Beberapa tahun yang lalu, aku bisa mendengar mereka bicara bahwa negeri ini mau jadi apa kalau kekuasaan hanya menjadi permainan, hanya menjadi alat pengeruk kekayaan dan kejayaan diri sendiri. Â Negara ini harus diperbaiki, kita harus berjuang untuk sebuah negara yang lebih baik.
Kita harus melakukan sesuatu, kita harus bisa melakukan perubahan untuk hal yang lebih baik buat rakyat. Nasionalis dan idealis harus ada di dalam dada untuk memulai perjuangan. Dengan petunjuk-petunjuk langkah dari para sesepuh negeri, mengawali seluruh langkah dengan semangat baja tanpa padam dan tidak pernah menyerah.Â
Kalimat-kalimat itu diucapkan sekitar delapan tahun yang lalu, dalam rentang waktu yang lama, saat semua masih berada di bawah dalam sebuah keprihatinan, dalam sebuah kekalahan dan mengobarkan semangat perjuangan. Aku di sana, aku bersama-sama mereka, aku mendengar dan bisa merasakan sebuah nyala api di dalam dada.Â
Ketika kita ada posisi di bawah dalam sebuah kekuasaan, kita bisa melihat dengan jelas ke atas, segala kekurangan dan kebobrokan. Demikian juga ketika berada di luar lingkaran sebagai penonton, semuanya demikian jernih. Pasang surut sebuah perjuangan, pasang surut sebuah perjuangan dalam memilih orang-orang terbaik untuk negeri. Masa lalu.Â
Saat kemenangan tiba, saat kekuasaan dalam genggaman, dan aku sesekali pernah ada di sana membuat dada ini serasa mau pecah. Kekuasaan memang memabukkan, kenikmatan dan kejayaan saat tanda tangan, saat kata-kata menjadi sabda pandito ratu, maka lupalah semua niat awal di dalam diri.
Saat keinginan terwujudkan dengan menjentikkan jari, saat lirikan mata menjadikan semua orang mendekat untuk menjilat, maka lupalah di mana dulu pernah berawal memijakkan kaki. Apalagi saat menyadari sepenuhnya, bahwa dirinya mampu mengangkat derajat orang-orang yang ada di dekatnya.
Saat kekuasaan dan politik hanyalah milik para kroni, saudara dan saudarinya, istri dan anak-anaknya. Saat tembok tebal tinggi politik telah terbentang oleh kroni dan money, mereka tidak menginginkan akan  banyak borok yang terbuka dan terbaca, akan banyak lubang yang bisa membuatnya terjungkal.
Akhirnya, merekalah yang sekarang menjadi tirani bertangan besi, demi kroni dan kolusi, demi istri dan anak-anaknya, demi mantu dan saudara-saudaranya, demi dirinya sendiri dan segala keturunannya.Â
Siapakah rakyat?
Untuk apa rakyat selain sebagai legitimasi.
Aturan bisa dibuat suka-suka atas nama keinginan dan keamanan diri.
Miris dan sedih.
Ketika satu-satunya pintu pembuka sangat sedikit keboborokan negeri ini saja harus ditutup habis, maka jebollah pintu-pintu yang lain. Dan kali ini aku diam, hanya kembali tunduk yang sejati. Pasrah apapun yang terjadi.Â
Delapan tahun yang lalu, sekarang dan mungkin di waktu yang akan datang aku akan tetap di sini, tetap menjadi seperti ini, agar hati ini tetap bersih dari segala pencemaran noda-noda kekuasaan dan kejayaan yang akan melenakan semua mata hati dan nurani.Â
Satu jiwa untuk mahasiswa, satu jiwa untuk mereka yang masih mau berkorban untuk negara, satu jiwa untuk mereka yang tertindas.
Pemerintahan periode kedua tidak ada beban politik, apakah artinya menjadi bebas tidak memenuhi janjinya? Periode kedua dalam sebuah kemenangan apakah artinya menjadi ruang untuk kesewenang-wenangan?Â
Apakah periode kedua itu artinya waktu yang cukup untuk melupakan semangat dan nikmat perjuangan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H