetap ada beberapa hal yang saya palajari tentang sebuah sikap, tentang sumber penyakit saya dan anak saya, hanya bersumber pada situasi syaraf belakang, di cethik,  yang membuat hidup kami jungkir balik. Sebuah penyakit yang sumber utamanya adalah sikap kami yang selalu pecicilan."

"Apalagi yang kau peroleh dalam beberapa waktu ini, bisakah kamu menjelaskan kepada kami?" Suara Ki Juru benar-benar telah melunak. Kemarahannya telah reda, sikapnya telah kembali sebagai sesepuh yang penuh kesabaran, penuh kasih sayang untuk menemaniku berjalan dalam mempelajari kehidupan.

Mataku memandang jauh ke alam semesta batin yang memang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, dunia yang menjadi tempat kehidupan mahluk-mahluk dengan beraneka ragam bentuknya, mahluk-mahluk yang menjadi sumber dari watak kehidupan manusia, mahluk-mahluk yang bisa menentukan takdir kehidupan manusia. Di dunia itu, adalah sebuah dunia yang bisa menjelaskan dengan gamblang apa yang tertulis di dalam kitan-kitab suci agama di dunia ini. Aliran-aliran agama dan sekular, aliran kepercayaan, adat istiadat yang banyak memuat nilai-nilai, pengetahuan dan filosofi yang tidak bisa diterima dengan akal sehat dapat kita temukan di sini.

Banyak bidang ilmu, untuk mempelajari begitu banyak hal yang ada di jagad lahir manusia. Dan semua ilmu yang ada masih saja belum bisa menjawab banyak hal yang ada. Keterkaitan satu dengan yang lainnya menjadi terputuskan. Dalam sebuah rangkaian pemahaman spiritual, ada sebuah rangkaian demi rangkaian di antara semua bidang ilmu itu. Semua ilmu itu tidak bisa berdiri sendiri, karena semua hal itu sesungguhnya saling berkaitan.

Demikian juga dengan dunia batin. Kompleksitas, ragam kehidupan, ragam kejadian yang ada di sana juga sama halnya dengan kejadian yang ada di dunia lahir. Dalam waktu senggang ini, aku menikmati betapa damainya kehidupan batin saat manusia-manusia tenggelam dalam kesunyian, saat manusia dipenjara di rumah atas nama penyakit. Sekilas, aku bisa mengelompokkan mahluk-mahluk itu dari keinginan-keinginan yang timbul pada manusia, sampai bagaimana cara mereka bergerak dari waktu ke waktu, bagaimana mereka mempengaruhi kehidupan secara keseluruhan. Semua masih sangat sekilas.

Manusia boleh saja berkuasa akan dunia ini, tetapi jika semesta kehidupan menghendaki, maka apalah daya manusia. Semua tidak mampu bergerak, dan hanya diam tak berdaya.

Astaga. Oh, aku menyadari satu hal yang tidak bisa aku duga. Ternyata oh ternyata, bisa jadi mungkin saja, bisa iya bisa bukan. Pada saat yang sekarang ini, jika saja memungkinkan, jika saja ditakdirkan, jika saja jalan kehidupan menghendaki, maka kemampuan kekuatan batin, akan bisa mengendalikan kehidupan. Walaupun tidak akan seperti Nabi Musa, tetapi sangat mungkin untuk menjadi seperti Gajah Mada, atau menjadi seperti seorang Ronggo Warsito yang bisa bekerja sama dengan pasukan batin untuk melakukan banyak hal di dunia ini.

"Atau seperti Panembahan Senopati, atau seperti kamu Ki Juru dalam memenangkan peperangan, licik," Aku tersenyum, menjebak Ki Juru dengan tuduhanku.

"Hushhhh, kamu itu ya. Kamu harus bisa berkata positif, kita harus cerdas, bukan licik. Itu dua hal yang nampak sama nyata-nyata beda, hahahahhaha," Wajah Ki Juru bersinar penuh kebanggaan atas kemenangan demi kemenangan yang pernah diraih pada jaman perang Mataram. "Pembelajaran yang benar itu utuh, anakku. Tidak harus banyak, tetapi genap, tidak harus mewah, tapi cukup. Demikian juga dengan peperangan, semua membutuhkan strategi, dan strategi yang utuh dengan melihat segala kemungkinan adalah sebuah awal dari kemenangan. Kejelian bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan batin. Tenaga juga bukan hanya dengan okol, tetapi juga akal dan rasa. Sebuah satu kesatuan kehidupan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kehidupan ini, terdiri dari dunia lahir dan batin, maka kita juga harus melakukan dua hal secara bersamaan. Belajar tentang dunia lahir dan tentang dunia batin, mencukupi kebutuhan lahir dan batin, semuanya sebaiknya berjalan dengan seimbang." Ki Juru menoleh cepat kepadaku, "Dan sekarang katakan, di bagian mananya, di bagian kehidupanmu yang tidak terpenuhi secara melimpah ruah? Hayo berani tidak kamu mengatakan kepada semesta bahwa kamu tidak tercukupi, hayo kamu berani mengatakan kurang? Hahahahaa, sekarang kamu moooodyaaar, kapoookmu kapan? Sokur.... mesti kamu mak klakep ra iso ngomong!"

Aku tertawa bersama dengan Ki Juru. Iya, dalam seminggu, setetelah kedatangan Bapakku, aku menyadari banyak hal. Bahwa memang aku tidak menerima secara utuh atas hal-hal yang menjadi keinginanku, tetapi kehidupan ini memberikan kepadaku dengan keping-keping yang terpisah antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.  Dan aku menemukan beberapa hal dengan sangat sempurna saat semua keping itu disatukan.

Aku menemukan kebahagiaan, saat aku menyatukan keping demi keping kebahagiaan yang berserakan itu aku satukan. Saat membaca kelulusan sekolah anakku, setelah mengalami sakit selama 6 bulan. Aku tetap bisa memenuhi kebutuhanku di saat aku benar-benar sulit, saat aku bisa menemukan tempat tinggal baru, di saat aku tersiksa di tempat tinggal yang lama. Bahkan saat aku butuh waktu untuk merawat diriku dan anakku, Tuhan memberikan aku waktu untuk tinggal di bisa bekerja di rumah dalam waktu yang sangat lama. Banyak hal, sangat banyak. Dan saat keping itu disatukan, sungguh itu membentuk sebuah bounded yang luar biasa, membuatku tidak mampu berhenti untuk mengagumi akan keajaiban kehidupanku sendiri. Saat anakku harus melanjutkan kuliah, aku bertemu dengan seseorang yang mampu menjungkirbalikkan kehidupanku. Walaupun demikian, akhirnya, anakku bisa dengan mantap menemukan arah langkah kehidupan ke depannya, tanpa ragu sama sekali.

Keping-keping itu bisa dianalogikan saat kita belajar pengetahuan, bahwa ilmu-ilmu itu diberikan sebagian demi bagian, di waktu yang berbeda-beda. Tetapi jika semua ilmu itu disatukan dan dirangkai dalam otak manusia, maka akan menjadi satu rangkaian besar yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Satu jenis ilmu. Demikian juga kejadian demi kejadian dalam kehidupan.

Saat kemarin, mungkin saja aku hanya menyatukan keping demi keping kesedihan, keping demi keping kesengsaraan yang memang selalu terjadi dalam kehidupanmu. Keping-keping kegagalan, dan kelelahan demi kelelahan yang aku alami. Seandainya aku menyadari dari awal bahwa keping-keping kehidupan yang baik akan  selalu terjadi bersamaan dengan keping-keping kehidupan dari  sisi kebalikannya. Bahwa banyak kesedihan akan banyak kebahagiaan, banyak lelah, akan banyak pencapaian, banyak tangis, akan banyak tawa. Jika kita bisa melihat kedua sisinya dengan sama seimbangnya.

Dan waktu itu aku begitu bodohnya, hanya menyatukan keping-keping air mata dan kegagalan dalam hidupku. Wajar saja jika aku selalu tenggelam dalam kesedihan dan air mata, wajar saja jika aku merasa lelah dan putus asa.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum, begitu bodohnya aku, begitu terbutakan kehidupanku hanya oleh air mata sehingga menutupi banyak hal keindahan yang terjadi dalam hidupku. Melupakan banyak hal keajaiban demi keajaiban yang bisa kulakukan, menjalani kehidupan jauh dari dokter dan obat walaupun selalu sakit, kemudahan pergi kemana saja tanpa banyak mengeluarkan biaya, bisa bertemu dan bicara dengan bebas dengan pimpinan-pimpinan yang dianggap penting, dunia tanpa batas, waktu tanpa malam, dan dunia tanpa kegelapan. Bagian mana yang harus aku ingkari.

"Anakku, begitulah namanya jatah, rejeki, rahmat. Mungkin baru sekarang engkau diberi waktu dan kesempatan untuk memahami semuanya. Semua kembali kepada waktunya, jika memang belum waktunya, maka semuanya belum akan diberikan. Tetapi saat semua yang kau inginkan belum diberikan, maka engkau harus tetap beriktiar di jalan-Nya agar engkau diberi jalan untuk sampai dan kuat pada hal yang ingin kau lakukan."


"Dan anakku yang sangat cuengeng dan cupet atine ini, sekarang kamu sudah bisa kembali memulai kembali masuk dalam kepingan perjalanan batin selanjutnya, dengan semangat baru, dengan cara pandang baru dalam mensikapi kehidupan. Belajarlah untuk selalu utuh, dan berhati-hati dalam melihat kepingan demi kepingan kehidupanmu. Banyak hal yang menunggumu untuk berjalan, banyak hal yang masih harus kamu lakukan, termasuk di dalamnya adalah tugas menuliskan perjalanan kehidupanmu untuk anak turunmu, sebagai pembelajaran kehidupan bagi yang lainnya. Jika hal ini belum kau lakukan, walaupun hidupmu sangat sengsara dan bisa dibilang hampir beberapa kali  berada di ujung kematian, tetapi jangan pernah berharap bahwa engkau akan bisa mati dengan cepat," Ki Juru menutup pembicaraan sambil tersenyum bangga menatapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun