Mereka rela harus jatuh, Â satu demi satu untuk negeri. Darah membasah untuk tumpah darah ini, untuk tanah air tempat kita semua dilahirkan. Haruskah aparat negeri berperang melawan bangsa sendiri?Â
Berperang melawan anak-anak bangsa yang memperjuangkan negerinya. Â Siapakah yang harus kita bela? Anak-anak muda dengan kejernihan hati, atau sebuah tirani?
Bung Karno, lihatlah negerimu penuh dengan darah dan air mata sedang  berperang melawan kesewenang-wenangan para pemimpinnya. Bung Hatta, lihatlah, saat semua kerusuhan ini memperjuangkan agar pemimpin ini tidak hanya membagi kue-kue kekuasaan untuk kroni dan keluarganya saja.Â
Menangislah para leluhur negeri, dan bersiaplah kita bersama-sama melihat satu demi satu kehancuran demi kehancuran negeri yang pernah kau merdekakan.Â
Tidak ada lagi Bung Karno atau Bung Hatta disebutkan saat kekuasaan sudah dalam genggaman. Maaf nama besar kalian hanya laku dan sering kami dengar jika digunakan untuk mencapai kekuasaan.Â
Tapi saat kemenangan telah dalam genggaman, nama itu tinggallah angin lalu yang disimpan di pojok ruangan yang akan dibuka kembali saat kampanye tiba. Nama kalian kembali disebutkan saat kekalahan demi kekalahan datang mendera.Â
Bung Karno dan Bung Hatta, aku mengadu padamu atas nama negeri, karena mereka telah menari-nari di atas penderitaan rakyat negeri yang pernah kau perjuangkan.
Politik adalah menggalang kekuatan dan dukungan, memanfaatkan dan dimanfaatkan, membenturkan dan dibenturkan. Ketika kita punya mata hati dan pikiran kita bisa melihat, sekarang ini kita disuguhkan tontonan yang membuat perih, aparat keamanan dibenturkan dengan mahasiswa. Bapak dibenturkan dengan anak.Â
Dan lagi-lagi, air mata di dalam hati semakin deras mengalir.
Bangga dengan mahasiswa, bangga dengan anak STM, bangga untuk semua yang mendukung perjuangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H