Demo masih dan akan terus berlangsung. Pernyataan demi pernyataan hilir mudik di ruang media publik. Pembenaran, dalih, alibi, penjelasan dengan  dukungan literatur dan dukungan nama-nama besar seakan-akan menjadi pembenaran dari sebuah alur jalan cerita yang dibuat. Babak demi babak pertunjukan politik di media publik menjadi tontonan masyarakat.Â
Panggung politik kembali digelar, tetapi kali ini, panggung politik menjadi sangat basi. Pelaku yang muncul itu lagi, itu lagi. Gaya panggung yang ditampilkan masih sama, kalimat-kalimat yang diucapkan juga sama isinya.Â
Sebuah pertanda pola pikirnya tidak mengalami perbuahan dari waktu ke waktu. Sekali dua kali penampilan yang berbeda akan menarik, tetapi dalam jangka waktu yang lama maka penampilan ini menjadi sangat basi.Â
Panggung politik kali menunjukkan ketidakdewasaan  dan daya pikir yang sempit. Alur cerita yang terlalu mudah dibaca, dengan konflik yang terlalu klise. Dialog terlalu kekanak-kanakkan. Ciri khas anak-anak, selalu menuntut, tidak bisa melihat ke diri sendiri, selalu menyalahkan orang lain, tidak terima masukan, merasa benar sendiri.Â
Ketidakseimbangan cara berpikir membuat orang membuat sudut pandang versi dirinya sendiri, mengukur baju orang lain dengan diri sendiri. Tidak terima ditunjuk, berkilah dan berdalih dengan menunjuk pihak ketiga yang salah, supaya orang lain mengalihkan pandangan kepada pihak lain selama dirinya sibuk mencari alibi yang lain. Oh, benar-benar basi.Â
Bangsa Indonesia sudah mengeluarkan anggaran yang banyak untuk pendidikan, wajarlah kalau anak-anak STM bisa paham bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Anak saya saja bisa berkomentar, "Kenapa yang di tv itu kok bodo bin g**bl** begitu ya, bikin alasan kok cethek, ceemen.Â
Ga asyik. Lebih keren nonton anak STM". Wwkwkwkwk, demokrasi memang parah, sudah merambah ke ranah rumah tangga, sampai-sampai tidak ada lagi jarak antara emak dan anak.Â
Demikian juga di luar sana, anak-anak sudah melek politik atas nama panggung demi panggung yang selama ini menjadi rebutan politisi untuk dipertontonkan atas nama dukungan dan pembenaran.Â
Kita bukan orang bodoh, yang bisa setiap saat digiring ke dalam cerita yang begitu-begitu saja. Tontonan politik dan alur-alurnya itu sudah terlalu gamblang, tidak ada lagi yang layak untuk ditutupi karena semuanya sudah melek. Saking kita ini sudah males dengan kualitas manusia dan pelakunya yang memang sangat dibawah standar moral dan mind setnya.Â
Mbok kalau bikin tontonan itu yang lebih keren, beda dan tidak norak begitu. Kampungan dan basi. Melihat saja sudah tidak tertarik. Menyusun kalimat demi kalimat dengan lebih baik, dan jangan terlalu sempit dengan mengkambinghitamkan pihak ketiga dengan cepatnya, menuduh dan keluar terlalu jauh dari bahasan utama.Â
Dibilang tidak pinter sama anak SMA, gantian marah, anak SMA tahu apa. Wwkwkwk, anak SMA itu kadang lebih banyak menonton dan membaca daripada kita-kita yang sudah tua. Nalarnya juga lebih jalan, sumbu pendek tapi keren. Â Short cut, dengan hasil yang lebih cemerlang.